Radar Bojonegoro Minggu, 23 Desember 2012
Aku, Ibu dan Penyesalan
Gagal itu ibarat sobekan tiket yang harus dikumpulkan dan disatukan agar
kertas itu menjadi utuh lagi, kertas yang kusebut tiket kesuksesan. Ya, aku
harus menyatukan sobekan tiket itu agar
bisa masuk ke pintu kesuksesan untuk meraih mimpiku!
“Nyesek
iku naliko aku kelingan pas awakmu ngelarang aku sekolah nang SMA Sampoerna
Bogor“.Batinku
dalam hati saat jam berdenting menunjukkan tepat pukul dua siang. Aku yang saat
itu tengah berbaring dikamar meneteskan air mata. Alunan lagu yang kudengarkan
telah menyeretku dalam kejadian 20 bulan yang lalu.
Entah
kenapa kaset dalam otakku seperti memplay
kejadian 20 bulan lalu ditengah kegalauan yang menimpaku saat ini. Aku yang
kini tengah merasakan downnya kondisi
fisikku akibat kurang istirahat serta bingung karena begitu banyak permasalahan
yang sedang kuhadapi.
Mungkin
omelan ibukku beberapa waktu lalu juga menjadi faktor kegalauanku saat ini,
omelan yang selalu kupikirkan sebelum aku tidur, saat aku sedang sendiri atau
kapanpun saat aku diam tanpa aktivitas. Yang jelas, aku memang tengah
merenungkan apa yang dikatakan ibuku. Meresapi setiap kata yang ditujukannya
padaku. Kata yang terlontar ikhlas dan tulus dari hatinya. Aku mengakui jika
aku memang aku bersalah dan pantas mendapatkan omelan itu. Bahkan sampai saat
ini pun masih teringat jelas ungkapan kekecewaan ibu padaku.
Kulepaskan
headset yang menutupi telingaku, membuka bantal yang menutupi wajahku lalu
mengusap air mata yang turun dengan tanganku. Rumah dalam keadaan sepi, ibuku
tidur di kamar sebelah yang hanya berbatas tembok bata. Ayahku sedang tak ada
dirumah dan adikku bermain diluar rumah. Semoga saja ibuku tak mendengar isak
tangisku ini. Bahkan jangan sampai ibuku tahu.
Berkali
kali air mataku turun lalu kuusap lagi, turun lagi kuusap lagi. Begitu terus
sampai aku berhenti menangis. Mungkin inilah saat aku bisa menyadarkan diriku,
mencoba menyadari akan kebodohanku, kemalasanku, serta sikapku yang tak mau
mendengar nasihat ibu dan selalu memutuskan sesuatu tanpa pertimbangan yang
matang.
Walaupun
kejadian itu sudah lama ingin kututup rapat-rapat dan aku tak mau
menyinggungnya lagi. Tapi sepintar-pintarnya seseorang dalam menutup kenangan
paling buruk sekali pun suatu saat sengaja atau tanpa sengaja kenangan itu akan
teringat kembali.
Dan
ceritanya sewaktu aku akan meninggalkan bangku SMP, aku berniat untuk
mendaftarkan diri sebagai salah satu penerima beasiswa SMA Sampoerna Malang.
Awalnya niat itu tak kuceritakan pada orang tuaku, jadi aku mengurus sendiri
segala keperluan yang kubutuhkan. Termasuk mencari informasi ke sana-sini,
mengurus persyaratan disekolah, melengkapai administrasi, dll. Dan ketika
persyaratan sudah lengkap semuanya aku baru bilang orang tuaku sekaligus
meminta tanda tangan sebagai salah satu syarat persetujuan dalam formulir.
Alhamdulillah, aku mendapat respon yang cukup baik dari mereka, orang tuaku
mendukungku untuk mengikuti seleksi beasiswa itu.
Setelah
semuanya kurasa beres, 3 hari sebelum penutupan penerimaan administrasi oleh
pihak sampoerna aku baru mengirimkan administrasi bersama beberapa temanku
melalui kantor pos. Sampai tiba waktunya pengumuman siapa saja yang lolos test
administrasi, yang selanjutnya berkesempatan untuk pergi ke Malang mengikuti
test tulis. Dari ke 9 orang temanku yang mendaftar, hanya 1 yang lolos. Lelaki,
teman sekelasku. Yang memang telah menajdi rivalku selama ini. Tentu saja rival
dalam belajar agar aku atau dia bisa mendapatkan nilai yang lebih tinggi. Namun
aku mengakui jika dia memang pantas mendapatkan kesempatan itu . Dia lebih
matang dariku, baik dari persiapan, sikap, mental maupun kecerdasannya.
Ya
sudah, mungkin itu belum rezekiku. Bukankah di kota kelahiranku ini masih
banyak sekolah yang mampu mendidik serta membimbingku untuk meraih apa yang aku
cita-citakan. Semenjak kegagalan itu, tentu saja aku harus berjuang tak kalah
kerasnya lagi untuk bisa bersekolah di salah satu sekolah favorit di tempat aku
lahir. Sekolah yang menjadi impian keduaku jika aku tidak diterima di Malang.
Bahkan sekolah itu sudah menjadi mimpiku ketika aku masih duduk di bangku taman
kanak-kanak samping sekolah menegah atas itu.
Namun,
di suatu waktu aku lupa entah kapan tepatnya. Siang hari ketika aku berada di
rumah temanku, ayahku yang di rumah mendapat telfon dari Jakarta yang bilang
kalau aku berkesempatan mengikuti test tulis dan interview untuk menjadi salah
satu pelajar di SMA Sampoerna Bogor. Ayahku yang selesai berbicara dengan
mbaknya dari Jakarta sana melalui telfon rumah, langsung menelfon aku, memberi
tahuku tentang kabar baik itu. Ah tentu saja aku kaget, namun hatiku tak kalah
senangnya. Setidaknya aku masih berkesempatan untuk mendapatkan beasiswa dan
tentu saja mampu meringankan bebean ekonomi yang ditanggung keluargaku.
Malamnya
semenjak kejadian siang tadi aku tak bisa tidur. Berbagai macam pikiran
melayang-layang dalam benakku. Tentu saja yang kupikirkan nanti seperti apa ya
testnya, sulit tidak, sanggupkah aku? Loloskah aku? Jika tidak aku harus
bagaimana? Dan saat itu test dari Bogor hampir bersamaan dengan persiapan PSB
di kotaku. Tentu saja aku galau.
Kuhubungi
lelaki yang saat itu menjadi teman dekatku, meminta pertimbangan darinya harus
bagaimana aku. Mungkin saja dia bisa memberiku saran, mengajariku sesuatu,
meberiku semangat dll.
Kukira
dia bisa mendukungku, namun berbeda dengan apa yang aku pikirkan. Dia tidak
meresponku. Ya, dia tidak mendukungku untuk melanjutkan test beasiswa itu.
Hingga hari berganti hari menjelang test tersebut, dia, lelaki itu terus
merasuki pikiranku, melarang aku untuk tidak mengikuti serangkaian test itu.
Aku
yang saat itu tengah merasa berada di puncak kebahagiaan bersamanya bimbang
harus bagaimana. Aku tak melakukan sesi konsultasi pada orang tuaku. Dan orang
tuaku sendiri memang mendukung, tapi kurang responsive agaknya. Pikiranku pun
terpecah belah, satu sisi jika aku diterima di Bogor apa yang harus aku
persiapkan? Sanggupkah aku jauh dari kedua orang tuaku? Berpisah ratusan
kilometer dengan keluargaku kelak. Termasuk berpisah dengan lelaki yang kusayangi
yang sudah menemaniku berbulan-bulan. Fokus belajar disana untuk meraih
cita-citaku. Dan akan bertemu mereka setahun sekali. Ya Tuhan, berikan jalan untukku, berikanlah aku pilihan yang Kau anggap
baik untukku, doaku dalam setiap sujudku.
Persiapanku
memang belum matang ditambah lagi dengan keinginan lelaki itu yang tak
merelakan aku pergi.
Bapak,
bukan ayahku kandung, melainkan orang yang kupanggil Bapak itu orang yang
selama ini juga telah membiayai sekolahku, bertanya padaku. “ Jadi dimana nduk? Wes siap test di Bogor
atau niat sekolah di sini?”. Ketika
aku menyambangi tokonya, mengembalikan tabung elpiji yang habis dipakai ibuku
memasak. Bibirku kelu, rasanya tak bisa menjawab. Namun kata yang terlontar
dari bibirku adalah “Saya siap dimana saja,
kalau di Bogor semoga Allah memberi kekuatan dan kemudahan, kalau di sini
semoga Allah memberi rezeki yang lancar untuk Bapak dan Ayah agar bisa
membiayaiku sekolah lebih tinggi.“
Nyess rasanya
di hati, ketika berbagai pihak mendorongku untuk tetap melaksanakan test itu
hingga akhirnya hari dimana test itu dilaksanakan jatuh juga. Dua hari aku
menjalani test tersebut. Awalnya pshycotest dan test tulis. Aku tak terlalu
mengalami kesulitan dalam test tersebut, tapi test di hari kedualah yang
membuat pikiranku kacau. Sesi pertama adalah test interview bersama pihak
sampoerna, entah kenapa saat aku ditanya bagaimana kesanggupanku untuk
meninggalkan kedua orang tuaku, aku menangis dan air mata yang turun tak
sedikit. Aku tak bisa menjawab pertanyaan yang mereka lontarkan padaku, bahkan
isak tangisku begitu terasa senggukannya dihadapan mereka. Dan saat itulah
kuketahui bahwa AKU BELUM SIAP MENINGGALKAN MEREKA. Padahal, saat aku test
interview tersebut ada 2 orang pihak sampoerna yang mensurvei rumahku, melihat
kondisi keluarga dan tempat tinggalku.
Se-Bojonegoro
Tuban Cepu yang lolos, tidak semuanya di survey rumahnya melainkan hanya
beberapa saja. Dugaan orang tuaku, MUNGKIN aku lolos, karena yang diketahui
mereka bahwa survey rumah itu adalah tahapan terakhir dari semua test. Namun
dalam batinku, apa benar aku kelak akan lolos dan besekolah disana? Mengingat
sewaktu test interview tadi aku sempat menangis, dan tentu saja itu akan
menurunkan poinku. Tapi etahlah, Wallahuallam.
Sampai
akhirnya pengumuman siapa saja yang diterima itu muncul ke publik, dan aku
tidak termasuk diantara mereka. Aku mbatin,
“maafkan aku buat semua yang sudah
mendukungku. Aku belum mampu membahagiakan kalian, mungkin inilah jalan yang
dipilih Tuhan, yang terbaik untukku. Bekerja keras menempuh pendidikan disini
bersama kalian orang-orang yang menyayangiku”.
Usai
kegagalan yang kedua kalinya tentu saja aku tak boleh patah arang. Ya, aku
harus tetap berusaha. Berusaha agar aku bisa masuk di salah satu sekolah
tempatku lahir yang menjadi mimpiku. PSBpun dimulai, aku kembali mengikuti
serangkaian test tulis yang diselenggarakan pemerintah. Dan hasilnya,
Alhamdulillah aku bisa menjadi salah satu murid di sekolah tersebut.
Sebagai
murid baru, tentu saja harus melewati Masa Orientasi Siswa yang menurutku
sangat berkesan sekali. Termasuk harus memenuhi biaya administrasi yang
meliputi pembelian seragam, daftar ulang dan pemRayaran uang gedung sekolah.
Aku
tau, tentu saja orang tuaku tak memiliki nominal sejumlah uang yang harus
dipenuhi begitu saja. Aku harus merelakan sepeda ontel yang telah setia
mengantarkanku belajar di bangku menegah pertama untuk dijual, membeli baju
seragam sekolah menegah atas. Dan tentu saja untuk administrasi lainnya masih
dibantu orang yang kusebut Bapak itu.
Permulaan
yang baik, menyadarkanku betapa kerasnya pengorbananku untuk dapat melanjukan
sekolah. Dan seharusnya dari permulaan itulah aku tak boleh patah semangat.
Semester
pertama di bangku SMA berjalan baik dan aku mampu menembus peringkat kelas,
bahkan pararel 10 besar di sekolah. Tapi, untuk semester kedua semuanya menjadi
kabur. Ya, nilaiku turun. DRASTIS. Kenapa hal itu terjadi?
Hubunganku
dengan lelaki yang sempat melarangku untuk bersekolah di Bogor kandas. Padahal
saat itu aku merasa hubungan kami baik-baik saja. Begitu pula orang tuaku yang
menganggap kami ayem tentrem. Ya,
orang tuaku telah dekat mengenal lelaki itu.
Kandasnya
hubunganku bersama lelaki itu yang membuatku anjlok, bagaimana tidak? Semuanya
berakhir beberapa hari menjelang ulangan semester. Dan aku tak terlalu paham
sebab musababnya dia meninggalkanku. Layaknya remaja, bukan hal yang tidak
biasa kalau tidak GALAU. Lalu malas untuk belajar, gak konsen dengan ulangan
serta hal-hal lain yang SEHARUSNYA tak boleh terlalu kupikirkan.
Namun
semenjak kandasnya hubunganku, aku harus mengakui bahwa keadaan dan semangatku
sudah tak membara seperti dulu lagi. Bahkan 6 bulan semenjak kejadian itu,
masih berdapak sekali kemalasanku. Ya, aku berlebihan memang. Tapi lelaki
itulah yang menemaniku selama 2 tahun, tempatku mencurahkan keluh kesah dan
memang salahku pula aku tak terlalu dekat dengan orang tuaku. Jadi wajar saja
aku kehilangan control yang mengakibatkanku galau berlebihan.
Sempat
terjadi pertentangan antara keluargaku dan aku yang saat itu aku memilih masuk
jurusan social. Tapi keluargaku menginginkan aku di jurusan alam. Bahkan sempat
pula terlontar dari kata kakekku, yang tidak mau membiayaiku lagi jika aku
masuk program social.
Aku
menyakinkan pada mereka, ilmu social lah duniaku. Bukan ilmu alam. Dan aku lah
yang memenangkan perdebatan itu akhirya,
meskipun aku harus mendapat cercaan dari berbagai pihak yang menyayangkan aku
memilih jurusan social.
Akan
kubuktikan pada mereka bahwa kelak aku juga bisa menjadi yang terbaik di
program social, dan muluruhkkan pemikiran mereka bahwa social itu sebenarnya
BUKAN TEMPATNYA anak bodoh.
Namun
apa yang terjadi? Aku mengalami tekanan yang luar biasa, berbagai masalah
memRayangiku. Orang tuaku semakin tak mampu membiayaiku, orang yang kupaggil
Bapak kini sedang mengalami penurunan ekonomi pula. Lalu kakekku? Sama saja.
Bahkan beliau harus memenuhi kehidupan om dan pamanku yang mengalami pemutusan
hubungan kerja.
Aku
bangkit dari sebuah kekurangan, tapi berkali-kali aku bangkit kerap kali pula
aku jatuh. Aku menyesal, kenapa dulu dan sekarang aku tidak dekat dengan orang
tuaku, khususnya ibuku. Hingga ibuku sangking
jenuhnya sampai melontarkan kekecewaannya terhadapku. Kenapa aku dulu kurang
bersemangat mengikuti test itu, andai saja diterima pasti semuanya tidak akan
seperti ini to nduk. Ucapan ibuku
saat aku pulang larut malam, yaitu pukul 11 malam. Karna aku dolan dan tak bilang pada ibuku.
Akhir-akhir ini pula aku juga sering tak membantu ibuku menyelesaikan pekerjaan
rumah, sering keluar malam bersama teman-teman, pulang sekolah juga tak
langsung pulang.
Dan
malam itulah ibuku memarahiku habis-habisan, malam saat aku pulang dari bermain
pukul 11 malam. Puncak kekesalan ibuku padaku.
Sekarang
aku benar-benar menyesalinya.
Mengingat
kembali rentetan peristiwa 20 bulan terakhir hingga sekarang. Membuat hatiku
terasa pilu, betapa aku telah mengecewakan mereka hanya karna lelaki yang
mengendorkan semangatku dulu.
Baiklah,
ini memang jalan hidup yang digariskan Tuhan untukku. Jika aku tak mampu
mendapatkan kesempatan beasiswa itu mungkin salah satu dari tiga adikku yang
sekarang masih mengenyam bangku sekolah dasar yang akan mengobati kekecewaan
mereka dan
menggantikanku.
Pernah dimuat di Radar Bojonegoro
Minggu, 23 Desember 2012 dengan judul SEPURANE
Tidak ada komentar:
Posting Komentar