Senin, 23 September 2013

Cerpen ke-6




Radar Bojonegoro Minggu, 23 Desember 2012

Aku, Ibu dan Penyesalan

Gagal itu ibarat sobekan tiket  yang harus dikumpulkan dan disatukan agar kertas itu menjadi utuh lagi, kertas yang kusebut tiket kesuksesan. Ya, aku harus menyatukan sobekan tiket itu agar  bisa masuk ke pintu kesuksesan untuk meraih mimpiku!

 Nyesek iku naliko aku kelingan pas awakmu ngelarang aku sekolah nang SMA Sampoerna Bogor“.Batinku dalam hati saat jam berdenting menunjukkan tepat pukul dua siang. Aku yang saat itu tengah berbaring dikamar meneteskan air mata. Alunan lagu yang kudengarkan telah menyeretku dalam kejadian 20 bulan yang lalu.
Entah kenapa kaset dalam otakku seperti memplay kejadian 20 bulan lalu ditengah kegalauan yang menimpaku saat ini. Aku yang kini tengah merasakan downnya kondisi fisikku akibat kurang istirahat serta bingung karena begitu banyak permasalahan yang sedang kuhadapi.
Mungkin omelan ibukku beberapa waktu lalu juga menjadi faktor kegalauanku saat ini, omelan yang selalu kupikirkan sebelum aku tidur, saat aku sedang sendiri atau kapanpun saat aku diam tanpa aktivitas. Yang jelas, aku memang tengah merenungkan apa yang dikatakan ibuku. Meresapi setiap kata yang ditujukannya padaku. Kata yang terlontar ikhlas dan tulus dari hatinya. Aku mengakui jika aku memang aku bersalah dan pantas mendapatkan omelan itu. Bahkan sampai saat ini pun masih teringat jelas ungkapan kekecewaan ibu padaku.
Kulepaskan headset yang menutupi telingaku, membuka bantal yang menutupi wajahku lalu mengusap air mata yang turun dengan tanganku. Rumah dalam keadaan sepi, ibuku tidur di kamar sebelah yang hanya berbatas tembok bata. Ayahku sedang tak ada dirumah dan adikku bermain diluar rumah. Semoga saja ibuku tak mendengar isak tangisku ini. Bahkan jangan sampai ibuku tahu.
Berkali kali air mataku turun lalu kuusap lagi, turun lagi kuusap lagi. Begitu terus sampai aku berhenti menangis. Mungkin inilah saat aku bisa menyadarkan diriku, mencoba menyadari akan kebodohanku, kemalasanku, serta sikapku yang tak mau mendengar nasihat ibu dan selalu memutuskan sesuatu tanpa pertimbangan yang matang.
Walaupun kejadian itu sudah lama ingin kututup rapat-rapat dan aku tak mau menyinggungnya lagi. Tapi sepintar-pintarnya seseorang dalam menutup kenangan paling buruk sekali pun suatu saat sengaja atau tanpa sengaja kenangan itu akan teringat kembali.
Dan ceritanya sewaktu aku akan meninggalkan bangku SMP, aku berniat untuk mendaftarkan diri sebagai salah satu penerima beasiswa SMA Sampoerna Malang. Awalnya niat itu tak kuceritakan pada orang tuaku, jadi aku mengurus sendiri segala keperluan yang kubutuhkan. Termasuk mencari informasi ke sana-sini, mengurus persyaratan disekolah, melengkapai administrasi, dll. Dan ketika persyaratan sudah lengkap semuanya aku baru bilang orang tuaku sekaligus meminta tanda tangan sebagai salah satu syarat persetujuan dalam formulir. Alhamdulillah, aku mendapat respon yang cukup baik dari mereka, orang tuaku mendukungku untuk mengikuti seleksi beasiswa itu.
Setelah semuanya kurasa beres, 3 hari sebelum penutupan penerimaan administrasi oleh pihak sampoerna aku baru mengirimkan administrasi bersama beberapa temanku melalui kantor pos. Sampai tiba waktunya pengumuman siapa saja yang lolos test administrasi, yang selanjutnya berkesempatan untuk pergi ke Malang mengikuti test tulis. Dari ke 9 orang temanku yang mendaftar, hanya 1 yang lolos. Lelaki, teman sekelasku. Yang memang telah menajdi rivalku selama ini. Tentu saja rival dalam belajar agar aku atau dia bisa mendapatkan nilai yang lebih tinggi. Namun aku mengakui jika dia memang pantas mendapatkan kesempatan itu . Dia lebih matang dariku, baik dari persiapan, sikap, mental maupun kecerdasannya.
Ya sudah, mungkin itu belum rezekiku. Bukankah di kota kelahiranku ini masih banyak sekolah yang mampu mendidik serta membimbingku untuk meraih apa yang aku cita-citakan. Semenjak kegagalan itu, tentu saja aku harus berjuang tak kalah kerasnya lagi untuk bisa bersekolah di salah satu sekolah favorit di tempat aku lahir. Sekolah yang menjadi impian keduaku jika aku tidak diterima di Malang. Bahkan sekolah itu sudah menjadi mimpiku ketika aku masih duduk di bangku taman kanak-kanak samping sekolah menegah atas itu.
Namun, di suatu waktu aku lupa entah kapan tepatnya. Siang hari ketika aku berada di rumah temanku, ayahku yang di rumah mendapat telfon dari Jakarta yang bilang kalau aku berkesempatan mengikuti test tulis dan interview untuk menjadi salah satu pelajar di SMA Sampoerna Bogor. Ayahku yang selesai berbicara dengan mbaknya dari Jakarta sana melalui telfon rumah, langsung menelfon aku, memberi tahuku tentang kabar baik itu. Ah tentu saja aku kaget, namun hatiku tak kalah senangnya. Setidaknya aku masih berkesempatan untuk mendapatkan beasiswa dan tentu saja mampu meringankan bebean ekonomi yang ditanggung keluargaku.
Malamnya semenjak kejadian siang tadi aku tak bisa tidur. Berbagai macam pikiran melayang-layang dalam benakku. Tentu saja yang kupikirkan nanti seperti apa ya testnya, sulit tidak, sanggupkah aku? Loloskah aku? Jika tidak aku harus bagaimana? Dan saat itu test dari Bogor hampir bersamaan dengan persiapan PSB di kotaku. Tentu saja aku galau.
Kuhubungi lelaki yang saat itu menjadi teman dekatku, meminta pertimbangan darinya harus bagaimana aku. Mungkin saja dia bisa memberiku saran, mengajariku sesuatu, meberiku semangat dll.
Kukira dia bisa mendukungku, namun berbeda dengan apa yang aku pikirkan. Dia tidak meresponku. Ya, dia tidak mendukungku untuk melanjutkan test beasiswa itu. Hingga hari berganti hari menjelang test tersebut, dia, lelaki itu terus merasuki pikiranku, melarang aku untuk tidak mengikuti serangkaian test itu.
Aku yang saat itu tengah merasa berada di puncak kebahagiaan bersamanya bimbang harus bagaimana. Aku tak melakukan sesi konsultasi pada orang tuaku. Dan orang tuaku sendiri memang mendukung, tapi kurang responsive agaknya. Pikiranku pun terpecah belah, satu sisi jika aku diterima di Bogor apa yang harus aku persiapkan? Sanggupkah aku jauh dari kedua orang tuaku? Berpisah ratusan kilometer dengan keluargaku kelak. Termasuk berpisah dengan lelaki yang kusayangi yang sudah menemaniku berbulan-bulan. Fokus belajar disana untuk meraih cita-citaku. Dan akan bertemu mereka setahun sekali. Ya Tuhan, berikan jalan untukku, berikanlah aku pilihan yang Kau anggap baik untukku, doaku dalam setiap sujudku.
Persiapanku memang belum matang ditambah lagi dengan keinginan lelaki itu yang tak merelakan aku pergi.
Bapak, bukan ayahku kandung, melainkan orang yang kupanggil Bapak itu orang yang selama ini juga telah membiayai sekolahku, bertanya padaku. “ Jadi dimana nduk? Wes siap test di Bogor atau niat sekolah di sini?”.  Ketika aku menyambangi tokonya, mengembalikan tabung elpiji yang habis dipakai ibuku memasak. Bibirku kelu, rasanya tak bisa menjawab. Namun kata yang terlontar dari bibirku adalah “Saya siap dimana saja, kalau di Bogor semoga Allah memberi kekuatan dan kemudahan, kalau di sini semoga Allah memberi rezeki yang lancar untuk Bapak dan Ayah agar bisa membiayaiku sekolah lebih tinggi.“
Nyess rasanya di hati, ketika berbagai pihak mendorongku untuk tetap melaksanakan test itu hingga akhirnya hari dimana test itu dilaksanakan jatuh juga. Dua hari aku menjalani test tersebut. Awalnya pshycotest dan test tulis. Aku tak terlalu mengalami kesulitan dalam test tersebut, tapi test di hari kedualah yang membuat pikiranku kacau. Sesi pertama adalah test interview bersama pihak sampoerna, entah kenapa saat aku ditanya bagaimana kesanggupanku untuk meninggalkan kedua orang tuaku, aku menangis dan air mata yang turun tak sedikit. Aku tak bisa menjawab pertanyaan yang mereka lontarkan padaku, bahkan isak tangisku begitu terasa senggukannya dihadapan mereka. Dan saat itulah kuketahui bahwa AKU BELUM SIAP MENINGGALKAN MEREKA. Padahal, saat aku test interview tersebut ada 2 orang pihak sampoerna yang mensurvei rumahku, melihat kondisi keluarga dan tempat tinggalku.
Se-Bojonegoro Tuban Cepu yang lolos, tidak semuanya di survey rumahnya melainkan hanya beberapa saja. Dugaan orang tuaku, MUNGKIN aku lolos, karena yang diketahui mereka bahwa survey rumah itu adalah tahapan terakhir dari semua test. Namun dalam batinku, apa benar aku kelak akan lolos dan besekolah disana? Mengingat sewaktu test interview tadi aku sempat menangis, dan tentu saja itu akan menurunkan poinku. Tapi etahlah, Wallahuallam.
Sampai akhirnya pengumuman siapa saja yang diterima itu muncul ke publik, dan aku tidak termasuk diantara mereka. Aku mbatin, “maafkan aku buat semua yang sudah mendukungku. Aku belum mampu membahagiakan kalian, mungkin inilah jalan yang dipilih Tuhan, yang terbaik untukku. Bekerja keras menempuh pendidikan disini bersama kalian orang-orang yang menyayangiku”.
Usai kegagalan yang kedua kalinya tentu saja aku tak boleh patah arang. Ya, aku harus tetap berusaha. Berusaha agar aku bisa masuk di salah satu sekolah tempatku lahir yang menjadi mimpiku. PSBpun dimulai, aku kembali mengikuti serangkaian test tulis yang diselenggarakan pemerintah. Dan hasilnya, Alhamdulillah aku bisa menjadi salah satu murid di sekolah tersebut.
Sebagai murid baru, tentu saja harus melewati Masa Orientasi Siswa yang menurutku sangat berkesan sekali. Termasuk harus memenuhi biaya administrasi yang meliputi pembelian seragam, daftar ulang dan pemRayaran uang gedung sekolah.
Aku tau, tentu saja orang tuaku tak memiliki nominal sejumlah uang yang harus dipenuhi begitu saja. Aku harus merelakan sepeda ontel yang telah setia mengantarkanku belajar di bangku menegah pertama untuk dijual, membeli baju seragam sekolah menegah atas. Dan tentu saja untuk administrasi lainnya masih dibantu orang yang kusebut Bapak itu.
Permulaan yang baik, menyadarkanku betapa kerasnya pengorbananku untuk dapat melanjukan sekolah. Dan seharusnya dari permulaan itulah aku tak boleh patah semangat.
Semester pertama di bangku SMA berjalan baik dan aku mampu menembus peringkat kelas, bahkan pararel 10 besar di sekolah. Tapi, untuk semester kedua semuanya menjadi kabur. Ya, nilaiku turun. DRASTIS. Kenapa hal itu terjadi?
Hubunganku dengan lelaki yang sempat melarangku untuk bersekolah di Bogor kandas. Padahal saat itu aku merasa hubungan kami baik-baik saja. Begitu pula orang tuaku yang menganggap kami ayem tentrem. Ya, orang tuaku telah dekat mengenal lelaki itu.
Kandasnya hubunganku bersama lelaki itu yang membuatku anjlok, bagaimana tidak? Semuanya berakhir beberapa hari menjelang ulangan semester. Dan aku tak terlalu paham sebab musababnya dia meninggalkanku. Layaknya remaja, bukan hal yang tidak biasa kalau tidak GALAU. Lalu malas untuk belajar, gak konsen dengan ulangan serta hal-hal lain yang SEHARUSNYA tak boleh terlalu kupikirkan.
Namun semenjak kandasnya hubunganku, aku harus mengakui bahwa keadaan dan semangatku sudah tak membara seperti dulu lagi. Bahkan 6 bulan semenjak kejadian itu, masih berdapak sekali kemalasanku. Ya, aku berlebihan memang. Tapi lelaki itulah yang menemaniku selama 2 tahun, tempatku mencurahkan keluh kesah dan memang salahku pula aku tak terlalu dekat dengan orang tuaku. Jadi wajar saja aku kehilangan control yang mengakibatkanku galau berlebihan.
Sempat terjadi pertentangan antara keluargaku dan aku yang saat itu aku memilih masuk jurusan social. Tapi keluargaku menginginkan aku di jurusan alam. Bahkan sempat pula terlontar dari kata kakekku, yang tidak mau membiayaiku lagi jika aku masuk program social.
Aku menyakinkan pada mereka, ilmu social lah duniaku. Bukan ilmu alam. Dan aku lah yang memenangkan perdebatan itu akhirya,          meskipun aku harus mendapat cercaan dari berbagai pihak yang menyayangkan aku memilih jurusan social.
Akan kubuktikan pada mereka bahwa kelak aku juga bisa menjadi yang terbaik di program social, dan muluruhkkan pemikiran mereka bahwa social itu sebenarnya BUKAN TEMPATNYA anak bodoh.
Namun apa yang terjadi? Aku mengalami tekanan yang luar biasa, berbagai masalah memRayangiku. Orang tuaku semakin tak mampu membiayaiku, orang yang kupaggil Bapak kini sedang mengalami penurunan ekonomi pula. Lalu kakekku? Sama saja. Bahkan beliau harus memenuhi kehidupan om dan pamanku yang mengalami pemutusan hubungan kerja.
Aku bangkit dari sebuah kekurangan, tapi berkali-kali aku bangkit kerap kali pula aku jatuh. Aku menyesal, kenapa dulu dan sekarang aku tidak dekat dengan orang tuaku, khususnya ibuku. Hingga ibuku sangking jenuhnya sampai melontarkan kekecewaannya terhadapku. Kenapa aku dulu kurang bersemangat mengikuti test itu, andai saja diterima pasti semuanya tidak akan seperti ini to nduk. Ucapan ibuku saat aku pulang larut malam, yaitu pukul 11 malam. Karna aku dolan dan tak bilang pada ibuku. Akhir-akhir ini pula aku juga sering tak membantu ibuku menyelesaikan pekerjaan rumah, sering keluar malam bersama teman-teman, pulang sekolah juga tak langsung pulang. 
Dan malam itulah ibuku memarahiku habis-habisan, malam saat aku pulang dari bermain pukul 11 malam. Puncak kekesalan ibuku padaku.
Sekarang aku benar-benar menyesalinya.
Mengingat kembali rentetan peristiwa 20 bulan terakhir hingga sekarang. Membuat hatiku terasa pilu, betapa aku telah mengecewakan mereka hanya karna lelaki yang mengendorkan semangatku dulu.
Baiklah, ini memang jalan hidup yang digariskan Tuhan untukku. Jika aku tak mampu mendapatkan kesempatan beasiswa itu mungkin salah satu dari tiga adikku yang sekarang masih mengenyam bangku sekolah dasar yang akan mengobati kekecewaan mereka dan menggantikanku.



Pernah dimuat di Radar Bojonegoro
Minggu, 23 Desember 2012 dengan judul SEPURANE



Tidak ada komentar: