Gadis di Kaki
Bukit Prolo
Pegunungan Kendheng menyimpan banyak cerita, tentang gadis kecil bernama Maryati yang tinggal di kaki bukit Prolo. Tumbuh besar dalam eksotisme alam Bojonegoro dan menabur mimpi di kaki gunung kapur untuk menaklukkan negeri. Kelak ..
Gadis
manis berambut panjang itu bernama Maryati, gadis yang duduk beralaskan terpal di
beranda rumahnya itu sedang memisahkan biji-biji jagung dari bongkotnya untuk
diolah menjadi nasi jagung nantinya. Di bawah Bukit Prolo, bukit yang masih
jajaran Pegunungan Kendheng yang membentang dari Kabupaten Jombang, Nganjuk,
Bojonegoro dan Ngawi., gadis manis berkulit sawo matang itu tinggal bersama
orang tua dan sanak keluarganya. Bukit yang dihiasi oleh tanaman padi di
sepanjang terasering milik warga setempat, pemandangan yang sangat indah jika
dilihat dari kejauhan, ditambah lagi dengan keberadaan rumah-rumah warga yang
berdiri kokoh di kaki Bukit Prolo dibangun dari kayu jati pilihan dengan tanah
yang masih berupa tanah, bukan tegel atau keramik, hunian yang menurutku sangat
sederhana.
Ketika
mengunjungi rumah Maryati maka akan disambut dengan seekor sapi betina dan
seekor pedhet. Bukan disambut dengan
pintu beraksen ukiran mewah dengan perabot yang berplitur indah. Bukan. Ketika
aku mengunjungi rumah gadis yang bernama Maryati aku serasa kembali ke beberapa
puluh tahun yang lalu.
Rumah
di kaki Bukit Prolo bukanlah kawasan real
estate yang digunakan untuk mendirikan villa mewah karena letaknya berada
di daerah pegunungan atau perbukitan. Pegunungan Kendheng bukanlah pengunungan
yang terlalu tinggi, namun memiliki sense
of nature seperti pegunungan-pegunungan lainnya, bentangan alamnya akan
menarik hati siapapun yang memandangnya. Pegunungan Kendheng hampir menyamai
pegunungan di kota besar seperti Malang, Pasuruan, atau Bogor. Jika peguungan
di ketiga kota tersebut berudara dingin dengan pohon-pohon pinus, cemara,
rambutan, durian dan bunga beraneka warna membentang di sisi kanan kiri, maka
di Pegunungan Kendheng pesona alam yang terbentang di sepanjang jalan adalah
hamparan padi, jagung, kelapa dan pohon jati.
Panas
adalah cuaca yang cukup pantas untuk kugambarkan mengenai Pegunungan Kendheng
yang terdapat Bukit Prolo, Bukit Gong dan Gunung Pandhan yang menjadi puncak
tertinggi. Aku tak tau mengapa bukit tempat Maryati tinggal disebut Bukit
Prolo. Ketika kutanya pada Maryati, dia menjawab tidak tahu. Namun ketika aku
bertanya mengenai Bukit Gong dia menjawabnya. Konon ceritanya, di bukit Gong
terdapat seperangkat gamelan yang meliputi gong, sarun, kenung, slenthem dll yang
dulu kerap digunakan penduduk desa sekitar untuk karawitan atau alat untuk
mengiringi tanggapan sindhen atau wayang dalam acara hajatan orang desa. Gong
atau seperangkat gamelan itu menurut ceritanya keberadaannya memang ada di alam
terbuka. Bukan manusia atau penduduk sekitar yang memilikinya, namun makhluk
ciptaan Tuhan lainnya yang kasat mata. Seperangkat gong tersebut bisa dipinjam
atau digunakan oleh penduduk desa dengan cara melakukan ritual tertentu sebagi
izin terhadap pemilik gong. Begitulah ceritanya, cerita yang dulu masih
dipercayai keberadaannya. Namun zaman
semakin berkembang dan terus mengalami perubahan maka semakin pudarlah
kepercayaan itu hingga gong itu dianggap oleh penduduk setempat sudah tidak ada
lagi.
Maryati,
gadis yang lahir dan tumbuh besar di kaki Bukit Prolo yang jauh dari keramaian
harus berjuang keras untuk meraih mimpi. Sekolah dalam pemikiran remaja kota
adalah tempat dimana kita bisa memamerkan kekayaan orang tua. Hal itu tak bisa
dipungkiri, dalam kenyataannya, sekolah merupakan tempat dimana remaja bisa
pamer motor dan gadget terbaru,
tempat memamerkan tas, sepatu, fashion, hijab, atau seperangkat alat sekolah
yang tengah mode on sekarang.
Kawan,
sekolah bagi Maryati adalah sebuah pengorbanan. Dimana selama tiga tahun ia harus
berjuang berangkat pagi naik turun bukit menyeberangi dua sungai untuk bisa
sampai ke sekolah. Tak heran jika kulitnya semakin menjadi coklat sawo matang
karena setiap pagi dan siang hari selalu diterpa sinar matahari saat melewati
pematang sawah dan jalan berpaving yang naik turun. Belum lagi saat musim hujan
turun, semakin berat medan yang harus ia lalui. Banjir yang mengenangi sungai
karena hujan deras, jalanan dan pematang sawah yang penuh menjadi berlumpur.
Maryati,
gadis yang tengah bersekolah di kelas dua sekolah menegah pertama bercita-cita
untuk melanjutkan pendidikan menengah atas di pusat kota tempatku tinggal.
Tentu saja aku mendukung niatnya, menyambut baik harapan dan mimpinya. Dalam
benakku, sungguh indah jika sekolah-sekolah di kota ini dipenuhi oleh mereka
yang memang berniat untuk sekolah, mencari ilmu untuk meraih mimpi, merelakan
diri jauh dari orang tua yang bekerja sebagai petani jagung dan padi di kaki
bukit. Tentu saja sekolah akan dihiasi dengan semangat-semangat yang membara dari
para muridnya. Bukan dihiasi oleh remaja-remaja yang kuanggap seperti manekin
karena mengejar trend dan mode terbaru. Pelajar yang menganggap
sekolah hanya sebagai formalitas saja karena hanya mengejar angka delapan,
sembilan atau bahkan angka seratus sempurna dan absensi dengan cara apapun itu.
Kawan,
percayalah padaku. Jika kau hanya mengejar angka-angka dalam setiap test dan
raportmu maka kau tak akan bisa merasakan bagimana rasanya bersekolah yang
sesungguhnya. Sekolah adalah bagian dari proses hidup, di sekolah lah kita di
tempa untuk menjadi apa yang kita inginkan. Di sekolah lah kita akan
mendapatkan keluarga baru, mendapatkan ilmu-ilmu baru. Kurang apa nikmatnya
bersekolah, para guru yang bersusah payah menempuh pendidikan tinggi, mengajari
kita, mendendangkan pelajaran-pelajaran untuk kita pahami sampai lelah namun
kita hanya menganggapnya angin lalu. Masuk telinga kiri keluar telinga kanan.
Maryati dengan tekad dan semangat
menuntut ilmu yang kuat terus berusaha agar sampai di sekolah tidak telat,
sebelum jago berkokok Maryati sudah bangun untuk menuaikan sholat subuh,
membantu membersihkan rumah dan mempersiapkan diri berangkat ke sekolah. Di
sekolah pun Maryati tekun menikmati pelajaran agar bisa menjadi murid pandai
dan bisa meraih mimpi. Keterbatasan fasilitas seperti buku pelajaran, buku
bacaan, tehnologi pembelajaran dan keterbatasan apa yang dimiliki orang tuanya
membuatnya lebih bersemangat untuk bisa membahagiakan orang tuanya.
Maryati
sepertinya menjadi sosok yang pantas untuk kita tiru. Maaf, bukan maksudku
untuk mengguruimu. Aku hanya ingin berbagi cerita padamu, mungkin kau bisa
mengambil sisi posifit atau hikmah dari apa yang aku ceritakan ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar