Adler, tokoh psikologi individual menyakini bahwa
setiap individu dalam hidupnya pasti mengalami perasaan inferioritas dan
superioritas. Inferioritas adalah perasaan tidak terampil dalam menghadapi
tugas atau kondisi tertentu sehingga individu akan berjuang untuk meraih
superioritas, yaitu perasaan untuk berada pada kondisi yang diharapkan untuk mengktualisasisasikan
diri dalam teori hierarki kebutuhan Maslow. Dalam kehidupan, inferioritas erat
kaitannya dengan kegagalan dan superioritas dengan keberhasilan. Contoh, saat
menempuh pendidikan tentunya setiap individu pasti menjalani proses belajar yang tidak hanya dibangku sekolah, melainkan
juga di masyarakat dan keluarga. Hasil dari proses belajar tidak hanya
dipengaruhi oleh kemampuan kognitif dalam menerima pengetahuan, namun juga
dipengaruhi oleh proses sosial yang dijalani.
Perasaan inferioritas atau kegagalan yang pernah
saya alami ialah saat tidak lolos di seleksi terakhir penerimaan beasiswa SMA
Sampoerna Bogor. Saya merasa gagal karena pada test interview tidak memberikan
jawaban yang optimal karena menjawab pertanyaan dari psikolog sambil menangis.
Mungkin psikolog menilai bahwa saya kurang memiliki kepercayaan diri dan ketidaksiapan
untuk sekolah di Bogor. Padahal saya memiliki harapan besar untuk diterima
beasiswa Sampoerna Foundation. Saya juga gagal masuk di SMAN 1 Bojonegoro
karena pada saat test saya juga merasa tidak optimal karena tidak belajar
terlebih dahulu dan kurang fasih berbahasa inggris serta terlalu berharap bahwa
bisa lolos beasiswa. Kegagalan ini membuat saya merasa merasa tidak dapat
membanggakan orang tua . Lalu saya mendaftar di SMAN 2 Bojonegoro, di SMA ini
saya berusaha menggunakan seluruh kemampuan agar prestasi akademik dan non
akademik saya baik. Dan hal tersebut terbukti karena saya mendapat peringkat pararel dan kelas, menjadi
ketua MPK, aktif di kegiatan ekstra dan intra sekolah, menjuarai beberapa
kegiatan non ekstra, sering menjadi delegasi sekolah di ajang pendidikan
tingkat provinsi, dll. Keberhasilan tersebut saya raih untuk menebus kesalahan
saya karena gagal mendapatkan beasiswa dan saya berpikiran bahwa saya mampu
membanggakan orang tua saya dengan cara lain.
Menurut teori perkembangan kogitif Piaget, remaja
usia 11 tahun hingga dewasa berada pada tahap operasional konkret. Pada tahapan
ini, individu memiliki penalaran hipotesis-deduktif, yaitu kemampuan membuat
dugaan dalam membuat keputusan untuk memecahkan masalah sehingga dapat membuat
kesimpulan yang sistematis. Contoh diatas, penalaran muncul ketika individu karena
merasakan kondisi yang tidak sesuai harapan dan mendapatkan masalah dan harus membuat suatu
keputusan untuk memecahkan masalah tersebut. Individu berjuang untuk mencapai keberhasilan
atau superioritas dengan cara-cara yang dianggapnya mampu untuk
mengaktualisasikan diri. Pencapaian superiotitas dilakukan dengan memiliki
minat sosial positif, gaya hidup baik serta menggunakan kekuatan kreatifitas
diridengan optimal.
Kegagalan dalam contoh diatas disebabkan karena
faktor dari dalam, yaitu pola pikiran individu dan kepercayaan diri sehingga
saat interview individu menunuukkan
sikap kurang siap dan percaya diri. Sedangkan keberhasilan individu dilatarbelakangi
oleh faktor dari dalam yaitu, menurut teori Belajar Sosial Bandura, adanya self
efficacy dalam diri bahwa individu yakin bisa mengorganisasikan dan
melakukan strategi-strategi tertentu untuk meraih tujuan, berpikir positif,
meregulasi diri sehingga bisa mengaktualisasikan dirinya meskipun berada pada
kondisi yang sulit. Faktor luar juga mempengaruhi individu yaitu adanya
dukungan dari keluarga dan pihak-pihak terkait. Dalam hal ini, individu mampu
menjalin interaksi sosial yang baik sehingga lingkungan memberikan dorongan
kepada individu agar terus berusaha mencapai tujuannya.
Hal ini juga sesuai dengan teori ekologi
Bronfenbenner bahwa konteks sosial dimana individu tinggal mempengaruhi
perkembangan. Pada rentang mikrosistem, interaksi langsung dengan lingkungan
luar keluarga dan keluarga mempengaruhi individu dalam usaha pencapaian tujuan.
Rentang mesosistem, individu mampu membuat keputusan-keputusan bagi dirinya
karena keluarga memberikan kepercayaan bahwa individu mampu melakukan hal
terbaik sehingga saat sekolah prestasi akademik individu cukup baik. Rentang
ekosistem, individ memegang peranan kuat dan berperan aktif dalam lingkungannya
contohnya bisa menjadi ketua MPK dan aktif di berbagai organisasi. Rentang
makrosistem, ekonomi yang lemah
menyebabkan individu memiliki kemampuan belajar yang ulet, hal ini juga
dirasakan individu untuk berusaha belajar dengan sungguh-sungguh agar prestasi
akademik dan non akademik sesuai harapan. Terkait dengan rentang
kronosistemnya, individu dalam membuat keputusan dan startegi dalam mencapai tujuan
dipengaruhi oleh kondisi sosiohistoris seperti berada pada keluarga yang berada
di ekonomi menegah kebawah dna sikap keluarga yang memberi kepercayaan individu
untuk membuat keputusan-keputusan bagi dirinya sendiri.
Jadi, kegagalan dan keberhasilan erat kaitannya
dengan perasaan superioritas dan inferioritas dan disebabkan oleh faktor dari
dalam dan luar. Faktor dari dalam yaitu kurangnya self efficacy individu untuk menjalani suatu tugas atau kondisi tertentu
sedangkan faktor dari luar berhubungan dengan orang-orang disekitar individu
yang mampu mempengaruhi pola pikir, emosi dan sikap individu.
DAFTAR RUJUKAN
1. Alwisol.
2014. Psikologi Kepribadian. Malang:
UMM Press
2. Santrock,
John. W. 2015. Psikologi Pendidikan.
Jakarta: Kencana
3. Suryatabrata,
Sumardi. 2014. Psikologi Pendidikan.
Jakarta: Rajawali Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar