Kamis, 03 Oktober 2013

Menggali Semangat Menuju Bojonegoro Matoh



“Negeri kita kaya, kaya, kaya-raya, Saudara-saudara. Berjiwa besarlah, berimagination. Gali! Bekerja! Gali! Bekerja! Kita adalah satu tanah air paling cantik di dunia”.

Bagaimana jika saya merubah kalimat yang disampaikan Soekarno menjadi

Bojonegoro kaya, sangat kaya, kaya akan minyak dan gas, wahai Pemuda-pemudi. Berjiwa besarlah, berimagination. Ayo! Semangat! Bekerja! Dan Berkarya! Bojonegoro adalah tanah air paling cantik di dunia

Bukan hal yang mengherankan jika saya menyebut Bojonegoro adalah tanah air paling cantik. Karena Bojonegoro menjadi salah satu daerah penghasil minyak bumi terbesar di Asia yang mampu memikat investor asing agar mendirikan perusaahan untuk mengolah minyak di Bojonegoro.
Nah, sebagai masyarakat Bojonegoro, khususnya pemuda-pemudi haruslah kritis menyikapi hal ini karena Bojonegoro memiliki potensi alam yang luar biasa. Potensi tersebut jika dikelola dengan baik dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat. Oleh karena itu, sebagai pemuda-pemudi Bojonegoro wajiblah menjadi generasi berkualitas yang mumpuni untuk menjadikan Bojonegoro matoh yang tidak hanya menjadi sekedar slogan.
Lalu bagaimana menjadikan Bojonegoro matoh?
Mari kita menggali semangat dari ajaran Saminisme dari warga Samin yang tinggal di tengah hutan jati yang cukup lebat dan sunyi, di dusun Jipang Desa Margomulyo Kecamatan Margomulyo.
Ada keunikan di dusun Jepang, kondisi situasi lingkungan dusun sangat kondusif dan terjaga keamanan serta kenyamanannya. Karena warga Samin sangat menjunjung tinggi nilai-nilai yang diajarkan luhurnya yaitu kejujuran dan kebaikan. Tidak ada pencurian di dusun Jepang, barang yang tergeletak di jalan pun juga tidak akan diambil jika bukan miliknya.
Warga Samin juga tidak sembarang melakukan tindakan karena menurut mereka, ketika berbicara dan bersikap harus sesuai dengan apa yang diucapkan, dipikirkan dan dirasakan dalam hati. Pernah warga Samin menjadi ikon kejujuran di Jakarta, kabar baik tersebut saya peroleh ketika mengikuti Seminar Sarasehan Komunitas Pegiat Kebangsaan Jawa Timur di Kahyangan Api pada 6 April 2013 dan yang menjadi pembicaranya adalah Samin Harjo Kardi. Beliau merupakan turunan ke-4 pendiri ajaran Samin yaitu Samin Surosentiko.
Samin menurut bangsa Belanda dianggap bodoh karena ketika diajak berdialog tidak nyambung. Samin menggunakan politik bahasa dalam melawan bangsa kulit putih. Politik bahasa contohnya maksudnya ketika Belanda bertanya pada orang Samin “dari mana?” dan orang Samin menjawab “dari belakang mau ke depan”. Tak ayal jika Belanda menganggap orang Samin idiot karena merasa tidak nyambung ketika diajak berbicara. Orang Samin tidak pernah menggunakan senjata untuk melawan Belanda. Cara orang Samin dalam melawan penjajahan kala itu dengan tidak mau membayar pajak dan menuruti kebijakan Belanda, warga Samin juga tidak menggunakan perlawanan senjata dan fisik.
Ketika berjuang melawan penjajah, orang Samin punya mimpi, berharap Indonesia akan dipimpin oleh orang-orang pribumi, bukan orang asing. Ki Samin kala itu menerapkan semangat untuk bekerja keras karena orang yang bekerja keras dapat memenuhi kebutuhan hidup, termasuk punya makan untuk dimakan. Jika punya makanan sendiri, maka akan tidak mudah tergoda bujukan penjajah Belanda.
 Samin memiliki ajaran-ajaran yang bisa diamalkan oleh masyarakat biasa. Seperti nilai kejujuran, kebersamaan, kerendahan hati, kesederhanaan, dsb. Nilai-nilai seperti itulah yang bisa disebut sebagai nilai luhur budaya, yang keberadaanya oleh generasi muda tidak hanya dipertahankan saja, melainkan harus diamalkan. Nilai kerja keras dalam ajaran Samin juga bisa kita tiru untuk bersemangat dalam bekerja sehingga bisa mengelola sendiri potensi yang dimiliki.
Sebagai generasi muda kita harus semangat dalam menempuh pendidikan. Baik di jenjang terendah sampai tertinggi,. Agar memiliki skill yang memadai sehingga bisa menjadi putra daerah yang berintelektual dan mampu mengelola potensi yang ada di Bojonegoro.
Namun kondisi masyarakat sekarang ini, nilai luhur budaya yang beberapa puluh tahun lalu masih dipegang teguh kini mulai mengalami kemerosotan. Generasi muda kurang cakap terhadap apa yang ada disekitarnya. Krisis moral terjadi di Indonesia, dan tentunya pemuda-pemudi Bojonegoro termasuk didalamnya. Walaupun sudah banyak berdiri komunitas, klub, kelompok yang mengatasnamakan solidaritas dan cinta Bojonegoro namun jumlahnya masih kecil dibandingkan dengan jumlah masyarakat Bojonegoro.
Westernisasi tak pernah berhenti merasuki sendi-sendi kehidupan yang menyebabkan runtuhnya nilai luhur. Budaya ketimuran yang sopan dan penuh dengan tatakrama kini mulai berubah menjadi kebarat-baratan. Buktinya, kecintaan pada budaya lokal semakin menurun dilihat dari semakin sedikitnya generasi muda yang mempelajari kebudayaan daerah seperti tari-tarian, musik, kesenian dan kerajinan.
Budaya lokal termasuk salah satunya sejarah lisan maupun tertulis yang memiliki nilai moral dan nilai luhur. Termasuk cerita folklore yang divisualisasikan melalui tari-tarian, teater, pentas budaya kini mulai tergantikan dengan semangat mempelajari gaya hidup kebarat-baratan yang lebih menggelora daripada mempelajari budaya sendiri.
Boleh saja mempelajari budaya asing, namun tidak boleh mengabaikan budaya lokal dan nilai luhur bangsa. Kita harus selektif dalam menerima budaya asing yang semakin sering mengakulturasikan diri dengan budaya lokal. Sebagai generasi muda haruslah kita menyadari bahwa secara naluriah telah terpilih untuk menjadi sosok yang berkewajiban menjaga nilai-nilai luhur  budaya dan mengamalkannya di kehidupan sehari-hari agar asset budaya yang dimiliki tidak hilang begitu saja.
Potret buram kondisi tanah air ini semakin terlihat jelas, karena sering tersiar di media massa tentang kenakalan remaja. Meskipun ada beberapa generasi muda yang mengahrumkan nama bangsa di kancah Internasional dengan kejuaraan-kejuaraan baik di bidang seni, olahraga, akademik dan potensi lainnya. Namun jumlahnya masih sedikit karena masih banyak pula remaja yang menorehkan sejumlah kenakalan yang saat ini makin sering terjadi seperti seks bebas, miras, abortus, tawuran, balapan liar, dll. Remaja juga tengah berlomba-lomba untuk menikmati produk barat yang semakin merajai pasaran.
Seseorang akan dianggap gaul jika bisa makan di restoran fastfood, karena membeli produk luar negeri dianggap sebagai kebanggaan tersendiri yang bisa meningkatkan prestise di hadapan masyarakat. Sehingga produk lokal mulai mengalami penurunan permintaan. Padahal produk lokal adalah karya anak bangsa yang seharusnya patut diapresiasi.
Betapa westernisasi telah merusak jati diri generasi muda. Nilai luhur dan moral mulai terabaikan dengan gaya hidup yang serba modern dan instan. Padahal nilai luhur menjadi pendoman dalam melaksanakan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Nilai luhur budaya salah satunya juga dalam hal bersikap dan bertutur kata. Namun dewasa ini etika dalam bertutur kata tersebut mulai luntur tergerus oleh derasnya pengaruh lingku­ngan. Remaja sekarang tidak lagi menerap­kan nilai-nilai normatif budaya. Sehingga tidak jarang kita temukan generasi muda yang tidak bisa menempatkan bahasanya, baik ketika berkomunikasi dengan yang lebih be­sar, yang lebih kecil ataupun sebayanya.
Seringkali dijumpai di jejaring social postingan yang sifatnya mengumpat atau kata-kata kasar. Hal tersebut tidaklah sesuai dengan nilai luhur. Sebagai generasi muda yang baik kita harus menyadari bahwa jejaring social adalah dunia maya yang sangat luas. Status-status yang tidak pantas diposting bisa saja dibaca oleh orang yang lebih tua dari yang menulis status.
Sikap seperti inilah yang harus dibenahi agar generasi muda tidak mengalami kemerosotan moral yang semakin parah. Karena perkembangan zaman semakin menuntut kita untu berpikir kritis dan tidak apatis. Generasi muda haruslah memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi. Generasi muda Bojonegoro harus mengupayakan nilai-nilai moral dan luhur dari ajaran Samin diterapkan di kehidupan agar bisa menjadi generasi muda yang berkualitas dan patuh terhadap norma-norma yang sesuai di masyarakat.
Karena generasi muda yang nantinya menjadi agent of change, alias agen perubahan. Seperti yang pernah dikatakan Bung karno dalam pidatonya “ Tuhan tidak akan merubah nasib manusia sebelum manusia itu merubah nasibnya sendiri”. Kata-kata yag dikutip Bung Karno dari Al-Qur’an tersebut dapat kita artikan Tuhan tidak akan mengubah nasib Bojonegoro sebelum Bojonegoro mengubah nasibnya sendiri.
Bojonegoro akan menjadi apa kelak tergantung bagaimana generasi mudanya. Oleh karena itu dibutuhkan generasi muda yang bisa menjadi seorang pemimpin-pemimpin yang mumpuni, yang punya jiwa pancasilais, punya semangat nasionalisme, punya kesadaran diri bahwa harus menjaga nilai-nilai luhur budaya yang mulai runtuh.
Ingat, bahwa pemuda hari ini adalah orang tua di masa yang akan datang. Kakan seperti apa Indonesia 6-10 tahun kedepan, tergantung bagaimana generasi mudanya bersikap.

Tidak ada komentar: