Pergi
Sabar adalah
guru paling hebat dalam hidup ini. Sabar mengajariku bagaimana mengendalikan
dan mengatasi musuh terbesar dalam hidup ini. Nafsu. Sabar pula yang membuatku
mencintai wanita dengan hati.
Menjadi
bagian dari hidup wanita yang kucintai seperti mengukir ukiran cinta dengan
busur panah yang tertancap di atas air. Sungguh sulit sekali. Wanita cantik
yang mempunyai rambut hitam panjang legam yang selalu tergerai indah itu
benar-benar memikat naluriku sebagai lelaki untuk menaruh hati padanya. Berkali-kali
aku gagal untuk memiliki dia sepenuhnya tapi aku tak pernah menyerah. Seperti
yang Ibu bilang, sabar itu tak mengenal kata tetapi. Sabar itu sahabat terbaik
dalam hidup ini. Sabar memang tak selalu berujung dengan bahagia. Tapi sabar
adalah guru paling hebat dalam hidup ini. Sabar mengajariku bagaimana
mengendalikan dan mengatasi musuh terbesar dalam hidup ini. Nafsu. Sabar pula
yang membuatku mencintai wanita dengan hati.
Bukan
pria berpostur tinggi dan atletis itulah yang menjadi musuh terbesarku. Bukan.
Meski tak bisa dipungkiri jika aku dan lelaki berpostur tubuh atletis itu
adalah rival. Pria etletis itu selalu menantangku berduel untuk mendapatkanmu.
Maaf wanita yang kukagumi, bukan maksudku mejadikanmu sebagai taruhan atas duel
ini. Bukan. Aku hanya ingin mendapatkan dirimu dengan caraku, dengan peluh dan
usahaku. Jika memang jalannya adalah menerima tantangan pria berpostur atletis
yang selalu mengunjungimu saat hari sabtu tiba.
Tasya, apa kamu bahagia dengan kehadiran
pria berpostur atletis itu setiap sabtu tiba?
Pria yang menemanimu menikmati kerlap kerlip bintang, menemanimu
menghabiskan sabtu malam di serambi rumahmu ditemani kunang-kunang. Tasya,
sungguh aku iri melihat kalian berdua yang seringkali duduk berbincang-bincang
di serambi rumahmu dengan akrabnya. Tak berani aku menatap kebersamaanmu
degannya. Maaf, bukannya aku sombong tak menyapamu setiap kali aku melintas di
depan rumahmu usai mengajari anak-anak kecil latihan silat.
Tasya, nyaliku seketika menjadi ciut
sebelum melintasi rumahmu yang berpagar coklat terang dengan arsitektur bergaya
joglo itu. Motor mewah yang dikenakan pria itu dari jauh sudah terlihat
kinclongnya. Membuatku mengerutkan hati untuk sekedar melihatmu sekilas. Tasya,
aku tahu jika kamu selalu melihatku melintasi rumahmu dengan sepedah butut
peninggalan almarhumah bapakku.
Tasya, aku masih mengingat dengan
jelas bagaimana kamu selalu menungguku di depan serambi rumahmu untuk bertemu
denganku atau sekedar melihatku lewat usai mengajar silat. Aku masih ingat
ketika dulu kamu berpura-pura menunggu abang bakso yang lewat, padahal kamu
tengah menungguku lewat.
Tasya, aku tahu kamu menaruh hati
padaku. Wanita mudah sekali terbaca gerak-geriknya saat jatuh cinta. Meski
secerdik apapun wanita itu menyembunyikan perasaanya, pasti akan kelihatan
juga. Meski bibirmu yang indah seperti bunga merekah itu terus berkata tidak
ketika aku menggodamu namun matamu tak mungkin bisa berkata tidak. Bola matamu yang
hitam itu selalu menjadi bagian yang aku lihat ketika berhadapan denganmu. Naluriku
sebagai lelaki bisa memahami jika kamu menyukaiku.
Tasya, aku juga tak pernah berkata
padamu jika aku mencintaimu. Jujur aku tak pernah berkata itu. Sebab aku memang
tak berani mengatakannya. Yang jelas aku benar-benar mencintaimu. Cintaku
padamu bukanlah cinta yang terencana. Aku tak bisa memperediksi sejak dan sampai
kapan aku akan mencintaimu. Cintaku benar-benar tulus dari hati, tumbuh dari
lubuk hati yang paling dalam.
Tasya,
jika ada cinta yang terucap dan tak terucap, maka kaulah cinta tak terucapku.
Cinta yang tak pernah berkata ada kata love
you, jadian atau apapun itu. Cinta kita tumbuh dengan sendirinya. Tanpa
rencana, tanpa sebab, bukan karna ada maksud apapun.
Tasya,
apa kamu merindukanku? Aku merindukanmu, rindu pada gelak tawamu ketika
bergurau dengan adik-adikmu di teras rumah, rindu senyummu yang kau tujukan
padaku saat aku tersenyum padamu, rindu pada bola matamu yang hitam jernih itu
yang selalu menjadi penyemangatku agar aku mencintaimu. Rindu pada rambut
panjangmu yang membuat dirimu semkain cantik bak bidadari turun dari khayangan.
Tasya,
sudah hampir dua purnama aku melintasi rumahmu namun aku tak pernah melihatmu
di teras rumah. Aku tak pernah melihatmu tengah menunggu abang-abang bakso di
hari lainnya, tak pernah melihatmu tengah bermain dengan adik-adikmu atau
dirimu yang tengah dikunjungi pria etletis itu. Tasya, sedang apa kamu hingga aku
tak pernah melihat sosokmu lagi.
Satu
purnama lagi telah aku lewati. Berarti sudah tiga purnama berlalu kita tak
bertemu. Tasya, ada apa denganmu? Di purnama ketiga aku tengah berada di kota
lain. Mengadu nasib untuk mendapatkan penghidupan yang lebih layak. Andai kau
tahu bahwa ragaku disana tapi hatiku disini. Tasya, aku mencemaskan
keberadaanmu. Hingga akhirnya belum genap purnama keempat datang aku sudah
memutuskan untuk kembali pulang.
Tasya,
rasanya hatiku sudah putus asa. Tak berani aku mengetuk pintu rumahmu untuk
bertanya keberadaanmu dan keadaanmu. Aku tak ingin dianggap lelaki pengecut
karena ingkar janji. Aku berjanji pada pria atletis itu untuk tidak menemuimu.
Ya, pria atletis itu mengetahui apa yang tengah bergejolak di antara kita. Tasya,
pria atletis itu terus mencariku, menantangku berduel untuk mendapatkanmu. Kedengarannya
konyol dan kekanak-kanakan, tapi memang inilah dunia kaum adam.
Tasya,
hingga akhirnya Tuhan yang memberiku jawaban dari kerisauanku selama ini, di
suatu pagi yang basah karena hujan semalam yang mengguyur kota ini aku hendak
pergi ke rumah kerabatku dan melintasi rumahmu. Tasya betapa risaunya hatiku ketika
kulihat dari kejauhan di pagar rumahmu
tengah tertancap bendera putih yang ditengahnya terdapat tanda palang merah. Tasya,
ada apa di rumahmu. Aku memutuskan untuk menuntun sepedah federal buntut ini.
Perlahan mendekati rumahmu.
Tasya,
betapa kagetnya aku ketika aku semakin dekat dengan rumahmu melihat orang
sedang mengukir namamu dalam batu nisan. Tasya, ku eja nama itu berkali-kali.
Masih saja tertera dengan jelas 5 huruf yang selalu kusebut-sebut dalam setiap
sujudku untuk menjadi pelabuhan terakhirku, TASYA. Tasya, nyatakah ini? Atau mimpikah
ini? Benarkah tubuh yang kulihat dari sini seberang jalan sini adalah sosokmu
yang terbalut kain jarik dan kain putih dalam ruang tamu? Benarkah mereka yang
sedang membacakan surat yasin tengah mendoakanmu yang tengah terbaring kaku itu?
Tasya,
benarkah orang yang tengah menangis di sampingmu itu adalah mamahmu? Aku ingin
masuk ke rumah itu. Tapi pantang bagiku untuk ingkar janji pada pria atletis
itu. Tasya, orang berlalu lalang masuk kerumahmu, sedangkan aku masih saja
berdiri mematung di seberang jalan rumahmu. Mereka datang dengan pakaian
hitam-hitam dan berkerudung dengan sesekali berbicara bisik-bisik tentangmu. Tasya,
aimataku jatuh. Aku tak peduli sedang
dimana aku. Menangis itu tak mengenal jenis kelamin. Tasya, aku benar-benar
menangis di depan rumahmu, di seberang jalan, disaksikan orang yang
berlalu-lalang melintasi jalan raya, di tempat yang sering kita gunakan untuk
bertemu walau tak kurang dari 10 menit.
Tasya,
gadis kecil yang sering kau ajak bergurau di teras rumahmu tengah menyeberang
jalan, gadis kecil itu menghampiriku. Gadis kecil berambut keriting itu menyodorkan
kertas putih untukku dan segera berlaluu meninggalkanku, kembali ke ruang tamu
rumahmu.
Tasya,
kubaca surat itu.
Cinta itu berarti saling setia dan saling percaya. Aku
percaya jika kamu mencintaku, pria berambut ikal dengan kulit hitam legam dan
tubuh tinggi. Meski tak pernah terucap
kata cinta dari bibirmu. Aku selalu menunggumu melintasi rumahku setiap malam.
Setiap hari rasanya aku merindukanmu. Sayang, bukankah rindu itu harus dirawat
degan baik. Jangan dibiarkan berkobar karena bisa merusak jiwa. Maaf jika aku
memanggilmu sayang, tapi aku memang menyayangimu. Sayang, maaf jika aku
meninggalkanmu untuk selamanya tanpa pernah bercerita padamu tentang sakit yang
kuderita ini. Sayang, aku tak ingin kamu mencintaiku hanya karna belas kasih
seperti pria atletis yang kamu maksud itu. Tidak sayang, aku tak ingin kanker
yang menggerogoti tubuhku ini menjadi sebab aku dikasihani. Sayang, dengan
cintamu yang tak terucap itu aku merasa terus ingin hidup. Meski setiap hari
aku harus menghitung hari menunggu kepulanganku ke rumah-Nya. Sayang, sebulan
aku sakit dirumah, sebulan aku dirawat di rumah sakit dan sebulan pula aku memilih
kembali kerumah untuk menunggumu. Namun selama hampir sebulan itu kamu tak
muncul juga. Sayang aku lelah, aku rindu, aku rapuh. Maaf hingga akhirnya aku
membalas cintamu dengan kejutan yang menyakitkan ini. Sayang, bebaslah kamu
menjadi pria. Jadilah pria yang bertanggung jawab dari setiap perbuatan yang
kamu perbuat.
Tasya
Tasya,
sungguh aku sanggup untuk meninggalkanmu. Tak sanggup menerima kenyataan yang
pahit ini, tak sanggup menerima semua kejadian yang serasa mendadak dan mengiris
relung hatiku. Selamat tinggal dan selamat tidur panjang kekasih tak terucap. Dan
semoga aku dapat melupakanmu cepat.