A.
Deksripsi
Tokoh
Gola Gong memiliki nama asli Heri Hendrayana Harris.
Lahir di Purwakarta pada 15 Agustus 1963 dari pasangan bernama Harris dan
Atisah, Bapaknya berprofesi sebagai guru olahraga, sedangkan ibunya berprofesi
sebagai guru di sekolah keterampilan putri. Ia adalah sastrawan berkebangsaan
Indonesia yang juga merupakan pendiri Rumah Dunia di Serang, Banten. Gola Gong
juga menjadi pemimpin perusahaan tabloid Kaibon-Meida Ramah Keluarga Banten, Ketua
Umum Forum Taman Bacaan Masyarakat (FTBM) Indonesia, penulis buku, dan sering
menjadi narasumber dalam berbagai kegiatan jurnalistik. Gola Gong menikah pada
usia 33 tahun dengan wanita bernama Tias Tatanka dan dikaruniai empat orang
anak.
Gola Gong kehilangan tangan kiri sebatas sikut pada
usia 11 tahun tepatnya ia menjalani operasi amputasi pada bulan Oktober 1973. Kronologisnya,
waktu itu ia dan teman-temannya bermain di alun-alun kota dan ada tentara
latihan terjun payung, Gola Gong kecil menantang kawan-kawannya untuk adu
keberanian seperti penerjun payung. Adu keberanian tersebut dilakukan dengan
cara loncat dari pohon dan berujung celaka bagi Gola Gong karena ia mengalami cidera
parah sehingga tangan kirinya harus diamputasi sebatas sikut. Namun hal
tersebut tidak membuat Gola Gong sedih karena Bapaknya selalu memberinya
semangat bahwa kamu harus terus membaca
agar kamu lupa bahwa diri kamu cacat.
Kedua orang tua Gola Gong memiliki keinginan dan
tekad yang kuat agar anaknya tetap bersemangat dan mampu menjalani hari-hari
layaknya anak normal lainnya. Bapak dan Emak mempersiapkan Gola Gong dengan
cinta agar ia mampu menghadapi kehidupan yang keras tanpa merasa rendah diri. Gola
Gong digambleng dengan buku, olahraga
dan dengan tayangan film agar memiliki mental baja ketika maju ke medan
perang kehidupan. Bapak dan Emak tidak menuntut Gola Gong untuk berprestasi di
dalam pendidikan formal, tapi mengharapkan Gola Gong mampu berkiprah di
kehidupan. Bagi Bapak dan Emak, sebaik-baik manusia ialah yang bermanfaat bagi
orang lain.
Pengajaran dari Bapak dan Emak bermula dari
kelereng. Gola Gong kecil sangat mahir bermain kelereng. Bapak tidak ingin Gola
Gong dilecehkan teman-temannya oleh karena itu Bapak berusaha mengajari Gola
Gong bermain kelereng dengan satu tangan. Akhirnya, Gola Gong bersemangat
bermain kelereng tanpa merasa dirinya cacat. Bapak juga mengajari Gola Gong
untuk berolahraga karena jiwa yang sehat terdapat dalam tubuh yang kuat.
Hasilnya, Gola Gong mampu meraih berbagai kejuaraan badminton se-Asia Pasifik layaknya
atlet berlengan dua.
Emak juga menyemangati Gola Gong dengan
nasihat-nasihat yang menenangkan. Bahkan ketika Gola Gong akan pergi
menaklukkan Jakarta, Gola Gong dibekali uang untuk membeli tangan palsu. Uang
tersebut dari hasil tabungan emaknya. Menurut Gola Gong, Emak ialah sosok yang
selalu mengasah hati dan jiwanya, membuatnya untuk tetap berendah hati dan
tidak menyepelekan, serta mengingatkan Gola Gong untuk selalu menghargai
lawan-lawannya.
Bapak dan Emak sering membawa buku biografi
orang-orang hebat. Hal ini membuat Gola Gong hobi membaca buku dan terinspirasi
dari tokoh-tokoh hebat yang dibacanya. Hingga akhirnya, Gola Gong mampu menjadi
penulis buku dan sastrawan terkenal. Gola Gong merasa bahwa semangat dan
kreatifitas yang dimiliki karena ia rajin membaca. Dengan menulis, Gola Gong
ingin memberi semangat kepada generasi muda, karena dalam buku yang ia tulis
isinya tentang pengalaman hidupnya menjadi orang yang cacat dan berbeda
Dalam Buku Aku, Anak Matahari, Gola Gong juga
menceritakan bahwa secara tidak langsung ia telah mewujudkan mimpi Bapak dan
Emak. Secara perlahan-lahan Bapak dan Emak telah merencanakan sesuatu untuk
anak-anaknya. Bapak pernah memiliki keinginan untuk keliling dunia dan mimpi
itu kemudian dilimpahkan kepada Gola Gong. Terbuti bahwa Bapak dan Emak sangat
mendukung Gola Gong untuk mencari pengalaman batin dengan melakukan perjalanan
keliling Indonesia (1986-1987) dan Asia (1990-1992). Bapak ingin menjadi juara
Badminton seperti Rudi Hartono dan akhirnya anak-anaknya mampu meraih berbagai
kejuaraan Badminton, bahkan Gola Gong mampu menjuarai lomba badminton se-Asia
Pasifik.
Orang tua Gola Gong tidak pernah memaksa atau
menyuruh Gola Gong untuk menjadi ini dan itu. Orang tua Gola Gong hanya
menyediakan sarana, menurut Bapak dan Emak, jika anak melakukan sesuatu
pekerjaan atas keinginan orang tuanya, itu tidak baik. Yang baik ialah, keinginan
itu muncul dari keinginan anak. Bapak dan Emak hanya memancing kreatifitas
anak-anaknya dengan buku-buku yang disusun di rak, di halaman rumah disediakan
arena bermain sederhana sepeti ayunan, perosotan, jungkit-jungkitan dan kolam
ikan. Kemudian, praktiknya akan muncul dengan sendirinya. Gola Gong kecil sangat
gembira sehingga paling sering melakukan praktik-praktik sehingga cara
berpikirnya lebih cepat dari teman sebayanya.
Kemudian, perkara Rumah Dunia juga keinginan Bapak
dan Emak. Orang tua Gola Gong pernah berkata bahwa jika mereka tidak berhasil
mewujudkan sebuah lembaga pendidikan yang menampung anak-anak yatim secara
gratis, maka Gola Gong harus mewujudkannya. Dan akhirnya, Gola Gong mampu
mendirikan Rumah Dunia yang merupakan madrasah kebudayaan yang bergiat di
bidang jurnalistik, sastra, film, teater musik dan menggambar. Bapak dan Emak
selalu mengingatkan Gola Gong untuk melakukan sesuatu dari nol atau hal kecil.
Semua harus berawal dari diri sendiri, itulah yang dimaksud cara berbipik
diluar kelaziman atau berpikir out of the
box.
Cara orang tua Gola Gong dalam mendidik anak-anaknya
membuat Gola Gong terkesan. Bapaknya berperan di wilayah fisik untuk membuatnya
sehat secara jasmani dan Emak yang berperan di wilayah psikis karena membuat Gola
Gong menjadi peka terhadap lingkungan. Fisik yang kuat menjadi wadah yang pas
bagi kebutuhan psikis. Hal itulah yang membuat Gola Gong begitu bersemangat,
percaya diri, penuh dengan gagasan dan kreatif padahal dirinya cacat. Cara-cara
yang dilakukan oleh orang tua Gola Gong dalam mendidik anaknya sangat
mempengaruhi perkembangan psikis Gola Gong. Dan hal tersebut berbuah manis
karena didikan orang tuanya berhasil menjadikan Gola Gong sebagai sosok yang
berprestasi di kehidupan, bermanfaat bagi orang lain, menjadi ayah dan suami
ideal dan sosok yang menginspirasi orang lain serta mampu membuat bangga orang
tua.
B.
Analisis
Kepribadian
Alfred Adler menyatakan bahwa kehidupan manusia
dimotivasi oleh satu dorongan utama yakni dorongan untuk mengatasi perasaan
inferior dan berjuang untuk mencapai perasaan superior. Jadi, tingkah laku manusia
ditentukan oleh padangan mengenai masa depan, tujuan dan harapan, bukan hanya apa
yang dikerjakan di masa lalu. Karena awalnya manusia memulai hidupnya dari
kondisi yang kecil, lemah dan perasaan inferior. Maka dari kondisi lemah itu,
manusia mampu mengembangkan kepercayaan untuk mengatasi kelemahan dengan menjadi
individu yang besar, kuat dan superior.
Menurut Adler, ada tiga macam situasi pada masa
kanak-kanak yang sangat berpengaruh dalam membentuk gaya hidup di masa dewasa.
Yang pertama adalah inferioritas organ yaitu penyakit-penyakit atau kecacatan
fisik yang diidap semasa kanak-kanak. Kedua yaitu pola asuh keluarga yang
terlalu memanjakan anak, sedangkan yang ketiga ialah perasaan terabaikan atau
tersingkirkan. Dalam menganalisis tokoh Gola Gong saya akan mengambil salah
satu situasi yaitu inferioritas organ karena sangat berkaitan dengan kondisi Gola
Gong.
Perasaan inferioritas berarti perasaan lemah atau
tidak berdaya dalam mengerjakan tugas yang harus diselesaikan. Kondisi ini
sebenarnya dialami oleh semua makhluk hidup karena pada dasarnya semua manusia
memulai kehidupan dengan kelemahan fisik yang mengaktifkan perasaan inferior,
yaitu perasaan yang menggerakkan seseorang untuk berjuang menjadi superiorita
atau sukses. Perasaan sepeti ini akan terus muncul ketika seseorang menghadapi
tugas baru, jika orang sudah menguasai tugas barunya maka perasaan inferior
akan hilang. Sedangkan superior memiliki arti berjuang untuk terus menerus agar
menjadi baik. Dalam teori Adler, dorongan sukses adalah suatu kepentingan atau
kepekaan sosial karena manusia sebagai makhluk sosial tidak akan bisa eksis
tanpa adanya orang lain.
Analisis saya berdasarkan teori kepribadian
individual Alfred Adler, masa kecil Gola Gong dididik oleh keluarga yang menerapkan
pola asuh pendidikan yang cukup baik. Dalam buku Aku, Anak Matahari, Gola Gong
menjelaskan bahwa kedua orang tuanya mendidik menggunakan metode montessori.
Kedua orang tua Gola Gong menyadari betul bahwa anaknya sedang dalam periode
sensitif. Anak ibarat busa atau sponge
yang jika dilemparkan ke laut akan mampu menyerap air hingga penuh. Orang
tuanya berusaha memaksimalkan pendidikan anak-anaknya dengan alat, bahan dan
kegiatan yang khusus dirancang untuk merangsang kecerdasan anak. Gola Gong kecil
memiliki daya serap tinggi (absorbent
mind) dan mempunyai kemampuan tinggi untuk belajar beradaptasi dengan
lingkungan dibanding teman sebayanya. Hal tersebut berlanjut meski Gola Gong
pada usia 11 tahun harus kehilangan tangan kirinya sebatas sikut.
Orang tua Gola Gong mengkondisikan lingkungan rumah
senyaman mungkin agar anak-anaknya mau belajar. Banyak berjejeran rak berisi
buku-buku yang menggunggah minat membaca anak-anaknya, orang tua Gola Gong juga
sering membawakan buku tentang biografi tokoh-tokoh terkenal sehingga Gola Gong
terinspirasi oleh semangat dari biografi tokoh yang ia baca. Selain itu,
dirumah disediakan permainan-permainan sepeti ayunan, perosotan,
jumpit-jumpitan dna kolam ikan sehingga dapat merangsang perkembangan motorik
kasar pada anak agar anak mau bermain di rumah.
Pola asuh pada masa kecil itu menyebabkan Gola Gong
pada usia kanak-kanak mampu menjadi anak yang pemberani dan kreatif. Gola Gong
mampu berbaur dengan lingkungan sosialnya dan memiliki benyak teman. Hingga
akhirnya musibah itu datang dan Gola Gong harus menjalani amputasi tangan kiri.
Menjadi individu cacat tentu saja memunculkan perasaan inferior, karena dengan
kondisi tersebut akan sulit melakukan kegiatan-kegiatan tertentu. Tangan Gola Gong
diamputasi pada saat ia duduk di kelas 4 SD. Butuh waktu dua tahun bagi Gola
Gong dan teman-teman serta gurunya untuk saling menyesuaikan diri. Seringkali Gola
Gong mendapat perlakuan tidak baik dari teman-temannya, ia sering diledek
dengan sebutan si buntung. Apalagi jika teman-teman Gola Gong merasa kalah
dengannya maka teman-temannya melancarkan serangan psikis bagi Gola Gong.
Kedua orang tua Gola Gong tidak ingin anaknya
terlihat lemah, mereka ingin Gola Gong tumbuh layaknya anak normal lainnya
sehingga mampu menjalani kehidupannya dengan baik dan bisa jadi sosok yang
berguna di masa depan. Gola Gong kecil memiliki semangat yang luar biasa, tak
henti-hentinya ia membaca sehingga ia lupa bahwa dirinya cacat. Gola Gong kecil
juga bersemangat dalam berolahraga, buktinya ia mampu berenang dengan hanya
satu tangan dan sering menjuarai kejuaraan badminton hingga tingkat Asia
Pasifik meskipun dengan satu tangan. Gola Gong memiliki harapan-harapan besar
untuk masa depannya agar ia bisa menjadi orang yang sukses meski cacat. Hal
inilah yang disebut sebagai fictional final
goals, yaitu keyakinan yang tidak ada faktanya tapi mampu mempengaruhi
kepribadian.
Cara orang tuanya mendidik dan kebiasaan-kebiasaan
yang dilakukan Gola Gong di usia mudanya benar-benar mempengaruhi kepribadian Gola
Gong. Dalam teori Adler, motif utama setiap orang adalah menjadi kuat,
kompeten, berprestasi dan kreatif. Orang tua Gola Gong ingin memunculkan
tujuan-tujuan tersebut dalam diri Gola Gong sehingga orang tuanya berjuang
keras memberikan perhatian dan pendidikan yang terbaik bagi Gola Gong. Gola Gong
muda memiliki banyak impian, ia berkelana mengelilingi Indonesia dan Asia.
Dengan berkelana ia berharap memiliki banyak pengalaman batin, dengan berkelana
ia berharap mampu menjadi seseorang yang dapat bermanfaat bagi orang lain. Gola
Gong rajin membaca, ia berharap dengan membaca mampu membuka cakrawala
pengetahuannya.
Dalam teori Adler, hal tersebut disebut sebagai subjective perceptions atau pengamatan subjectiv.
Artinya, orang menetapkan tujuan-tujuan untuk diperjuangkan berdasarkan
interpretasinya tentang fakta. Kepribadian manusia dibentuk bukan berdasarkan
realita melainkan berdasarkan keyakinan subjektif orang itu terhadap masa
depannya. Final fiction goals yang berdasarkan pada subjective perception ini membimbing style of life manusia, dan membentuk kepribadian menjadi kesatuan.
Menurut Adler, inferiorita organ fisik adalah
anugrah karena orang akan berjuang mencapai kesehatan jiwa dan menjalani gaya
hidup yang berguna. Gola Gong memiliki social
interest yang cukup baik. Social
interest adalah sikap keterikatan diri dengan kemanusiaan secara umum yang
diwujudkan dengan kerjasama dengan orang lain. Social interest dikembangkan melalui hubungan Ibu dan Anak. Ibu Gola
Gong mampu menjalin ikatan yang kooperatif dengan Gola Gong. Orang tuanya tidak
pernah memaksa Gola Gong untuk menjadi ini dan itu, orang tua Gola Gong hanya
meyediakan sarana. Menurut orang tua Gola Gong, jika anak melakukan sesuatu
atas keinginan orang tua itu tidak baik yang baik anak melakukan sesuatu atas
keinginannya sendiri. Sarana-sarana tersebut bertujua untuk membentuk minat
sosial Gola Gong.
Orang tua Gola Gong bekerjasama dengan baik untuk
mendidik pribadi Gola Gong. Bapak berperan di wilayah psikis, Bapak yang menjadi
guru olahraga dengan semangat mengajari Gola Gong untuk renang, badminton, dll
sehingga Gola Gong tertarik pada dunia olahraga dan menjali atet badminton.
Pernah suatu ketika Gol A Gng diajak pergi ke pasar senin dan Bapaknya
membelikan berdusdus buku bacaan dan komik. Hal tersebut bertujuan untuk merangsang
minat baca pada diri Gola Gong dan akhirnya Gola Gong mampu menjadi sastrawan
dan penulis buku terkenal. Bapak juga mengajari Gola Gong untuk bermian
kelereng dan permainan anak-anak lainnya. Pada waktu pulang dari rumah sakit,
Bapak membelikan Gola Gong sekantong kelereng dan bilang bahwa di kampung
sedang musim kelereng dan Gola Gong jangan sampai tidak bisa bermain kelereng.
Bapak pun mengajari Gola Gong yang memiliki satu tangan untuk bermain kelereng
dan hasilnya Gola Gong sering memenangkan permainan kelereng tersebut.
Sedangkan Emak, berperan di wilayah psikis, Emak adalah sosok yang amat
keibuan,. Sikapnya yang ramah dan lembut dan sering memberi wejangan-wejangan
untuk anaknya. Sehingga Gola Gong menjadi sosok yang mampu meraih kesuksesan
yang diharapkan oleh orang tua dan dirinya sendiri.
Perjuangan mencapai tujuan final yang dilakukan oleh
Gola Gong dipersepsi jelas olehnya.
Kelemahan fisik yang dimiliki memunculkan perasaan inferior, sehingga ia merasa
ada yang tidak lengkap. Kondisi tersebut memunculkan minat-minat sosial yang
juga disebut proses mencapai kesuksesan. Adler menjelaskan bahwa manusia itu
adalah sosok yang unik. Manusia memiliki gaya hidup yang berbeda-beda dan tidak
mudah berubah. Gaya hidup dibentuk pada usia 4-5 tahun dan tidak hanya
ditentukan oleh kemampuan instrinsik (hereditas) atau lingkungan sosial,
melainkan dibentuk oleh anak melalui pengamatannya dan interpretai terhadap
keduanya. Dari buku Aku, Anak Matahari yang ditulis oleh Gola Gong sendiri, ia
menceritakan bahwa sedari kecil Bapak dan Emaknya telah meemberi rangsangan
bagi Gola Gong untuk gemar membaca dan beraktivitas di luar rumah. Dan kondisi
itu menjadi kebiasaan bagi Gola Gong yang sampai sekarang ini hobi membaca dan
berkelana.
Dalam teori Adler, Gola Gong juga mampu menciptakan
kekuatan kreatif diri atau creative power
of the self. Kekuatan kreatif diri ialah kekuatan ketiga yang paling
menentukan tingkah laku. Kekuatan kreatif diri memberi kebebasan bekehendak
bagi manusia untuk menciptakan gaya hidup dan bertanggung jawab terhadap tujuan
finalnya, dan menentukan cara mencapai tujuan itu serta melakukan pengembangan
minat sosial. Gola Gong memiliki kekuatan kreatifitas diri yang baik sehingga
ia memiliki minat sosial dan gaya hidup yang baik pula sehingga membentuk
kepribadian yang baik bagi Gola Gong.
Jadi, hasil analisa saya terhadap Gola Gong
berdasarkan teori psikologi individual Adler ialah, Gola Gong yang pada usia
kanak-kanak hidup dalam keluarga yang memiliki pola asuh yang baik sehingga
orang tuanya mampu membentuk minat-minat sosial dan gaya hidup yang ideal bagi
masa depan anak-anaknya. Kedua orang tua Gola Gong berusaha dengan keras agar
anaknya mampu meraih kesuksesan-kesuksesan yang menjadi idaman orang tua dan
keinginan anaknya sendiri. Terlebih saat kondisi inferioritas organ pada diri Gola Gong yang dialaminya pada usia
11 tahun. Pada usia tersebut anak belum mengerti banyak hal tentang apa yang
terjadi pada dirinya dan harus bagaimana ia di masa depan. Beruntungnya, orang
tua Gola Gong mampu memberikan perhatian dan pendidikan bagi Gola Gong yang
memiliki keterbatasan fisik tersebut sehingga Gola Gong mampu mengatasi
perasaan inferioritas dan mencapai superioritas.
Selain menganalisis kepribadian menurut psikologi
individual Adler, saya juga akan menganalisis kepribadian Gola Gong menurut aliran
kepribadian psikonalisis. Karena psikoanalisis merupakan aliran pertama dalam
psikologi yang ditokohi oleh Sigmund Freud. Meskipun psikoanalisis banyak
mendapat kritikan namun masih eksis digunakan untuk menganalisis kasus-kasus
psikologis manusia. Psikoanalisis melihat kepribadian manusia melalui struktur
kepribadian id, ego, superego. Psikoanalisis memandang kepribadian individu
layaknya gunung es, dimana yang tersembunyi dibawah jauh lebih banyak dibanding
yang muncul di permukaan.Sigmund Freud percaya bahwa perilaku yang ditampilkan
seseorang adalah manifestasi dari apa yang ada dalam alam bawah sadar (unsconsciouness). Menurut psikoanalisis,
id adalah sistem kepribadian yang dibawa sejak lahir yang sifatnya tidak
berdasarkan kenyataan alias semu atau khayalan. Ego adalah cara untuk menangani
kenyataan sehingga ego berupaya menunda keinginan id yang tidak nyata sampai
ada obyek yang nyata untuk memuaskan kebutuhan. Sedangkan superego ialah kekuatan
moral yang menjadi penegah antara id dan ego yang tujuannya untuk membedakan
antara benar dan salah.
Berdasarkan teori psikoanalisis Sigmund Freud,
bagaimanakah dinamika kepribadian dalam diri Gola Gong?
Menurut saya, Gola Gong sebagaimana manusia dengan
id pada umumnya. Bedasarkan buku Aku, Anak Matahari yang menceritakan
perjalanan hiudp Gola Gong, struktur kerpibadian superego yang terdapat dalam
diri Gola Gong sangat kuat, terutama ajaran religius dan pendidikan serta pola
asuh yang diberikan oleh orang tuanya.
Hal itulah yang membuat Gola Gong memiliki karakter yang baik. Hal ini dapat
dilihat dari tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Gola Gong semasa ia muda
hingga menjadi sosok ayah sekarang ini. Gola Gong memiliki prinsip yang kuat bahwa
ia tidak ingin menggantungkan hidup dan keinginnanya pada orang lain.
Contohnya, Gola Gong ingin mendirikan gelanggang kesenian (Rumah Dunia), ia
tidak serta merta membentuk rumah dunia dengan mencari dana atau bantuan dengan
mengajukan proposal. Ia mendirikan rumah dunia dengan kerja keras, ia mulai
dari nol. Ia kenalkan dunia literasi dan kesenian pada keluarganya dan tetangga
lingkungan rumahnya. Ia membangun rumah dunia tidak mudah namun secara
bertahap. Gola Gong menyadari bahwa dengan mengajukan dana dengan proposal sama
halnya dengan meminta-minta. Ia memiliki prinsip yang kuat bahwa hal tersebut
bukanlah cara yang baik. Hingga akhirnya ia mencari cara lain yang dilakukannya
dengan sabar namun hasilnya berbuah manis, hingga akhirnya rumah dunia menjadi
komunitas dan gelanggang kesenian yang besar dan terkenal dan mimiliki banyak
donatur atau sukarelawan yang rela menyisihkan sebagian uangnya untuk
didonasikan ke kegiatan di rumah dunia.
Kehidupan masa kecil Gola Gong yang penuh pembelajaran
dari Bapak dan Emaknya menjadikan ia pribadi yang berbeda. Tak bisa dipungkiri
bahwa pola asuh orang tua dan kondisi lingkungan sosial dimana individu berada
sangat mempengaruhi perkembanga sesorang, terutama pada masa kanak-kanak. Gola
Gong yang berasal dari keluarga berpendidikan membuatnya mendapatkan pendidikan
yang baik dan memiliki kepekaan sosial serta daya tangkap yang lebih baik dari
teman sebayanya dalam belajar. Pada waktu itu tentu saja tidak banyak orang tua
yang memiliki kesadaran untuk menumbuhkan minat abca pada anak, tidak banyak
orang tua yang tahu cara merangsang kecerdasan anak dan bagaimana menangani
anak yang memiliki keterbatasan fisik seperti Gola Gong. Id, pada diri Gola
Gong sebagaimana layaknya id pada manusia lainnya yang berusaha untuk
terpenuhi. Gola Gong tumbuh menjadi sosok pribadi yang dewasa, yang mampu
memahami lingkungannya dengan baik dan tahu apa yang menajdi prioritas
keinginannya. Sehingga ketika id pada diri Gola Gong tidak tersalurkan dengan
baik maka ia melakukan berbagai mekanisme pertahan diri. Untuk menutupi perasan
rendah dirinya yang cacat dan tidak ingin direndahkan ornag lain, daripada ia
berdiam diri dan merenungi kondisinya, Gola Gong melakukan sublimasi dengan
melakukan aktivitas-aktivitas yang positif seperti membaca buku, berolahraga,
bermian, menonton film, dll.
SUMBER RUJUKAN :
1. Alwisol.
2014. Psikologi Kepribadian. Malang :
UMM Press
2. Gong,
Gola. 2008. Aku, Anak Matahari : Sebuah
Memoar Keluarga yang Impresif. Bandung: Semesta Parenting