Sepuluh November
Ini bukan
aroma kematian
Tapi aroma
perjuangan
Lukisan
sejarah yang dilukis di kanvas raga
Tak ada yang berubah di
tempat ini, seperti embun pagi yang muncul di ketiak daun, merdunya gemerisik
daun-daun pepohonan, dan suara burung bersiul. Memandangi embun pagi dan
mendengarkan merdunya aliran sungai adalah ketenangan sendiri bagiku. Terlebih
lagi ketika ingatanku kembali ke masa sepuluh tahun lalu, ketika aku sedang bermain
air di sungai dan ditemani kakek.
Ah, tiba-tiba saja
kerinduan akan kakek merasuki rongga hatiku, menyeretku pada kenangan beberapa
tahun lalu, sewaktu kakek masih hidup. Kakek seringkali bercerita padaku
tentang sejarah Indonesia. Apalagi ketika beliau menceritakan tentang para
gerilyawan yang gugur di medan pertempuran.
Beruntung, kakek masih
hidup hingga usianya mencapai angka delapan puluh lima dan baru berpulang beberapa
hari lalu. Mati, adalah sesuatu yang pasti. Barjuang adalah pilihan. Begitulah
kata-kata kakek yang sampai sekarang masih tersimpan jelas di otakku.
Matahari semakin
memancarkan teriknya, aku bergegas kembali kerumah untuk mandi. Hari ini adalah
hari istimewa bagiku dan bagi sosok yang sudah kembali kerumah abadinya. Hari
ini tanggal sepuluh November, hari yang telah dinobatkan oleh pemerintah
menjadi hari pahlawan. Dengan semangatnya kuguyur badanku dan mengenakan baju muslim
hitam pemberian budhe untuk pergi mengunjungi peristirahatan terkahir kakek di
Taman Makam Pahlawan Kusuma Bangsa.
Ini bukan pertamakalinya
aku mengunjungi makam pahlawan, karena dulu sebelum kakek meninggal, beliau kerap mengajakku melakukan
ziarah kubur untuk mendoakan teman-teman kakek yang gugur di medan pertempuran.
“Nduk, ayo cepet kalo ganti. Semuanya sudah siap.” Panggil Bapak
dari ruang tamu yang memecah lamunanku. “Iya Bapak, sebentar, ini masih pakai
jilbab.” Kataku seraya berkaca di meja rias.
Jilbab dan baju hitam dengan sulaman putih yang
membentuk sulur bunga ini selalu kukenakan saat aku berziarah. Begitupula
dengan kacamata coklat yang kukenakan sekarang selalu menjadi pakaian yang
kukenakan saat berziarah bersama kakek mengunjungi makam pahlawan dulu.
Kakek tak pernah absen
mengunjungi makam setiap bulan sekali, dan aku lah cucu yang selalu setia
menemaninya pergi. Mendorong kursi rodanya dan membawakan bunga,
“Nduuuuk, ayo to cepat sudah jam delapan, upacaranya sudah selesai,
ayo berangkat, nanti keburu siang!”
“Iya Pak, ini Rara sudah
selesai”, segera kuberlari keluar kemar sambil memandangi sekilas foto kakek
yang duduk di kursi roda sambil mengenakan seragam veteran dan terlihat
beberapa lencana terpsang di bajunya, tanda penghormatan yang dimiliki kakek,
kata kakek dulu sewaktu aku mengantarnya ke studio foto.
Di dalam mobil, keheningan
menyapa kami. Tidak terucap kata sedikitpun dari Ibu, Bapak, dan Adikku. Hanya
ada suara batuk Ibu yang sesekali berbunyi karena memang beberapa hari terakhir
Ibu sedang sakit.
Aku rindu kakek. Kematian
kakek tigapuluh dua hari lalu belum dapat aku ikhlaskan sepenuhnya. Kakek
meninggal saat aku berada di Bandung. Belum sempat kupandangi raut muka dan
senyum beliau untuk terakhir kalinya. Karena ujian semester yang membuatku tak
bisa pulang dengan segera. Dan di hari pahlawan ini, aku pulang, khusus untuk mendoakan
kakek dan teman-temannya.
Kakek, seringkali
menceritakan teman-temannya yang dimakamkan di taman makam pahlawan tersebut,
dan keberadaan makam pahlawan ini juga usaha dari kakek dan teman-teman
veterannya yang empatpuluh tahun tahun lalu meminta kepada pemerintah untuk
membuat pemakaman umum bekas pejuang Indonesia dan veteran yang meninggal dunia
untuk menjadi taman makam pahlawan, hingga akhirnya pemerintah menyetujui dan
berdirilah taman makam pahlawan ini.
Ketika akan melaksanakan
tabur bunga, kakek selalu mendikteku untuk mencari dimana makam nama
teman-teman yang ia sebutkan. Aku sudah hapal benar dimana letak makam
teman-teman seperjuangan kakek, kerapkali aku mengantarnya ke makam untuk tabur
bunga, tapi kakek selalu lupa dan beliau selalu mendikteku berulang kali. Ah,
dasar kakek, batinku.
Sambil kudorong kursi
rodanya menuju makam yang dimaksud, kakek selalu menceritakan padaku betapa
heroiknya perjuangan teman-temannya dulu. Bahkan kerapkali kakek meneteskan
airmata saat kami berdoa di makam tersebut.
Pernah kutanya mengapa
kakek menangis? Selalu saja beliau menjawab “Kakek ingatpas jaman dulu perang
ngelawan sekutu nduk, banyak yang mati karena tertembak pistolnya musuh, banyak
yang mati juga kena bom, bahkan ada juga yang mati karena ditawan dan sisiksa
oleh musuh.”
Tak terhitung berapa kali
tubuh kakek terkena timah panas dari sekutu kala itu. Terbukti masih ada
bekas-bekas luka di tubuh kakek meskipun sudah kering. Tapi bagiku, luka yang
membekas dalam diri kakek adalah lukisan
sejarah yang dilukis di kanvas raga.
Lukisan yang dilukis oleh musuh yang dalam sekejap mampu
meluluhlantakkan semangat juang karena sakit dan panasya tembakan. Hingga
akhirnya memilih mundur daripada mati terlebih dahulu.
Tak terasa, akhirnya aku sampai
juga di makam pahlawan. Banyak orang berpakaian nuansa hitam untuk melakukan
prosesi tabur bunga dan mendoakan keluarganya yang mati di medan pertempuran
atau memang sudah tutup usia bukan semasa perang. Apalagi ini momen istimewa.
Kata kakek ketika kutanya
mengapa hanya tanggal sepuluh November ditetapkan hari pahlawan? bukankah
hari-hari sebelumnya rakyat Indonesia juga bertempur melawan sekutu.
“Tanggal sepuluh November
adalah hari yang berbeda nduk, pada waktu itu di Surabaya sedang terjadi
pertempuran hebat. Ribuan nyawa gugur dalam pertempuran tersebut karena Inggris
meluluhlantakkan Surabaya melalui jalur darat, air, dan udara. Inggris marah nduk sama rakyat Surabaya
karena jendral Inggris mati ditangan arek Surabaya. Teman-teman kakek nduk,
banyak yang mati waktu itu, disana sini banyak bom berjatuhan, tembakan dan bom
tak terkendalikan. Banyak anak kehilangan orang tuanya, tanah-tanah di Surabaya
banyak tergenang darah dan banyak pula tulang belulang berceceran. Beruntung
nduk kakekmu ini selamat waktu itu.”
Dan setiap kakek
menceritakan kejadian tragis itu, selalu terbayang betapa pilunya hati kakek
karena ditinggal orang tua selama-lamanya dengan cara yang mengenaskan. Betapa
kuatnya bom kala itu, yang bisa menyebabkan seseorang tak utuh lagi kondisinya,
bisa menjadi mayat yang tinggal tulang belulang berceceran atau seperti abu
karena habis terbakar.
Kupiaskan lamunanku
tentang kakek dan cerita-cerita perjuangannya. Aku menuju makam yang masih
basah tanahnya dan masih segar bunganya. Seingatku, ini adalah bunga yang
diberikan oleh Paman Sam sebelum beliau pergi merantau ke Kalimantan.
Di nisan kakek, airmataku
tumpah, aku tak peduli apakah adik, bapak dan ibu melihatku. Aku hanya ingin
menangis, menumpahkan segala kerinduanku pada kakek. Sosok ringkih yang duduk
di kursi roda dengan rambut yang memutih, kulit keriput, mata sayunya dan
giginya yang sudah tak ada lagi satupun.
Aku berdoa denga khusyuk
memohon kepada Tuhan agar perjuangan-perjuangan kakek sewaktu perang dulu bisa
menjadi tiket masuk untuk menuju surga. Kutaburkan bunga yang dibawa oleh ibu
dan seikat mawar merah dan putih yang kubeli dari uang tabunganku.
Usai berdoa dan menabur
bunga, kekecup nisan kakek, kutumpahkan kerinduanku di nisan yang bertuliskan
nama kakek dan tahun meninggalnya. Kemudian aku beranjak berdiri dan
mengunjungi makam salah satu teman kakek yang kata kakek sudah tak memiliki
keluarga laki.
Kata kakek, teman kakek ini
pada waktu berperang dulu masih bujang
alias belum menikah dan tidak mempunyai orang tua. Sungguh malang sekali nasib
teman kakek satu ini, hanya aku dan kakek yang setia mengunjunginya untuk
menabur bunga dan mendoakannya setiap sebulan sekali.
Ada banyak nama-nama
pejuang yang gugur dan dimakamkan disini, bahkan banyak pula makam tak dikenal
yang membuatku miris karena jumahnya tak hanya satu dua atau tiga, bahkan
puluhan makam tak dikenal ada disini.
Pikiranku berkelana
ketika pertama kali kudapati banyak makam tak dikenal disini. Korban
pertempuran yang mati dimakamkan disini dan hanya ditemukan tulang belulang dan
tidak dikenal identitasnya saja ada sebanyak ini. Betapa heroiknya perjuangan
kala itu hingga menewaskan ribuan jiwa dalam waktu beberapa hari saja.
Kakek, sungguh beruntung
dirimu. Masih ada beberapa petak tanah di makam ini untuk menjadi tempat peristirahatan
terakhir pejuang-pejuang Indonesia. Di Hari Pahlawan ini, sejarah hidupku
mencatat bahwa engkau lah pahlawan yang pernah kukenal, engkaulah pahlawan yang
selalu setia menemani masa kecilku hingga aku dewasa kini.
Desiran angin menerpa
wajahku, banyak daun berguguran, aroma wangi bunga yang ditaburkan di makam
menyeruak masuk kedalam hidungku. Ini bukan aroma kematian, tapi aroma
perjuangan, batinku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar