“Negeri kita kaya,
kaya, kaya-raya, Saudara-saudara. Berjiwa besarlah, berimagination. Gali!
Bekerja! Gali! Bekerja! Kita adalah satu tanah air paling cantik di dunia”.
Bagaimana jika saya merubah kalimat
yang disampaikan Soekarno menjadi
“Bojonegoro
kaya, sangat kaya, kaya akan minyak dan gas, wahai Pemuda-pemudi. Berjiwa besarlah, berimagination.
Ayo! Semangat! Bekerja! Dan Berkarya! Bojonegoro adalah tanah air paling cantik
di dunia”
Bukan hal yang mengherankan jika saya
menyebut Bojonegoro adalah tanah air paling cantik. Karena
Bojonegoro menjadi salah satu daerah penghasil minyak bumi terbesar di Asia yang
mampu memikat investor asing agar mendirikan perusaahan untuk mengolah minyak di
Bojonegoro.
Nah, sebagai masyarakat Bojonegoro,
khususnya pemuda-pemudi haruslah kritis menyikapi hal ini karena Bojonegoro
memiliki potensi alam yang luar biasa. Potensi tersebut jika dikelola dengan
baik dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat. Oleh karena itu, sebagai
pemuda-pemudi Bojonegoro wajiblah menjadi generasi berkualitas yang mumpuni
untuk menjadikan Bojonegoro matoh yang tidak hanya menjadi sekedar slogan.
Lalu bagaimana menjadikan Bojonegoro
matoh?
Mari kita menggali semangat dari ajaran Saminisme
dari warga Samin yang tinggal di tengah hutan jati yang cukup lebat dan sunyi, di dusun
Jipang Desa Margomulyo Kecamatan Margomulyo.
Ada keunikan di dusun Jepang, kondisi
situasi lingkungan dusun sangat kondusif dan terjaga keamanan serta
kenyamanannya. Karena warga Samin sangat menjunjung tinggi nilai-nilai yang
diajarkan luhurnya yaitu kejujuran dan kebaikan. Tidak ada pencurian di dusun
Jepang, barang yang tergeletak di jalan pun juga tidak akan diambil jika bukan
miliknya.
Warga Samin juga tidak sembarang melakukan
tindakan karena menurut mereka, ketika berbicara dan bersikap harus sesuai dengan apa yang
diucapkan, dipikirkan dan dirasakan dalam hati. Pernah warga Samin menjadi ikon
kejujuran di Jakarta, kabar baik tersebut saya peroleh ketika mengikuti Seminar
Sarasehan Komunitas Pegiat Kebangsaan Jawa Timur di Kahyangan Api pada 6 April
2013 dan yang menjadi pembicaranya adalah Samin Harjo Kardi. Beliau merupakan
turunan ke-4 pendiri ajaran Samin yaitu Samin Surosentiko.
Samin menurut bangsa Belanda dianggap
bodoh karena ketika diajak berdialog tidak nyambung. Samin menggunakan politik
bahasa dalam melawan
bangsa kulit putih. Politik bahasa contohnya maksudnya ketika Belanda bertanya pada orang Samin
“dari mana?” dan orang Samin menjawab “dari belakang mau ke depan”. Tak ayal
jika Belanda menganggap orang Samin idiot karena merasa tidak nyambung ketika
diajak berbicara. Orang Samin tidak pernah menggunakan senjata untuk melawan
Belanda. Cara orang Samin dalam melawan penjajahan kala itu dengan tidak mau
membayar pajak dan menuruti kebijakan Belanda, warga Samin juga tidak menggunakan perlawanan senjata
dan fisik.
Ketika berjuang melawan penjajah, orang Samin punya mimpi, berharap
Indonesia akan dipimpin
oleh orang-orang pribumi, bukan orang asing. Ki Samin kala itu menerapkan
semangat untuk bekerja keras karena orang yang bekerja keras dapat memenuhi
kebutuhan hidup, termasuk punya makan untuk dimakan. Jika punya makanan
sendiri, maka akan tidak mudah tergoda bujukan penjajah Belanda.
Samin memiliki ajaran-ajaran yang bisa
diamalkan oleh masyarakat biasa. Seperti nilai kejujuran, kebersamaan,
kerendahan hati, kesederhanaan, dsb. Nilai-nilai seperti itulah yang bisa
disebut sebagai nilai luhur budaya, yang keberadaanya oleh generasi muda tidak
hanya dipertahankan saja, melainkan harus diamalkan. Nilai kerja keras dalam
ajaran Samin juga bisa kita tiru untuk bersemangat dalam bekerja sehingga bisa
mengelola sendiri potensi yang dimiliki.
Sebagai generasi muda kita harus
semangat dalam menempuh pendidikan. Baik di jenjang terendah sampai tertinggi,.
Agar memiliki skill yang memadai
sehingga bisa menjadi putra daerah yang berintelektual dan mampu mengelola
potensi yang ada di Bojonegoro.
Namun kondisi masyarakat sekarang
ini, nilai luhur budaya yang beberapa puluh tahun lalu masih dipegang teguh
kini mulai mengalami kemerosotan. Generasi muda kurang cakap terhadap apa yang
ada disekitarnya. Krisis moral terjadi di Indonesia, dan tentunya pemuda-pemudi
Bojonegoro termasuk didalamnya. Walaupun sudah banyak berdiri komunitas, klub,
kelompok yang mengatasnamakan solidaritas dan cinta Bojonegoro namun jumlahnya
masih kecil dibandingkan dengan jumlah masyarakat Bojonegoro.
Westernisasi tak pernah berhenti merasuki
sendi-sendi kehidupan yang menyebabkan runtuhnya nilai luhur. Budaya ketimuran
yang sopan dan penuh dengan tatakrama kini mulai berubah menjadi
kebarat-baratan. Buktinya, kecintaan pada budaya lokal semakin menurun dilihat
dari semakin sedikitnya generasi muda yang mempelajari kebudayaan daerah
seperti tari-tarian, musik, kesenian dan kerajinan.
Budaya lokal termasuk salah satunya
sejarah lisan maupun
tertulis yang memiliki nilai moral dan nilai luhur. Termasuk cerita folklore yang divisualisasikan melalui
tari-tarian, teater, pentas budaya kini mulai tergantikan dengan semangat mempelajari
gaya hidup kebarat-baratan yang lebih menggelora daripada mempelajari budaya
sendiri.
Boleh saja mempelajari budaya asing,
namun tidak boleh mengabaikan budaya lokal dan nilai luhur bangsa. Kita harus selektif dalam menerima budaya
asing yang semakin sering mengakulturasikan diri dengan budaya lokal. Sebagai
generasi muda haruslah kita menyadari bahwa secara naluriah telah terpilih
untuk menjadi sosok yang berkewajiban menjaga nilai-nilai luhur budaya dan mengamalkannya di kehidupan
sehari-hari agar asset budaya yang dimiliki tidak hilang begitu saja.
Potret buram kondisi tanah air ini
semakin terlihat jelas, karena sering tersiar di media massa tentang kenakalan
remaja. Meskipun ada beberapa generasi muda yang mengahrumkan nama bangsa di
kancah Internasional dengan kejuaraan-kejuaraan baik di bidang seni, olahraga,
akademik dan potensi lainnya. Namun jumlahnya masih sedikit karena masih banyak
pula remaja yang menorehkan sejumlah kenakalan yang saat ini makin sering
terjadi seperti seks bebas, miras, abortus, tawuran, balapan liar, dll. Remaja juga
tengah berlomba-lomba untuk menikmati produk barat yang semakin merajai
pasaran.
Seseorang akan dianggap gaul jika
bisa makan di restoran fastfood, karena
membeli produk luar negeri dianggap sebagai kebanggaan tersendiri yang bisa
meningkatkan prestise di hadapan masyarakat. Sehingga produk lokal mulai
mengalami penurunan permintaan. Padahal produk lokal adalah karya anak bangsa
yang seharusnya patut diapresiasi.
Betapa westernisasi telah merusak
jati diri generasi muda. Nilai luhur dan moral mulai terabaikan dengan gaya
hidup yang serba modern dan instan. Padahal nilai luhur menjadi pendoman dalam
melaksanakan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Nilai luhur budaya salah satunya juga
dalam hal bersikap dan bertutur kata. Namun dewasa ini etika dalam bertutur
kata tersebut mulai luntur tergerus oleh derasnya pengaruh lingkungan. Remaja
sekarang tidak lagi menerapkan nilai-nilai normatif budaya. Sehingga tidak
jarang kita temukan generasi muda yang tidak bisa menempatkan bahasanya, baik
ketika berkomunikasi dengan yang lebih besar, yang lebih kecil ataupun
sebayanya.
Seringkali dijumpai di jejaring
social postingan yang sifatnya mengumpat atau kata-kata kasar. Hal tersebut
tidaklah sesuai dengan nilai luhur. Sebagai generasi muda yang baik kita harus
menyadari bahwa jejaring social adalah dunia maya yang sangat luas. Status-status yang tidak pantas diposting bisa
saja dibaca oleh orang yang lebih tua dari yang menulis status.
Sikap seperti inilah yang harus
dibenahi agar generasi muda tidak mengalami kemerosotan moral yang semakin
parah. Karena perkembangan zaman semakin menuntut kita untu berpikir kritis dan
tidak apatis. Generasi muda haruslah memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi.
Generasi muda Bojonegoro harus mengupayakan nilai-nilai moral dan luhur dari ajaran
Samin diterapkan di kehidupan agar bisa menjadi generasi muda yang berkualitas
dan patuh terhadap norma-norma yang sesuai di masyarakat.
Karena generasi muda yang nantinya
menjadi agent of change, alias agen
perubahan. Seperti yang pernah dikatakan Bung karno dalam pidatonya “ Tuhan
tidak akan merubah nasib manusia sebelum manusia itu merubah nasibnya sendiri”.
Kata-kata yag dikutip Bung Karno dari Al-Qur’an tersebut dapat kita artikan
Tuhan tidak akan mengubah nasib Bojonegoro sebelum Bojonegoro mengubah nasibnya
sendiri.
Bojonegoro akan menjadi apa kelak
tergantung bagaimana generasi mudanya. Oleh karena itu dibutuhkan generasi muda
yang bisa menjadi seorang pemimpin-pemimpin yang mumpuni, yang punya jiwa
pancasilais, punya semangat nasionalisme, punya kesadaran diri bahwa harus
menjaga nilai-nilai luhur budaya yang mulai runtuh.
Ingat, bahwa pemuda hari ini adalah
orang tua di masa yang akan datang. Kakan seperti apa Indonesia 6-10 tahun
kedepan, tergantung bagaimana generasi mudanya bersikap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar