Pengertian pendidikan dalam UU. No 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa
dan negara. Terdapat tiga jalur pendidikan yang diakui dan diatur dalam UU Sisdiknas
yaitu pendidikan formal,pendidikan informal dan
pendidikan nonformal. Pendidikan informal yang mulai berkembang di Indonesia
sekarang ini salah satunya adalah pendidikan homeschooling (Febriane & Wresti, 2005 dalam Eka & Suparno, 2010).
Homeschooling
secara etimologis dapat dimaknai sebagai sekolah rumah. Namun pada hakikatnya homeschooling
merupakan sebuah sekolah alternatif yang mencoba menempatkan anak sebagai
subjek belajar dengan pendekatan pendidikan secara at home. Pendekatan
pendidikan at home yaitu pendekatan kekeluargaan yang memungkinkan anak
belajar dengan nyaman sesuai dengan keinginan dan gaya belajar masing-masing,
kapan saja, dimana saja dan dengan siapa saja. Harapannya anak dapat tumbuh
kembang lebih wajar dan optimal tanpa terkekang potensi dan bakatnya.
Secara umum, fenomena berkembangnya homeschooling
di Indonesia saat ini dapat dikategorikan menjadi tiga konteks. Pertama, fenomena homeschooling tumbuh
di masyarakat kalangan menengah ke atas yang memahami falsafah pendidikan dalam
konteks pencerahan dan pembebasan. Keluarga seperti ini memilih homeschooling
sebagai jawaban atas sulitnya membebaskan sekolah formal dari praktik
pengekangan terhadap hak tumbuh kembang anak secara wajar. Kedua,homeschooling tumbuh
dalam konteks lingkungan keluarga miskin yang kesulitan mengakses pendidikan
formal yang cukup mahal. Dalam konteks ini, fenomena tumbuhnya homeschooling
didasarkan pada ketidakberdayaannya secara ekonomi untuk mengenyam
pendidikan formal yang elitis.Ketiga,
fenomena persekolah di rumah tumbuh dalam konteks lingkungan keluarga yang
anaknya memiliki aktifitas kegiatan atau pekerjaan yang banyak bertubrukan
dengan jam pelajaran yang dijadwalkan oleh sekolah-sekolah formal. Sekolah
rumah dalam konteks ini biasanya terjadi pada keluarga yang anaknya menjadi
artis, atlet, penyanyi dan lainnya yang mengalami kesulitan untuk menyesuaikan
kegiatannya dengan jam belajar di sekolah formal.
Menurut teori Interactionist
Perspective yang dikembangkan oleh George Herbert Mead mengatakan bahwa
keanggotaan kita pada sebuah kelompok sosial menghasilkan interaksi dan perilaku
bersama yang kita kenal dengan nama budaya. Budaya atau lingkungan mempengaruhi
tumbuh kembang anak sesuai dengan teori sosial budaya Vygotsky. Menurut teori
ini berarti kemampuan sosial anak yang mengikuti pendidikan homeschooling berbeda dengan anak yang
mengikuti pendidikan formal.
Interaksi sosial dengan teman sebaya
pada anak homeschooling kurang berkembang bila dibandingkan dengan
interaksi sosial dengan teman sebaya pada anak sekolah reguler. Anaksekolah
reguler lebih intensif bertemu dengan anak-anak sebayanya sedangkan anak homeschooling
memiliki sedikit kesempatan untuk bertemu dengan anak-anak sebayanya. Anakhomeschooling
lebih sering berinteraksi dengan anak-anak dan orang-orang yang lebih tua (orang
tua mereka sebagai pengajar, guru les dan pengasuh yang tinggal di rumahnya). Sedangkan
anak sekolah reguler berinteraksi dengan anak-anak sebayanya setiap hari di
sekolahnya, mereka juga berinteraksi dengan orang-orang yang lebih tua (guru di
sekolah, kakak kelas dan juga adik kelas), tetapi mereka lebih sering
berinteraksi dengan teman-teman sebaya mereka.
Anak homeschooling memiliki
sedikit teman yang akrab, mereka cenderung lebih akrab dengan anggota keluarga
sendiri. Anak sekolah reguler memiliki banyak teman akrab di sekolah dan juga
di lingkungan sekitar rumah tetapi juga tidak tertutup dengan anggota
keluarganya. Kemampuan kerjasama pada anak homeschooling kurang terasah,
hal ini dikarenakanmereka lebih sering belajar secara mandiri dantidak
berkelompok dengan teman-teman sebayanya.Anak sekolah reguler belajar
mengembangkansikap kerjasama (mengungkapkan pendapat, menghadapi perbedaan
pendapat, dll) di sekolah dalam suatu tugas kelompok, dan juga dalam
permainan-permainan kelompok yang membutuhkan banyak orang untuk memainkannya.
Kapasitas intelegensi seseorang mempengaruhi kemampuan orang dalam menyesuaikan
diri dengan lingkungannya, anak yang memiliki intelegensi yang rendah mendapat
perlakuan yang kurang baik dari teman-temannya, seperti ejekan dan lain
sebagainya, hal ini yang membuat anak menjadi rendah diri dan menutup diri dari
lingkungannya, dan kemudian menghambat perkembangan kemampuan interaksi
sosialnya. Bukan hanya program sekolah yang mempengaruhi interaksi sosial
dengan teman sebaya pada anak, tempat tinggal mereka dan bagaimana cara orang
tua memberikan kesempatan kepada anak untuk berinteraksi dengan teman sebaya
juga mempengaruhi kemampuan interaksi mereka dengan teman sebaya.
Daftar Rujukan
Soeparno
& Setiawati, Eka. 2010. “Inteaksi
Sosial dengan Teman Sebaya pada AnakHomeschooling dan Anak Sekolah Reguler
(Sebuah Studi Komparatif)”.Indigenous, Jurnal Ilmiah Berkala Psikologi,
Vol. 12, No. 1, Mei 2010 : 55-65.
Ningrum,
Jaya Agustiana &Eriani, Praheresty. 2013. ”Faktor-Faktor yang Memotivasi Ibu
Menyekolahkan Anak di Homeschooling Kak Seto Semarang”. Jurnal Psikodimensia,
Vol. 12, No.1, Januari - Juni 2013, 47 – 62.
Muhtadi, Ali. Pendidikan dan Pembelajaran di Sekolah Rumah
(Homeschooling): Suatu Tinjauan Teoristis dan Praktis.
Dampak Positif dan Negatif Homeschooling bagi Anak. 2012. (online), (http://afa-belajar.blogspot.com/2012/05/homeschooling.html, diakses pada 5
April 2015)
Ali, Mohammad. Homechooling Ditinjau dari Psikologi Sosial. 2011. (online),
(http://gapurailmubdk.blogspot.com/2011/11/homeschooling-ditinjau-dari-psikologi.html, diakses pada 5
April 2015)
Presiden Republik Indonesia. 2003. Undang-Undang
No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar