Senin, 23 September 2013

Cerpen ke-4

                                                                                                            Sepuluh November    

Ini bukan aroma kematian
Tapi aroma perjuangan
Lukisan sejarah yang dilukis di kanvas raga
                                                           
Tak ada yang berubah di tempat ini, seperti embun pagi yang muncul di ketiak daun, merdunya gemerisik daun-daun pepohonan, dan suara burung bersiul. Memandangi embun pagi dan mendengarkan merdunya aliran sungai adalah ketenangan sendiri bagiku. Terlebih lagi ketika ingatanku kembali ke masa sepuluh tahun lalu, ketika aku sedang bermain air di sungai dan ditemani kakek.
Ah, tiba-tiba saja kerinduan akan kakek merasuki rongga hatiku, menyeretku pada kenangan beberapa tahun lalu, sewaktu kakek masih hidup. Kakek seringkali bercerita padaku tentang sejarah Indonesia. Apalagi ketika beliau menceritakan tentang para gerilyawan yang gugur di medan pertempuran.
Beruntung, kakek masih hidup hingga usianya mencapai angka delapan puluh lima dan baru berpulang beberapa hari lalu. Mati, adalah sesuatu yang pasti. Barjuang adalah pilihan. Begitulah kata-kata kakek yang sampai sekarang masih tersimpan jelas di otakku.
Matahari semakin memancarkan teriknya, aku bergegas kembali kerumah untuk mandi. Hari ini adalah hari istimewa bagiku dan bagi sosok yang sudah kembali kerumah abadinya. Hari ini tanggal sepuluh November, hari yang telah dinobatkan oleh pemerintah menjadi hari pahlawan. Dengan semangatnya kuguyur badanku dan mengenakan baju muslim hitam pemberian budhe untuk pergi mengunjungi peristirahatan terkahir kakek di Taman Makam Pahlawan Kusuma Bangsa.
Ini bukan pertamakalinya aku mengunjungi makam pahlawan, karena dulu sebelum kakek          meninggal, beliau kerap mengajakku melakukan ziarah kubur untuk mendoakan teman-teman kakek yang gugur di medan pertempuran.
Nduk, ayo cepet kalo ganti. Semuanya sudah siap.” Panggil Bapak dari ruang tamu yang memecah lamunanku. “Iya Bapak, sebentar, ini masih pakai jilbab.” Kataku seraya berkaca di meja rias.
Jilbab  dan baju hitam dengan sulaman putih yang membentuk sulur bunga ini selalu kukenakan saat aku berziarah. Begitupula dengan kacamata coklat yang kukenakan sekarang selalu menjadi pakaian yang kukenakan saat berziarah bersama kakek mengunjungi makam pahlawan dulu.
Kakek tak pernah absen mengunjungi makam setiap bulan sekali, dan aku lah cucu yang selalu setia menemaninya pergi. Mendorong kursi rodanya dan membawakan bunga,
Nduuuuk, ayo to cepat sudah jam delapan, upacaranya sudah selesai, ayo berangkat, nanti keburu siang!”
“Iya Pak, ini Rara sudah selesai”, segera kuberlari keluar kemar sambil memandangi sekilas foto kakek yang duduk di kursi roda sambil mengenakan seragam veteran dan terlihat beberapa lencana terpsang di bajunya, tanda penghormatan yang dimiliki kakek, kata kakek dulu sewaktu aku mengantarnya ke studio foto.
Di dalam mobil, keheningan menyapa kami. Tidak terucap kata sedikitpun dari Ibu, Bapak, dan Adikku. Hanya ada suara batuk Ibu yang sesekali berbunyi karena memang beberapa hari terakhir Ibu sedang sakit.
Aku rindu kakek. Kematian kakek tigapuluh dua hari lalu belum dapat aku ikhlaskan sepenuhnya. Kakek meninggal saat aku berada di Bandung. Belum sempat kupandangi raut muka dan senyum beliau untuk terakhir kalinya. Karena ujian semester yang membuatku tak bisa pulang dengan segera. Dan di hari pahlawan ini, aku pulang, khusus untuk mendoakan kakek dan teman-temannya.
Kakek, seringkali menceritakan teman-temannya yang dimakamkan di taman makam pahlawan tersebut, dan keberadaan makam pahlawan ini juga usaha dari kakek dan teman-teman veterannya yang empatpuluh tahun tahun lalu meminta kepada pemerintah untuk membuat pemakaman umum bekas pejuang Indonesia dan veteran yang meninggal dunia untuk menjadi taman makam pahlawan, hingga akhirnya pemerintah menyetujui dan berdirilah taman makam pahlawan ini.
Ketika akan melaksanakan tabur bunga, kakek selalu mendikteku untuk mencari dimana makam nama teman-teman yang ia sebutkan. Aku sudah hapal benar dimana letak makam teman-teman seperjuangan kakek, kerapkali aku mengantarnya ke makam untuk tabur bunga, tapi kakek selalu lupa dan beliau selalu mendikteku berulang kali. Ah, dasar kakek, batinku.
Sambil kudorong kursi rodanya menuju makam yang dimaksud, kakek selalu menceritakan padaku betapa heroiknya perjuangan teman-temannya dulu. Bahkan kerapkali kakek meneteskan airmata saat kami berdoa di makam tersebut.
Pernah kutanya mengapa kakek menangis? Selalu saja beliau menjawab “Kakek ingatpas jaman dulu perang ngelawan sekutu nduk, banyak yang mati karena tertembak pistolnya musuh, banyak yang mati juga kena bom, bahkan ada juga yang mati karena ditawan dan sisiksa oleh musuh.”
Tak terhitung berapa kali tubuh kakek terkena timah panas dari sekutu kala itu. Terbukti masih ada bekas-bekas luka di tubuh kakek meskipun sudah kering. Tapi bagiku, luka yang membekas  dalam diri kakek adalah lukisan sejarah yang dilukis di kanvas raga.  Lukisan yang dilukis oleh musuh yang dalam sekejap mampu meluluhlantakkan semangat juang karena sakit dan panasya tembakan. Hingga akhirnya memilih mundur daripada mati terlebih dahulu.
Tak terasa, akhirnya aku sampai juga di makam pahlawan. Banyak orang berpakaian nuansa hitam untuk melakukan prosesi tabur bunga dan mendoakan keluarganya yang mati di medan pertempuran atau memang sudah tutup usia bukan semasa perang. Apalagi ini momen istimewa.
Kata kakek ketika kutanya mengapa hanya tanggal sepuluh November ditetapkan hari pahlawan? bukankah hari-hari sebelumnya rakyat Indonesia juga bertempur melawan sekutu.
“Tanggal sepuluh November adalah hari yang berbeda nduk, pada waktu itu di Surabaya sedang terjadi pertempuran hebat. Ribuan nyawa gugur dalam pertempuran tersebut karena Inggris meluluhlantakkan Surabaya melalui jalur darat, air, dan udara.  Inggris marah nduk sama rakyat Surabaya karena jendral Inggris mati ditangan arek Surabaya. Teman-teman kakek nduk, banyak yang mati waktu itu, disana sini banyak bom berjatuhan, tembakan dan bom tak terkendalikan. Banyak anak kehilangan orang tuanya, tanah-tanah di Surabaya banyak tergenang darah dan banyak pula tulang belulang berceceran. Beruntung nduk kakekmu ini selamat waktu itu.”
Dan setiap kakek menceritakan kejadian tragis itu, selalu terbayang betapa pilunya hati kakek karena ditinggal orang tua selama-lamanya dengan cara yang mengenaskan. Betapa kuatnya bom kala itu, yang bisa menyebabkan seseorang tak utuh lagi kondisinya, bisa menjadi mayat yang tinggal tulang belulang berceceran atau seperti abu karena habis terbakar.
Kupiaskan lamunanku tentang kakek dan cerita-cerita perjuangannya. Aku menuju makam yang masih basah tanahnya dan masih segar bunganya. Seingatku, ini adalah bunga yang diberikan oleh Paman Sam sebelum beliau pergi merantau ke Kalimantan.
Di nisan kakek, airmataku tumpah, aku tak peduli apakah adik, bapak dan ibu melihatku. Aku hanya ingin menangis, menumpahkan segala kerinduanku pada kakek. Sosok ringkih yang duduk di kursi roda dengan rambut yang memutih, kulit keriput, mata sayunya dan giginya yang sudah tak ada lagi satupun.
Aku berdoa denga khusyuk memohon kepada Tuhan agar perjuangan-perjuangan kakek sewaktu perang dulu bisa menjadi tiket masuk untuk menuju surga. Kutaburkan bunga yang dibawa oleh ibu dan seikat mawar merah dan putih yang kubeli dari uang tabunganku.
Usai berdoa dan menabur bunga, kekecup nisan kakek, kutumpahkan kerinduanku di nisan yang bertuliskan nama kakek dan tahun meninggalnya. Kemudian aku beranjak berdiri dan mengunjungi makam salah satu teman kakek yang kata kakek sudah tak memiliki keluarga laki.
Kata kakek, teman kakek ini pada waktu berperang dulu masih  bujang alias belum menikah dan tidak mempunyai orang tua. Sungguh malang sekali nasib teman kakek satu ini, hanya aku dan kakek yang setia mengunjunginya untuk menabur bunga dan mendoakannya setiap sebulan sekali.
Ada banyak nama-nama pejuang yang gugur dan dimakamkan disini, bahkan banyak pula makam tak dikenal yang membuatku miris karena jumahnya tak hanya satu dua atau tiga, bahkan puluhan makam tak dikenal ada disini.
Pikiranku berkelana ketika pertama kali kudapati banyak makam tak dikenal disini. Korban pertempuran yang mati dimakamkan disini dan hanya ditemukan tulang belulang dan tidak dikenal identitasnya saja ada sebanyak ini. Betapa heroiknya perjuangan kala itu hingga menewaskan ribuan jiwa dalam waktu beberapa hari saja.
Kakek, sungguh beruntung dirimu. Masih ada beberapa petak tanah di makam ini untuk menjadi tempat peristirahatan terakhir pejuang-pejuang Indonesia. Di Hari Pahlawan ini, sejarah hidupku mencatat bahwa engkau lah pahlawan yang pernah kukenal, engkaulah pahlawan yang selalu setia menemani masa kecilku hingga aku dewasa kini.
Desiran angin menerpa wajahku, banyak daun berguguran, aroma wangi bunga yang ditaburkan di makam menyeruak masuk kedalam hidungku. Ini bukan aroma kematian, tapi aroma perjuangan, batinku.


Tidak ada komentar: