Kamis, 24 Desember 2015

Dampak Pendidikan Homeschooling terhadap Kondisi Psikososial Anak

Pengertian pendidikan dalam UU. No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Terdapat tiga jalur pendidikan yang diakui dan diatur dalam UU Sisdiknas yaitu pendidikan formal,pendidikan informal dan pendidikan nonformal. Pendidikan informal yang mulai berkembang di Indonesia sekarang ini salah satunya adalah pendidikan homeschooling (Febriane & Wresti, 2005 dalam  Eka & Suparno, 2010).
Homeschooling secara etimologis dapat dimaknai sebagai sekolah rumah. Namun pada hakikatnya homeschooling merupakan sebuah sekolah alternatif yang mencoba menempatkan anak sebagai subjek belajar dengan pendekatan pendidikan secara at home. Pendekatan pendidikan at home yaitu pendekatan kekeluargaan yang memungkinkan anak belajar dengan nyaman sesuai dengan keinginan dan gaya belajar masing-masing, kapan saja, dimana saja dan dengan siapa saja. Harapannya anak dapat tumbuh kembang lebih wajar dan optimal tanpa terkekang potensi dan bakatnya.
Secara umum, fenomena berkembangnya homeschooling di Indonesia saat ini dapat dikategorikan menjadi tiga konteks. Pertama, fenomena homeschooling tumbuh di masyarakat kalangan menengah ke atas yang memahami falsafah pendidikan dalam konteks pencerahan dan pembebasan. Keluarga seperti ini memilih homeschooling sebagai jawaban atas sulitnya membebaskan sekolah formal dari praktik pengekangan terhadap hak tumbuh kembang anak secara wajar. Kedua,homeschooling tumbuh dalam konteks lingkungan keluarga miskin yang kesulitan mengakses pendidikan formal yang cukup mahal. Dalam konteks ini, fenomena tumbuhnya homeschooling didasarkan pada ketidakberdayaannya secara ekonomi untuk mengenyam pendidikan formal yang elitis.Ketiga, fenomena persekolah di rumah tumbuh dalam konteks lingkungan keluarga yang anaknya memiliki aktifitas kegiatan atau pekerjaan yang banyak bertubrukan dengan jam pelajaran yang dijadwalkan oleh sekolah-sekolah formal. Sekolah rumah dalam konteks ini biasanya terjadi pada keluarga yang anaknya menjadi artis, atlet, penyanyi dan lainnya yang mengalami kesulitan untuk menyesuaikan kegiatannya dengan jam belajar di sekolah formal.



Menurut teori Interactionist Perspective yang dikembangkan oleh George Herbert Mead mengatakan bahwa keanggotaan kita pada sebuah kelompok sosial menghasilkan interaksi dan perilaku bersama yang kita kenal dengan nama budaya. Budaya atau lingkungan mempengaruhi tumbuh kembang anak sesuai dengan teori sosial budaya Vygotsky. Menurut teori ini berarti kemampuan sosial anak yang mengikuti pendidikan homeschooling berbeda dengan anak yang mengikuti pendidikan formal.
Interaksi sosial dengan teman sebaya pada anak homeschooling kurang berkembang bila dibandingkan dengan interaksi sosial dengan teman sebaya pada anak sekolah reguler. Anaksekolah reguler lebih intensif bertemu dengan anak-anak sebayanya sedangkan anak homeschooling memiliki sedikit kesempatan untuk bertemu dengan anak-anak sebayanya. Anakhomeschooling lebih sering berinteraksi dengan anak-anak dan orang-orang yang lebih tua (orang tua mereka sebagai pengajar, guru les dan pengasuh yang tinggal di rumahnya). Sedangkan anak sekolah reguler berinteraksi dengan anak-anak sebayanya setiap hari di sekolahnya, mereka juga berinteraksi dengan orang-orang yang lebih tua (guru di sekolah, kakak kelas dan juga adik kelas), tetapi mereka lebih sering berinteraksi dengan teman-teman sebaya mereka.
Anak homeschooling memiliki sedikit teman yang akrab, mereka cenderung lebih akrab dengan anggota keluarga sendiri. Anak sekolah reguler memiliki banyak teman akrab di sekolah dan juga di lingkungan sekitar rumah tetapi juga tidak tertutup dengan anggota keluarganya. Kemampuan kerjasama pada anak homeschooling kurang terasah, hal ini dikarenakanmereka lebih sering belajar secara mandiri dantidak berkelompok dengan teman-teman sebayanya.Anak sekolah reguler belajar mengembangkansikap kerjasama (mengungkapkan pendapat, menghadapi perbedaan pendapat, dll) di sekolah dalam suatu tugas kelompok, dan juga dalam permainan-permainan kelompok yang membutuhkan banyak orang untuk memainkannya. Kapasitas intelegensi seseorang mempengaruhi kemampuan orang dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya, anak yang memiliki intelegensi yang rendah mendapat perlakuan yang kurang baik dari teman-temannya, seperti ejekan dan lain sebagainya, hal ini yang membuat anak menjadi rendah diri dan menutup diri dari lingkungannya, dan kemudian menghambat perkembangan kemampuan interaksi sosialnya. Bukan hanya program sekolah yang mempengaruhi interaksi sosial dengan teman sebaya pada anak, tempat tinggal mereka dan bagaimana cara orang tua memberikan kesempatan kepada anak untuk berinteraksi dengan teman sebaya juga mempengaruhi kemampuan interaksi mereka dengan teman sebaya.



Daftar Rujukan

Soeparno & Setiawati, Eka. 2010. “Inteaksi Sosial dengan Teman Sebaya pada AnakHomeschooling dan Anak Sekolah Reguler (Sebuah Studi Komparatif)”.Indigenous, Jurnal Ilmiah Berkala Psikologi, Vol. 12, No. 1, Mei 2010 : 55-65.

Ningrum, Jaya Agustiana &Eriani, Praheresty. 2013. ”Faktor-Faktor yang Memotivasi Ibu Menyekolahkan Anak di Homeschooling Kak Seto Semarang”. Jurnal Psikodimensia, Vol. 12, No.1, Januari - Juni 2013, 47 – 62.

Muhtadi, Ali. Pendidikan dan Pembelajaran di Sekolah Rumah (Homeschooling): Suatu Tinjauan Teoristis dan Praktis.

Dampak Positif dan Negatif Homeschooling bagi Anak. 2012. (online), (http://afa-belajar.blogspot.com/2012/05/homeschooling.html, diakses pada 5 April 2015)

Ali, Mohammad. Homechooling Ditinjau dari Psikologi Sosial. 2011. (online), (http://gapurailmubdk.blogspot.com/2011/11/homeschooling-ditinjau-dari-psikologi.html, diakses pada 5 April 2015)

Presiden Republik Indonesia. 2003. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta


Tidak ada komentar: