Kamis, 24 Desember 2015

Analisis Faktor-Faktor Kegagalan dan Keberhasilan terkait Perasaan Inferioritas dan Superioritas dalam Hasil Belajar

Adler, tokoh psikologi individual menyakini bahwa setiap individu dalam hidupnya pasti mengalami perasaan inferioritas dan superioritas. Inferioritas adalah perasaan tidak terampil dalam menghadapi tugas atau kondisi tertentu sehingga individu akan berjuang untuk meraih superioritas, yaitu perasaan untuk berada pada kondisi yang diharapkan untuk mengktualisasisasikan diri dalam teori hierarki kebutuhan Maslow. Dalam kehidupan, inferioritas erat kaitannya dengan kegagalan dan superioritas dengan keberhasilan. Contoh, saat menempuh pendidikan tentunya setiap individu pasti menjalani proses belajar  yang tidak hanya dibangku sekolah, melainkan juga di masyarakat dan keluarga. Hasil dari proses belajar tidak hanya dipengaruhi oleh kemampuan kognitif dalam menerima pengetahuan, namun juga dipengaruhi oleh proses sosial yang dijalani.
Perasaan inferioritas atau kegagalan yang pernah saya alami ialah saat tidak lolos di seleksi terakhir penerimaan beasiswa SMA Sampoerna Bogor. Saya merasa gagal karena pada test interview tidak memberikan jawaban yang optimal karena menjawab pertanyaan dari psikolog sambil menangis. Mungkin psikolog menilai bahwa saya kurang memiliki kepercayaan diri dan ketidaksiapan untuk sekolah di Bogor. Padahal saya memiliki harapan besar untuk diterima beasiswa Sampoerna Foundation. Saya juga gagal masuk di SMAN 1 Bojonegoro karena pada saat test saya juga merasa tidak optimal karena tidak belajar terlebih dahulu dan kurang fasih berbahasa inggris serta terlalu berharap bahwa bisa lolos beasiswa. Kegagalan ini membuat saya merasa merasa tidak dapat membanggakan orang tua . Lalu saya mendaftar di SMAN 2 Bojonegoro, di SMA ini saya berusaha menggunakan seluruh kemampuan agar prestasi akademik dan non akademik saya baik. Dan hal tersebut terbukti karena saya  mendapat peringkat pararel dan kelas, menjadi ketua MPK, aktif di kegiatan ekstra dan intra sekolah, menjuarai beberapa kegiatan non ekstra, sering menjadi delegasi sekolah di ajang pendidikan tingkat provinsi, dll. Keberhasilan tersebut saya raih untuk menebus kesalahan saya karena gagal mendapatkan beasiswa dan saya berpikiran bahwa saya mampu membanggakan orang tua saya dengan cara lain.
Menurut teori perkembangan kogitif Piaget, remaja usia 11 tahun hingga dewasa berada pada tahap operasional konkret. Pada tahapan ini, individu memiliki penalaran hipotesis-deduktif, yaitu kemampuan membuat dugaan dalam membuat keputusan untuk memecahkan masalah sehingga dapat membuat kesimpulan yang sistematis. Contoh diatas, penalaran muncul ketika individu karena merasakan kondisi yang tidak sesuai harapan dan  mendapatkan masalah dan harus membuat suatu keputusan untuk memecahkan masalah tersebut. Individu berjuang untuk mencapai keberhasilan atau superioritas dengan cara-cara yang dianggapnya mampu untuk mengaktualisasikan diri. Pencapaian superiotitas dilakukan dengan memiliki minat sosial positif, gaya hidup baik serta menggunakan kekuatan kreatifitas diridengan optimal.
Kegagalan dalam contoh diatas disebabkan karena faktor dari dalam, yaitu pola pikiran individu dan kepercayaan diri sehingga saat interview individu menunuukkan  sikap kurang siap dan percaya diri. Sedangkan keberhasilan individu dilatarbelakangi oleh faktor dari dalam yaitu, menurut teori Belajar Sosial Bandura, adanya  self efficacy dalam diri bahwa individu yakin bisa mengorganisasikan dan melakukan strategi-strategi tertentu untuk meraih tujuan, berpikir positif, meregulasi diri sehingga bisa mengaktualisasikan dirinya meskipun berada pada kondisi yang sulit. Faktor luar juga mempengaruhi individu yaitu adanya dukungan dari keluarga dan pihak-pihak terkait. Dalam hal ini, individu mampu menjalin interaksi sosial yang baik sehingga lingkungan memberikan dorongan kepada individu agar terus berusaha mencapai tujuannya.
Hal ini juga sesuai dengan teori ekologi Bronfenbenner bahwa konteks sosial dimana individu tinggal mempengaruhi perkembangan. Pada rentang mikrosistem, interaksi langsung dengan lingkungan luar keluarga dan keluarga mempengaruhi individu dalam usaha pencapaian tujuan. Rentang mesosistem, individu mampu membuat keputusan-keputusan bagi dirinya karena keluarga memberikan kepercayaan bahwa individu mampu melakukan hal terbaik sehingga saat sekolah prestasi akademik individu cukup baik. Rentang ekosistem, individ memegang peranan kuat dan berperan aktif dalam lingkungannya contohnya bisa menjadi ketua MPK dan aktif di berbagai organisasi. Rentang makrosistem,  ekonomi yang lemah menyebabkan individu memiliki kemampuan belajar yang ulet, hal ini juga dirasakan individu untuk berusaha belajar dengan sungguh-sungguh agar prestasi akademik dan non akademik sesuai harapan. Terkait dengan rentang kronosistemnya, individu dalam membuat keputusan dan startegi dalam mencapai tujuan dipengaruhi oleh kondisi sosiohistoris seperti berada pada keluarga yang berada di ekonomi menegah kebawah dna sikap keluarga yang memberi kepercayaan individu untuk membuat keputusan-keputusan bagi dirinya sendiri.
Jadi, kegagalan dan keberhasilan erat kaitannya dengan perasaan superioritas dan inferioritas dan disebabkan oleh faktor dari dalam dan luar. Faktor dari dalam yaitu kurangnya self efficacy individu untuk menjalani suatu tugas atau kondisi tertentu sedangkan faktor dari luar berhubungan dengan orang-orang disekitar individu yang mampu mempengaruhi pola pikir, emosi dan sikap individu.

DAFTAR RUJUKAN
1.      Alwisol. 2014. Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press
2.      Santrock, John. W. 2015. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Kencana
3.      Suryatabrata, Sumardi. 2014. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rajawali Press



Tidak ada komentar: