Kamis, 24 Desember 2015

Analisis Faktor-Faktor Kegagalan dan Keberhasilan terkait Perasaan Inferioritas dan Superioritas dalam Hasil Belajar

Adler, tokoh psikologi individual menyakini bahwa setiap individu dalam hidupnya pasti mengalami perasaan inferioritas dan superioritas. Inferioritas adalah perasaan tidak terampil dalam menghadapi tugas atau kondisi tertentu sehingga individu akan berjuang untuk meraih superioritas, yaitu perasaan untuk berada pada kondisi yang diharapkan untuk mengktualisasisasikan diri dalam teori hierarki kebutuhan Maslow. Dalam kehidupan, inferioritas erat kaitannya dengan kegagalan dan superioritas dengan keberhasilan. Contoh, saat menempuh pendidikan tentunya setiap individu pasti menjalani proses belajar  yang tidak hanya dibangku sekolah, melainkan juga di masyarakat dan keluarga. Hasil dari proses belajar tidak hanya dipengaruhi oleh kemampuan kognitif dalam menerima pengetahuan, namun juga dipengaruhi oleh proses sosial yang dijalani.
Perasaan inferioritas atau kegagalan yang pernah saya alami ialah saat tidak lolos di seleksi terakhir penerimaan beasiswa SMA Sampoerna Bogor. Saya merasa gagal karena pada test interview tidak memberikan jawaban yang optimal karena menjawab pertanyaan dari psikolog sambil menangis. Mungkin psikolog menilai bahwa saya kurang memiliki kepercayaan diri dan ketidaksiapan untuk sekolah di Bogor. Padahal saya memiliki harapan besar untuk diterima beasiswa Sampoerna Foundation. Saya juga gagal masuk di SMAN 1 Bojonegoro karena pada saat test saya juga merasa tidak optimal karena tidak belajar terlebih dahulu dan kurang fasih berbahasa inggris serta terlalu berharap bahwa bisa lolos beasiswa. Kegagalan ini membuat saya merasa merasa tidak dapat membanggakan orang tua . Lalu saya mendaftar di SMAN 2 Bojonegoro, di SMA ini saya berusaha menggunakan seluruh kemampuan agar prestasi akademik dan non akademik saya baik. Dan hal tersebut terbukti karena saya  mendapat peringkat pararel dan kelas, menjadi ketua MPK, aktif di kegiatan ekstra dan intra sekolah, menjuarai beberapa kegiatan non ekstra, sering menjadi delegasi sekolah di ajang pendidikan tingkat provinsi, dll. Keberhasilan tersebut saya raih untuk menebus kesalahan saya karena gagal mendapatkan beasiswa dan saya berpikiran bahwa saya mampu membanggakan orang tua saya dengan cara lain.
Menurut teori perkembangan kogitif Piaget, remaja usia 11 tahun hingga dewasa berada pada tahap operasional konkret. Pada tahapan ini, individu memiliki penalaran hipotesis-deduktif, yaitu kemampuan membuat dugaan dalam membuat keputusan untuk memecahkan masalah sehingga dapat membuat kesimpulan yang sistematis. Contoh diatas, penalaran muncul ketika individu karena merasakan kondisi yang tidak sesuai harapan dan  mendapatkan masalah dan harus membuat suatu keputusan untuk memecahkan masalah tersebut. Individu berjuang untuk mencapai keberhasilan atau superioritas dengan cara-cara yang dianggapnya mampu untuk mengaktualisasikan diri. Pencapaian superiotitas dilakukan dengan memiliki minat sosial positif, gaya hidup baik serta menggunakan kekuatan kreatifitas diridengan optimal.
Kegagalan dalam contoh diatas disebabkan karena faktor dari dalam, yaitu pola pikiran individu dan kepercayaan diri sehingga saat interview individu menunuukkan  sikap kurang siap dan percaya diri. Sedangkan keberhasilan individu dilatarbelakangi oleh faktor dari dalam yaitu, menurut teori Belajar Sosial Bandura, adanya  self efficacy dalam diri bahwa individu yakin bisa mengorganisasikan dan melakukan strategi-strategi tertentu untuk meraih tujuan, berpikir positif, meregulasi diri sehingga bisa mengaktualisasikan dirinya meskipun berada pada kondisi yang sulit. Faktor luar juga mempengaruhi individu yaitu adanya dukungan dari keluarga dan pihak-pihak terkait. Dalam hal ini, individu mampu menjalin interaksi sosial yang baik sehingga lingkungan memberikan dorongan kepada individu agar terus berusaha mencapai tujuannya.
Hal ini juga sesuai dengan teori ekologi Bronfenbenner bahwa konteks sosial dimana individu tinggal mempengaruhi perkembangan. Pada rentang mikrosistem, interaksi langsung dengan lingkungan luar keluarga dan keluarga mempengaruhi individu dalam usaha pencapaian tujuan. Rentang mesosistem, individu mampu membuat keputusan-keputusan bagi dirinya karena keluarga memberikan kepercayaan bahwa individu mampu melakukan hal terbaik sehingga saat sekolah prestasi akademik individu cukup baik. Rentang ekosistem, individ memegang peranan kuat dan berperan aktif dalam lingkungannya contohnya bisa menjadi ketua MPK dan aktif di berbagai organisasi. Rentang makrosistem,  ekonomi yang lemah menyebabkan individu memiliki kemampuan belajar yang ulet, hal ini juga dirasakan individu untuk berusaha belajar dengan sungguh-sungguh agar prestasi akademik dan non akademik sesuai harapan. Terkait dengan rentang kronosistemnya, individu dalam membuat keputusan dan startegi dalam mencapai tujuan dipengaruhi oleh kondisi sosiohistoris seperti berada pada keluarga yang berada di ekonomi menegah kebawah dna sikap keluarga yang memberi kepercayaan individu untuk membuat keputusan-keputusan bagi dirinya sendiri.
Jadi, kegagalan dan keberhasilan erat kaitannya dengan perasaan superioritas dan inferioritas dan disebabkan oleh faktor dari dalam dan luar. Faktor dari dalam yaitu kurangnya self efficacy individu untuk menjalani suatu tugas atau kondisi tertentu sedangkan faktor dari luar berhubungan dengan orang-orang disekitar individu yang mampu mempengaruhi pola pikir, emosi dan sikap individu.

DAFTAR RUJUKAN
1.      Alwisol. 2014. Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press
2.      Santrock, John. W. 2015. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Kencana
3.      Suryatabrata, Sumardi. 2014. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rajawali Press



Dampak Pendidikan Homeschooling terhadap Kondisi Psikososial Anak

Pengertian pendidikan dalam UU. No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Terdapat tiga jalur pendidikan yang diakui dan diatur dalam UU Sisdiknas yaitu pendidikan formal,pendidikan informal dan pendidikan nonformal. Pendidikan informal yang mulai berkembang di Indonesia sekarang ini salah satunya adalah pendidikan homeschooling (Febriane & Wresti, 2005 dalam  Eka & Suparno, 2010).
Homeschooling secara etimologis dapat dimaknai sebagai sekolah rumah. Namun pada hakikatnya homeschooling merupakan sebuah sekolah alternatif yang mencoba menempatkan anak sebagai subjek belajar dengan pendekatan pendidikan secara at home. Pendekatan pendidikan at home yaitu pendekatan kekeluargaan yang memungkinkan anak belajar dengan nyaman sesuai dengan keinginan dan gaya belajar masing-masing, kapan saja, dimana saja dan dengan siapa saja. Harapannya anak dapat tumbuh kembang lebih wajar dan optimal tanpa terkekang potensi dan bakatnya.
Secara umum, fenomena berkembangnya homeschooling di Indonesia saat ini dapat dikategorikan menjadi tiga konteks. Pertama, fenomena homeschooling tumbuh di masyarakat kalangan menengah ke atas yang memahami falsafah pendidikan dalam konteks pencerahan dan pembebasan. Keluarga seperti ini memilih homeschooling sebagai jawaban atas sulitnya membebaskan sekolah formal dari praktik pengekangan terhadap hak tumbuh kembang anak secara wajar. Kedua,homeschooling tumbuh dalam konteks lingkungan keluarga miskin yang kesulitan mengakses pendidikan formal yang cukup mahal. Dalam konteks ini, fenomena tumbuhnya homeschooling didasarkan pada ketidakberdayaannya secara ekonomi untuk mengenyam pendidikan formal yang elitis.Ketiga, fenomena persekolah di rumah tumbuh dalam konteks lingkungan keluarga yang anaknya memiliki aktifitas kegiatan atau pekerjaan yang banyak bertubrukan dengan jam pelajaran yang dijadwalkan oleh sekolah-sekolah formal. Sekolah rumah dalam konteks ini biasanya terjadi pada keluarga yang anaknya menjadi artis, atlet, penyanyi dan lainnya yang mengalami kesulitan untuk menyesuaikan kegiatannya dengan jam belajar di sekolah formal.



Menurut teori Interactionist Perspective yang dikembangkan oleh George Herbert Mead mengatakan bahwa keanggotaan kita pada sebuah kelompok sosial menghasilkan interaksi dan perilaku bersama yang kita kenal dengan nama budaya. Budaya atau lingkungan mempengaruhi tumbuh kembang anak sesuai dengan teori sosial budaya Vygotsky. Menurut teori ini berarti kemampuan sosial anak yang mengikuti pendidikan homeschooling berbeda dengan anak yang mengikuti pendidikan formal.
Interaksi sosial dengan teman sebaya pada anak homeschooling kurang berkembang bila dibandingkan dengan interaksi sosial dengan teman sebaya pada anak sekolah reguler. Anaksekolah reguler lebih intensif bertemu dengan anak-anak sebayanya sedangkan anak homeschooling memiliki sedikit kesempatan untuk bertemu dengan anak-anak sebayanya. Anakhomeschooling lebih sering berinteraksi dengan anak-anak dan orang-orang yang lebih tua (orang tua mereka sebagai pengajar, guru les dan pengasuh yang tinggal di rumahnya). Sedangkan anak sekolah reguler berinteraksi dengan anak-anak sebayanya setiap hari di sekolahnya, mereka juga berinteraksi dengan orang-orang yang lebih tua (guru di sekolah, kakak kelas dan juga adik kelas), tetapi mereka lebih sering berinteraksi dengan teman-teman sebaya mereka.
Anak homeschooling memiliki sedikit teman yang akrab, mereka cenderung lebih akrab dengan anggota keluarga sendiri. Anak sekolah reguler memiliki banyak teman akrab di sekolah dan juga di lingkungan sekitar rumah tetapi juga tidak tertutup dengan anggota keluarganya. Kemampuan kerjasama pada anak homeschooling kurang terasah, hal ini dikarenakanmereka lebih sering belajar secara mandiri dantidak berkelompok dengan teman-teman sebayanya.Anak sekolah reguler belajar mengembangkansikap kerjasama (mengungkapkan pendapat, menghadapi perbedaan pendapat, dll) di sekolah dalam suatu tugas kelompok, dan juga dalam permainan-permainan kelompok yang membutuhkan banyak orang untuk memainkannya. Kapasitas intelegensi seseorang mempengaruhi kemampuan orang dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya, anak yang memiliki intelegensi yang rendah mendapat perlakuan yang kurang baik dari teman-temannya, seperti ejekan dan lain sebagainya, hal ini yang membuat anak menjadi rendah diri dan menutup diri dari lingkungannya, dan kemudian menghambat perkembangan kemampuan interaksi sosialnya. Bukan hanya program sekolah yang mempengaruhi interaksi sosial dengan teman sebaya pada anak, tempat tinggal mereka dan bagaimana cara orang tua memberikan kesempatan kepada anak untuk berinteraksi dengan teman sebaya juga mempengaruhi kemampuan interaksi mereka dengan teman sebaya.



Daftar Rujukan

Soeparno & Setiawati, Eka. 2010. “Inteaksi Sosial dengan Teman Sebaya pada AnakHomeschooling dan Anak Sekolah Reguler (Sebuah Studi Komparatif)”.Indigenous, Jurnal Ilmiah Berkala Psikologi, Vol. 12, No. 1, Mei 2010 : 55-65.

Ningrum, Jaya Agustiana &Eriani, Praheresty. 2013. ”Faktor-Faktor yang Memotivasi Ibu Menyekolahkan Anak di Homeschooling Kak Seto Semarang”. Jurnal Psikodimensia, Vol. 12, No.1, Januari - Juni 2013, 47 – 62.

Muhtadi, Ali. Pendidikan dan Pembelajaran di Sekolah Rumah (Homeschooling): Suatu Tinjauan Teoristis dan Praktis.

Dampak Positif dan Negatif Homeschooling bagi Anak. 2012. (online), (http://afa-belajar.blogspot.com/2012/05/homeschooling.html, diakses pada 5 April 2015)

Ali, Mohammad. Homechooling Ditinjau dari Psikologi Sosial. 2011. (online), (http://gapurailmubdk.blogspot.com/2011/11/homeschooling-ditinjau-dari-psikologi.html, diakses pada 5 April 2015)

Presiden Republik Indonesia. 2003. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta


Analisa Neurobiologis dan Psikologis terhadap Kasus Demensia tipe Pickpada Usia Dewasa Akhir

Demensia merupakan gangguan yang terjadi pada otak sehingga terjadi penurunan kemampuan kognitif kognitif seperti memori, orientasi, rasa hati dan pembentukan pikiran konseptual yang bisa berdampak pada perubahan kondisi psikologis individu terkait dengan kepribadian dan perilakusehari-haari seperti gangguan fungsi sosial, pekerjaan dan aktivitas sehari-hari (Asosiasi Alzheimer Indonesia,2003). Terdapat sekitar 50 penyebab terjadinya dimensia dan sebagian besar kasus (sekitar dua pertiga) disebabkan oleh penyakit Alzheimer, yaitu sebuah gangguan otak yang progresif dan degeneratif (Gatz, 2007 dalam Papalia, 2014: 242). Selain penyakit Alzheimer terdapat juga penyakit Parkinson, yaitu gangguan paling umum kedua yang melibatkan degenerasi neurologis yang progresif, ditandai dengan tremor, kekakuan, pergerakan lambat dan postur badan yang tidak stabil (Nussbaum 1998, dalam Papalia, 2014: 242). Penyakit Alzheimer dan Parkinson menyebabkan serangkaian stroke ringan dan menjadi penyebab 8 dari 10 kasus demensia yang terjadi dan semuanya tidak bisa disembuhkan. Selain dua penyakit tersebut, terdapat banyak macam jenis demensia, salah satunya demensia tipe Pick yang gejalanya hampir sama dengan demensia tipe Alzheimer sehingga sulit dibedakan antara Alzheimer dan Pick.
Meskipun penyakit Alzheimer dan Parkinson menjadi penyebab utama demensia degeneratif, terdapat penyebab yang reversibel seperti kelainan jantung, kelainan vaskuler, trauma, tumor, infeksi, kelainan metabolik (misalnya hipotiroidisme), defisiensi nutrisi (misalnya defisiensi vitamin B12 atau defisiensi asam folat),atau sindrom demensia akibat depresi. Selain itu, konsumsi obat-obatan dan gaya hidup yang kurang sehat juga mempengaruhi, seperti  konsumsi alkohol, terinfeksi logam berat, terkena radiasi, pseudodemensia akibat pengobatan (misalnya penggunaan antikolinergik) dan karbon monoksida.
Demensia terbagia atas dua klasifikasi penderita, yaitu penderita dibawah usia 65 tahun dan diatas 65 tahun.Paling banyak penderita demensia ialah lansia diatas usia 65 tahun. Di Indonesia, menurut data profil kesehatan yang di laporkan oleh departemen kesehatan tahun 1998, jumlah populasi lansia usia 60 tahun keatas dari 100% populasi lansia yang jumlahnya kurang lebih 15 juta jiwa, terdapat 7,2% populasi lansia menderita demensia. Peningkatan angka kejadian kasus demensia berbanding lurus dengan meningkatnya harapan hidup suatu populasi. Kira – kira 5% lansia, sekitar 65 -70 tahun menderita demensia dan meningkat dua kali lipat setiap 5 tahun mencapai lebih 45% pada usia di atas 85 tahun. Estimasi jumlah penderita demensia pada tahun 2013 sekitar satu juta jiwa dan akan meningkat menjadi dua juta jiwa di tahun 2030 (Republika.co.id, 19 Desember 2014).
Individu yang menderita demensia tipe Pick ditandai dengan atrofi yang lebih banyak pada lobus frontalis serta pada lobus temporalis dan parientalis. Daerahtersebut mengalami kehilangan neuronal, gliosis dan adanya badan Pick neuronal, yang merupakan massa elemen sitoskeletal. Badan Pick ditemukan pada beberapa spesimenpostmortem tetapi tidak diperlukan untuk diagnosis.Lobus frontalis yang berada di bagian otak depan berepran untuk perencanaan, pelaksanaan dan kontrol pergerakan. Di dalam lobus frontalis tedapat primary motor cortex di precental gyrus yang mengandung pusat-pusat saraf yang berpartisipasi dalam mengontrol gerakan. Sedangkan dalam lobus temporalis terdapat prymary somatosensory cortex yang terletak di postcentral gyrus yang bertugas menerima informasi dari somatosenses, seperti rasa raba, tekanan, suhu dan rasa nyeri. Terdapat juga prymary visual cortex yang terletak di belakang lobus occupitalis di calcarine fissure untuk menerima informasi visual. Prymary auditory cortex yang terletak di lobus temporals berfungsi menerima informasi pendengaran. Association cortex di lobus frontalis terlibat dalam perencanaan gerakan yang mengontrol aktivitas primary motor cortex. Association cortex di lobus posterior menerima informasi dari priamary sensory area dan terlibat dalam persepsi dan ingatan.
Individu yang menderita dimensia tipe Pick mengalami kebingungan dalam berpikir bahkan kehilangan memori. Menurut Eichenbaum jika terdapat kerusakan bagian otak depan utamanya hipocampus maka seseorang akan kehilangan kemampuannya untuk mengembangkan memorinya. Dampaknya maka yang bersangkutan tidak mampu mengenali suatu benda tertentu (kehilangan memori deklaratif). Tetapi jika yang terjadi pada daerah parahippokampus saja yang rusak maka kemungkinan seseorang akan kehilangan semantik  memorinya yang artinya seseorang tidak akan mampu lagi mengumpulkan informasi atau pengetahuan yang sifatnya universal.
Penyebab dari demensia tipe Pick belum dapat diketahui secara pasti. Demensia tipe Pick berjumlah kira-kira 5% dari semua demensia ireversibel. Penyakit ini paling seringdialami oleh laki-laki, khususnya yang memiliki keluarga derajat pertama dengan penyakit ini. Demensia tipe Pick sukar dibedakan dengan demensia tipe Alzheimer. Walaupun stadium awal penyakit lebih seringditandai oleh perubahan kepribadian dan perilaku, dengan fungsi kognitif lain yang relatifbertahan. Gambaran sindrom Kluver-Bucy (contohnya: hiperseksualitas, flaksiditas, hiperoralitas)lebih sering ditemukan pada penyakit Pick daripada pada penyakit Alzheimer.
Perubahan kondisi pada penderita demensia tak hanya berpengaruhpada kemampuan kognitif dan fisik, melainkan juga secara psikologis. Kepribadian seseorang yang menderita demensia biasanya akan mengganggu bagi dirinya dan keluarganya. Karena butuh perhatian khsuus untuk dirawat oleh orang sekitar dan penderita demensia kurang bisa beraktivitas layaknya orang normal yang sehat sehingga perlu dibantu. Penderita demensia akan lebih tertutup serta menjadi kurang perhatian dibandingkan sebelumnya karena merasa rendah diri dan lebih sering murung. Penderita demensia tipe Pick yang mengalami kelainan pada otak bagian depan yaitu lobus frontalis dan temporalis, biasanya mengalami perubahan kepribadian dan mungkin lebih iritabel dan eksplosif. Diperkirakan sekitar 20 hingga 30 persen dengan demensia (terutama penderita demensia tipe Alzheimer) memiliki halusinasi, dan 30 hingga 40 persen memiliki waham, terutama waham paranoid yang bersifat tidak sistematis, meskipun waham yang sistematis juga dilaporkan pada penderita demensia tersebut. Agresi fisik dan bentuk-bentuk kekerasan lainnya lazim ditemukan pada penderita demensia dengan gejala-gejala psikotik. Pada penderita demensia dengan gejala psikosis dan perubahan kepribadian, depresi dan kecemasan merupakan gejala utama yang ditemukan pada 40 hingga 50 persen penderita demensia, meskipun sindrom depresif secara utuh hanya tampak pada 10 hingga 20 persen pada penderita demensia. Penderita demensia dapat menujukkan perubahan emosi yang ekstrem tanpa provokasi yang nyata (misalnya tertawa dan menangis yang patologis).
Dalam dunia medis kedokteran, pengobatan demensia yang menyebabkan kerusakan otak dilakukan pemberian obat-obat medi sebagai upaya untuk meningkatkan memori (ingatan) dengan memberikan sejumlah psysochtigmin dan neostigmin yang merupakan anti asetilkolin terase (Ach) dan menyebabkan konsentrasi asetilkolin meningkat di dalam sinaps lewat jalur kolinergiknya dan dapat diberikan hydergine (devirete ergotamin) untuk memperbaiki sirkulasi darah di dalam otak. Jika terdapat depresi maka diberikan amitriptylin dan untuk mengurangi kecemasan diberi haloperidol, thioridazine atau promazine.







DAFTAR PUSTAKA :

Azwar, Khoirul. 2013. Melawan Demensia Alzheimer. (online), (http://www.republika.co.id/berita/koran/medika/14/12/29/nhc3k714-melawan-demensia-alzheimer diakses pada 23 April 2015)

Budiono, Ari dan Julianti Riri. 2008. Demensia. (online), (https://yayanakhyar.files.wordpress.com/2009/01/demensia-riri-aridocx.pdfdiakses pada 23 April 2015)

Feldman, D. Ruth dan Papalia E. Diane. Menyelami Perkembangan Manusia2. Jakarta: Salemba Humanika

Hartono, Soetanto. 2003. Psikologi Faal 1. Surabaya: University Press

Louis, Jeffy. 2011. Makalah Memori. (online), (http://jeffy-louis.blogspot.com/2011/01/makalah-memori.htmldiakses pada 23 April 2015))

Analisis Tayangan Mata Najwa “Melawan Prasangka”

Menurut saya, tayangan Mata Najwa pada 5 Desember 2015 lalu yang bertema “Melawan Prasangka” bertujuan untuk memperingati hari HIV/AIDS sedunia pada 1 Desember lalu. Di Indonesia, penderita ODHA dari tahun ke tahun jumlahnya semakin banyak dan mereka seringkali mendapat stigma buruk serta mengalami diksriminasi karena masih banyak orang-orang di sekitar mereka yang tidak bisa menerima kehadiran penderita ODHA. Perilaku diskriminatif yang diterima oleh penderita ODHA ialah perilaku tidak adil dan kurang bisa diterima oleh masyarakat sehingga seringkali penderita ODHA merasa terkucilkan dan rendah diri. Kondisi semacam ini tentu saja dapat membuat kondisi psikis para penderita ODHA semakin tertekan. Banyak penderita ODHA yang memilih untuk mengakhiri hidup karena tidak tahan dengan diksriminasi yang ia terima dari lingkungannya, namun banyak juga para penderita ODHA yang mampu melawan stigma dan diskriminasi buruk dari masyarakat sehingga menjadi individu yang tegar dan mampu berkiprah dalam kehidupannya.
Tayangan Mata Najwa menurut saya mampu menggugah kesadaran di masyarakat terhadap stigma dan diskriminasi yang diberikan oleh masyarakat terhadap penderita ODHA. Masyarakat masih banyak yang tidak mengetahui apa itu virus HIV/AIDS, bagaimana penularannya, dsb. Masyarakat hanya mengetahui bahwa HIV/AIDS diakibatkan oleh hubungan seksual yang berganti-ganti pasangan. Stereotip semacam inilah yang ada di pikiran masyarakat sehingga masyarakat memberikan stigma buruk bagi penderita ODHA. Masyarakat menganggap bahwa individu dengan ODHA adalah individu yang nakal karena seringkali bergonta-ganti pasangan. Padahal tidak semua penderita ODHA seperti itu. Di tayangan Mata Najwa, dihadirkan beberapa penderita ODHA sekaligus relawan HIV/AIDS, para penderita tersebut menceritakan bagaimana awalnya mereka tertular virus HIV/AIDS.  Aktivis HIV/AIDS  juga menceritakan bagaimana sikap masyarakat selama ini terhadap penderita ODHA.
Dalam analisis ini, saya ingin membahas tiga poin penting yaitu :
1.      Stereotip yang berkembang di masyarakat terhadap sekelompok atau individu penderita ODHA. Stereotip merupakan komponen kognitif manusia yang ditunjukkan dengan keyakinan atau penilaain terhadap kondisi kelompok tertentu
2.      Adanya prasangka yang ada di masyarakat sehingga menimbulkan perasaan tertentu. Prasangka ialah komponen afeksi atau emosi terkait bagaimana perasaan kita terhadap suatu kelompok tertentu yang penekanannya cenderung pada perasaan negatif seperti perasaan tidak suka, benci, iri, dll.
3.      Munculnya sikap diskriminasi yang dilakukan oleh masyarakat akibat suatu stereotip dan prasangka tertentu. Diskriminasi ialah komponen dari perilaku manusia yang ditunjukkan dengan tindakan yang diambil terhadap kelompok tertentu
Tiga hal tersebut sangat mempengaruhi suatu kondisi di lingkungan masyarakat. Karena stereotip merupakan jalan pintas dalam berpikir untuk menyederhanakan suatu proses berpikir yang ditunjukkan dengan keyakinan atau penilaian singkat terhadap orang-orang yang berada di kelompok tertentu. Stereotip dan prasangka merupakan penilaian dari masyarakat yang cenderung negatif yang tidak akurat dan dapat menimbulkan akibat-akibat merugikan bagi individu yang menerimanya. Prasangka dan diskriminasi cenderung lebih diarahkan kepada individu-individu daripada suatu kelompok tertentu.
Ketiga penderita ODHA yang dihadirkan dalam tayangan Mata Najwa menceritakan bahwa mereka mendapatkan diskriminasi buruk dari masyarakat. Namun saya akan menganalisis satu penderita saja, yaitu Ibu Putri Chery. Putri menjadi ODHA karena tertular oleh suami pertamanya. Ia menceritakan bahwa saat menikah suaminya tidak bercerita bahwa ia adalah ODHA. Setelah 10 bulan pernikahan suaminya sakit keras dan baru menceritakan bahwa ia menderita ODHA. Ketika suami Putri menceritakan kondisinya pada keluarganya ia mendapat diskriminasi buruk dari keluarganya karena orang tuanya tidak mau menyentuh suami Putri karena takut tertular, keluarga suami Putri juga menceritakan bahwa untuk urusan makan saja harus dipisahkan dari alat makan dan makanannya. Padahal saat itu suami Putri ingin diperhatikan oleh keluarganya tapi keluarganya tidak mau. Ini adalah salah satu bentuk diskriminasi buruk yang diterima oleh suami Putri. Tak hanya itu, setelah suaminya meninggal Putri memberanikan diri untuk memeriksakan dirinya apakah positif tertular HIV/AIDS, dan ternyata hasilnya positif. Awalnya ia merasa sedih dan frustasi. Namun Ibu dari Putri terus menyemangatinya. Ibunya berkata sambil meminta Putri untuk berkaca di cermin “kamu cantik, kamu masih muda, umurmu masih panjang. Jangan pernah marasa sendiri, masih ada mama disini”.
Putri juga mendapatkan diskriminasi buruk dari masyarakat ketika ia bekerja di suatu perusahaan dan rekan-rekan kerjanya mengetahui bahwa Putri positif ODHA, mereka seolah-olah menjauhi Putri. Putri dituduh bahwa ia menggelapkan uang dll karena rekan-rekan kerja Putri ingin Putri keluar dari perusahaan tersebut. Putri akhirnya menikah lagi dan dikaruniai tiga orang anak. Diskriminasi yang diterima oleh Putri tidak hanya itu saja tapi anak-anaknya juga mengalami diskriminasi juga. Anaknya yang masih sekolah SD juga mendapatkan sikap diskriminasi, yaitu ada beberapa wali murid yang melarang anaknya untuk berteman dengan anak Putri, sikap wali murid terlihat agak aneh terhadap Putri dan anak-anaknya.
Mengapa masyarakat memiliki stereotip, prasangka dan melakukan tidakan diskriminatif pada penderita ODHA?
Alasannya karena menurut penjelasan psikodinamika bahwa beberapa individu memiliki kepribadian berprasangka dan pada dasarnya manusia itu kikir kognitif artinya dalam berpikir manusia memiliki kategori-kategori tertentu terhadap orang lain (stereotip), kategori tersebut didapatkan dari informas minim yang kita terima, pengalaman sehingga berpengaruh terhadap bagaimana kita mempersepsi lingungan. Dengan adanya kategori-kategori tersebut maka kita dapat mengupayakan lebih sedikit otak untuk melakukan proses berpikir. Kategori yang sifatnya otomatis dan tidak reflektif tersebut berdampak pada munculnya suatu prasangka. Minimnya informasi yang diterima oleh masyarakat terkait dengan penyakit HIV/AIDS menyebabkan masyarakat memberikan penilaian buruk terhadap penderita ODHA. Masyarakat menilai bahwa penderita ODHA adalah individu yang tidak taat pada norma-norma sosial karena sering berhubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan. Individu seperti ini biasanya memiliki latar belakang profesi sebagi pekerja seksual atau lelaki hidung belang dan akibat kenakalan remaja terkait penggunaan jarum suntik obat terlarang. Padahal tidak semua penderita ODHA terinfeksi virus HIV karena faktor tersebut.

Ibu Nafsiah Mboi menjelaskan bahwa sebelumnya memang virus HIV/AIDS ditularkan oleh hubungan seksual karena berganti-ganti pasangan dan penggunaan jarum suntik yang bergantian. Namun sekarang ini banyak ODHA yang terinfeksi HIV/AIDS adalah ibu rumah tangga yang tertular oleh suaminya karena suaminya mungkin saja pernah dan sering berganti-ganti pasangan dalam berhubungan seksual. Harus disadari bahwa pasti tidak semua orang ingin menderita sakit HIV/AIDS oleh karena itu sebagai masyarakat harus mampu berpikir kritis dan bersikap tidak diskriminatif kepada penderita ODHA karena kita juga harus berpikir bahwa jika kita berada pada kondisi distinctive people (orang yang berbeda) tentunya tidak ingin mendapatkan perlakuan tidak adil atau diskriminatif. 

Analisis Kepribadian Tokoh (Gola Gong) Berdasarkan Teori Kepribadian Psikologi Individual Adler dan Psikoanalisis Sigmund Freud

A.    Deksripsi Tokoh
Gola Gong memiliki nama asli Heri Hendrayana Harris. Lahir di Purwakarta pada 15 Agustus 1963 dari pasangan bernama Harris dan Atisah, Bapaknya berprofesi sebagai guru olahraga, sedangkan ibunya berprofesi sebagai guru di sekolah keterampilan putri. Ia adalah sastrawan berkebangsaan Indonesia yang juga merupakan pendiri Rumah Dunia di Serang, Banten. Gola Gong juga menjadi pemimpin perusahaan tabloid Kaibon-Meida Ramah Keluarga Banten, Ketua Umum Forum Taman Bacaan Masyarakat (FTBM) Indonesia, penulis buku, dan sering menjadi narasumber dalam berbagai kegiatan jurnalistik. Gola Gong menikah pada usia 33 tahun dengan wanita bernama Tias Tatanka dan dikaruniai empat orang anak.
Gola Gong kehilangan tangan kiri sebatas sikut pada usia 11 tahun tepatnya ia menjalani operasi amputasi pada bulan Oktober 1973. Kronologisnya, waktu itu ia dan teman-temannya bermain di alun-alun kota dan ada tentara latihan terjun payung, Gola Gong kecil menantang kawan-kawannya untuk adu keberanian seperti penerjun payung. Adu keberanian tersebut dilakukan dengan cara loncat dari pohon dan berujung celaka bagi Gola Gong karena ia mengalami cidera parah sehingga tangan kirinya harus diamputasi sebatas sikut. Namun hal tersebut tidak membuat Gola Gong sedih karena Bapaknya selalu memberinya semangat bahwa kamu harus terus membaca agar kamu lupa bahwa diri kamu cacat.
Kedua orang tua Gola Gong memiliki keinginan dan tekad yang kuat agar anaknya tetap bersemangat dan mampu menjalani hari-hari layaknya anak normal lainnya. Bapak dan Emak mempersiapkan Gola Gong dengan cinta agar ia mampu menghadapi kehidupan yang keras tanpa merasa rendah diri. Gola Gong digambleng dengan buku, olahraga  dan dengan tayangan film agar memiliki mental baja ketika maju ke medan perang kehidupan. Bapak dan Emak tidak menuntut Gola Gong untuk berprestasi di dalam pendidikan formal, tapi mengharapkan Gola Gong mampu berkiprah di kehidupan. Bagi Bapak dan Emak, sebaik-baik manusia ialah yang bermanfaat bagi orang lain.
Pengajaran dari Bapak dan Emak bermula dari kelereng. Gola Gong kecil sangat mahir bermain kelereng. Bapak tidak ingin Gola Gong dilecehkan teman-temannya oleh karena itu Bapak berusaha mengajari Gola Gong bermain kelereng dengan satu tangan. Akhirnya, Gola Gong bersemangat bermain kelereng tanpa merasa dirinya cacat. Bapak juga mengajari Gola Gong untuk berolahraga karena jiwa yang sehat terdapat dalam tubuh yang kuat. Hasilnya, Gola Gong mampu meraih berbagai kejuaraan badminton se-Asia Pasifik layaknya atlet berlengan dua.
Emak juga menyemangati Gola Gong dengan nasihat-nasihat yang menenangkan. Bahkan ketika Gola Gong akan pergi menaklukkan Jakarta, Gola Gong dibekali uang untuk membeli tangan palsu. Uang tersebut dari hasil tabungan emaknya. Menurut Gola Gong, Emak ialah sosok yang selalu mengasah hati dan jiwanya, membuatnya untuk tetap berendah hati dan tidak menyepelekan, serta mengingatkan Gola Gong untuk selalu menghargai lawan-lawannya.
Bapak dan Emak sering membawa buku biografi orang-orang hebat. Hal ini membuat Gola Gong hobi membaca buku dan terinspirasi dari tokoh-tokoh hebat yang dibacanya. Hingga akhirnya, Gola Gong mampu menjadi penulis buku dan sastrawan terkenal. Gola Gong merasa bahwa semangat dan kreatifitas yang dimiliki karena ia rajin membaca. Dengan menulis, Gola Gong ingin memberi semangat kepada generasi muda, karena dalam buku yang ia tulis isinya tentang pengalaman hidupnya  menjadi orang yang cacat dan berbeda
Dalam Buku Aku, Anak Matahari, Gola Gong juga menceritakan bahwa secara tidak langsung ia telah mewujudkan mimpi Bapak dan Emak. Secara perlahan-lahan Bapak dan Emak telah merencanakan sesuatu untuk anak-anaknya. Bapak pernah memiliki keinginan untuk keliling dunia dan mimpi itu kemudian dilimpahkan kepada Gola Gong. Terbuti bahwa Bapak dan Emak sangat mendukung Gola Gong untuk mencari pengalaman batin dengan melakukan perjalanan keliling Indonesia (1986-1987) dan Asia (1990-1992). Bapak ingin menjadi juara Badminton seperti Rudi Hartono dan akhirnya anak-anaknya mampu meraih berbagai kejuaraan Badminton, bahkan Gola Gong mampu menjuarai lomba badminton se-Asia Pasifik.
Orang tua Gola Gong tidak pernah memaksa atau menyuruh Gola Gong untuk menjadi ini dan itu. Orang tua Gola Gong hanya menyediakan sarana, menurut Bapak dan Emak, jika anak melakukan sesuatu pekerjaan atas keinginan orang tuanya, itu tidak baik. Yang baik ialah, keinginan itu muncul dari keinginan anak. Bapak dan Emak hanya memancing kreatifitas anak-anaknya dengan buku-buku yang disusun di rak, di halaman rumah disediakan arena bermain sederhana sepeti ayunan, perosotan, jungkit-jungkitan dan kolam ikan. Kemudian, praktiknya akan muncul dengan sendirinya. Gola Gong kecil sangat gembira sehingga paling sering melakukan praktik-praktik sehingga cara berpikirnya lebih cepat dari teman sebayanya.
Kemudian, perkara Rumah Dunia juga keinginan Bapak dan Emak. Orang tua Gola Gong pernah berkata bahwa jika mereka tidak berhasil mewujudkan sebuah lembaga pendidikan yang menampung anak-anak yatim secara gratis, maka Gola Gong harus mewujudkannya. Dan akhirnya, Gola Gong mampu mendirikan Rumah Dunia yang merupakan madrasah kebudayaan yang bergiat di bidang jurnalistik, sastra, film, teater musik dan menggambar. Bapak dan Emak selalu mengingatkan Gola Gong untuk melakukan sesuatu dari nol atau hal kecil. Semua harus berawal dari diri sendiri, itulah yang dimaksud cara berbipik diluar kelaziman atau berpikir out of the box.
Cara orang tua Gola Gong dalam mendidik anak-anaknya membuat Gola Gong terkesan. Bapaknya berperan di wilayah fisik untuk membuatnya sehat secara jasmani dan Emak yang berperan di wilayah psikis karena membuat Gola Gong menjadi peka terhadap lingkungan. Fisik yang kuat menjadi wadah yang pas bagi kebutuhan psikis. Hal itulah yang membuat Gola Gong begitu bersemangat, percaya diri, penuh dengan gagasan dan kreatif padahal dirinya cacat. Cara-cara yang dilakukan oleh orang tua Gola Gong dalam mendidik anaknya sangat mempengaruhi perkembangan psikis Gola Gong. Dan hal tersebut berbuah manis karena didikan orang tuanya berhasil menjadikan Gola Gong sebagai sosok yang berprestasi di kehidupan, bermanfaat bagi orang lain, menjadi ayah dan suami ideal dan sosok yang menginspirasi orang lain serta mampu membuat bangga orang tua.

B.     Analisis Kepribadian
Alfred Adler menyatakan bahwa kehidupan manusia dimotivasi oleh satu dorongan utama yakni dorongan untuk mengatasi perasaan inferior dan berjuang untuk mencapai perasaan superior. Jadi, tingkah laku manusia ditentukan oleh padangan mengenai masa depan, tujuan dan harapan, bukan hanya apa yang dikerjakan di masa lalu. Karena awalnya manusia memulai hidupnya dari kondisi yang kecil, lemah dan perasaan inferior. Maka dari kondisi lemah itu, manusia mampu mengembangkan kepercayaan untuk mengatasi kelemahan dengan menjadi individu yang besar, kuat dan superior.
Menurut Adler, ada tiga macam situasi pada masa kanak-kanak yang sangat berpengaruh dalam membentuk gaya hidup di masa dewasa. Yang pertama adalah inferioritas organ yaitu penyakit-penyakit atau kecacatan fisik yang diidap semasa kanak-kanak. Kedua yaitu pola asuh keluarga yang terlalu memanjakan anak, sedangkan yang ketiga ialah perasaan terabaikan atau tersingkirkan. Dalam menganalisis tokoh Gola Gong saya akan mengambil salah satu situasi yaitu inferioritas organ karena sangat berkaitan dengan kondisi Gola Gong.
Perasaan inferioritas berarti perasaan lemah atau tidak berdaya dalam mengerjakan tugas yang harus diselesaikan. Kondisi ini sebenarnya dialami oleh semua makhluk hidup karena pada dasarnya semua manusia memulai kehidupan dengan kelemahan fisik yang mengaktifkan perasaan inferior, yaitu perasaan yang menggerakkan seseorang untuk berjuang menjadi superiorita atau sukses. Perasaan sepeti ini akan terus muncul ketika seseorang menghadapi tugas baru, jika orang sudah menguasai tugas barunya maka perasaan inferior akan hilang. Sedangkan superior memiliki arti berjuang untuk terus menerus agar menjadi baik. Dalam teori Adler, dorongan sukses adalah suatu kepentingan atau kepekaan sosial karena manusia sebagai makhluk sosial tidak akan bisa eksis tanpa adanya orang lain.
Analisis saya berdasarkan teori kepribadian individual Alfred Adler, masa kecil Gola Gong dididik oleh keluarga yang menerapkan pola asuh pendidikan yang cukup baik. Dalam buku Aku, Anak Matahari, Gola Gong menjelaskan bahwa kedua orang tuanya mendidik menggunakan metode montessori. Kedua orang tua Gola Gong menyadari betul bahwa anaknya sedang dalam periode sensitif. Anak ibarat busa atau sponge yang jika dilemparkan ke laut akan mampu menyerap air hingga penuh. Orang tuanya berusaha memaksimalkan pendidikan anak-anaknya dengan alat, bahan dan kegiatan yang khusus dirancang untuk merangsang kecerdasan anak. Gola Gong kecil memiliki daya serap tinggi (absorbent mind) dan mempunyai kemampuan tinggi untuk belajar beradaptasi dengan lingkungan dibanding teman sebayanya. Hal tersebut berlanjut meski Gola Gong pada usia 11 tahun harus kehilangan tangan kirinya sebatas sikut.
Orang tua Gola Gong mengkondisikan lingkungan rumah senyaman mungkin agar anak-anaknya mau belajar. Banyak berjejeran rak berisi buku-buku yang menggunggah minat membaca anak-anaknya, orang tua Gola Gong juga sering membawakan buku tentang biografi tokoh-tokoh terkenal sehingga Gola Gong terinspirasi oleh semangat dari biografi tokoh yang ia baca. Selain itu, dirumah disediakan permainan-permainan sepeti ayunan, perosotan, jumpit-jumpitan dna kolam ikan sehingga dapat merangsang perkembangan motorik kasar pada anak agar anak mau bermain di rumah.
Pola asuh pada masa kecil itu menyebabkan Gola Gong pada usia kanak-kanak mampu menjadi anak yang pemberani dan kreatif. Gola Gong mampu berbaur dengan lingkungan sosialnya dan memiliki benyak teman. Hingga akhirnya musibah itu datang dan Gola Gong harus menjalani amputasi tangan kiri. Menjadi individu cacat tentu saja memunculkan perasaan inferior, karena dengan kondisi tersebut akan sulit melakukan kegiatan-kegiatan tertentu. Tangan Gola Gong diamputasi pada saat ia duduk di kelas 4 SD. Butuh waktu dua tahun bagi Gola Gong dan teman-teman serta gurunya untuk saling menyesuaikan diri. Seringkali Gola Gong mendapat perlakuan tidak baik dari teman-temannya, ia sering diledek dengan sebutan si buntung. Apalagi jika teman-teman Gola Gong merasa kalah dengannya maka teman-temannya melancarkan serangan psikis bagi Gola Gong.
Kedua orang tua Gola Gong tidak ingin anaknya terlihat lemah, mereka ingin Gola Gong tumbuh layaknya anak normal lainnya sehingga mampu menjalani kehidupannya dengan baik dan bisa jadi sosok yang berguna di masa depan. Gola Gong kecil memiliki semangat yang luar biasa, tak henti-hentinya ia membaca sehingga ia lupa bahwa dirinya cacat. Gola Gong kecil juga bersemangat dalam berolahraga, buktinya ia mampu berenang dengan hanya satu tangan dan sering menjuarai kejuaraan badminton hingga tingkat Asia Pasifik meskipun dengan satu tangan. Gola Gong memiliki harapan-harapan besar untuk masa depannya agar ia bisa menjadi orang yang sukses meski cacat. Hal inilah yang disebut sebagai fictional final goals, yaitu keyakinan yang tidak ada faktanya tapi mampu mempengaruhi kepribadian.
Cara orang tuanya mendidik dan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan Gola Gong di usia mudanya benar-benar mempengaruhi kepribadian Gola Gong. Dalam teori Adler, motif utama setiap orang adalah menjadi kuat, kompeten, berprestasi dan kreatif. Orang tua Gola Gong ingin memunculkan tujuan-tujuan tersebut dalam diri Gola Gong sehingga orang tuanya berjuang keras memberikan perhatian dan pendidikan yang terbaik bagi Gola Gong. Gola Gong muda memiliki banyak impian, ia berkelana mengelilingi Indonesia dan Asia. Dengan berkelana ia berharap memiliki banyak pengalaman batin, dengan berkelana ia berharap mampu menjadi seseorang yang dapat bermanfaat bagi orang lain. Gola Gong rajin membaca, ia berharap dengan membaca mampu membuka cakrawala pengetahuannya.
Dalam teori Adler, hal tersebut disebut sebagai subjective perceptions atau pengamatan subjectiv. Artinya, orang menetapkan tujuan-tujuan untuk diperjuangkan berdasarkan interpretasinya tentang fakta. Kepribadian manusia dibentuk bukan berdasarkan realita melainkan berdasarkan keyakinan subjektif orang itu terhadap masa depannya. Final fiction goals yang berdasarkan pada subjective perception ini membimbing style of life manusia, dan membentuk kepribadian menjadi kesatuan.
Menurut Adler, inferiorita organ fisik adalah anugrah karena orang akan berjuang mencapai kesehatan jiwa dan menjalani gaya hidup yang berguna. Gola Gong memiliki social interest yang cukup baik. Social interest adalah sikap keterikatan diri dengan kemanusiaan secara umum yang diwujudkan dengan kerjasama dengan orang lain. Social interest dikembangkan melalui hubungan Ibu dan Anak. Ibu Gola Gong mampu menjalin ikatan yang kooperatif dengan Gola Gong. Orang tuanya tidak pernah memaksa Gola Gong untuk menjadi ini dan itu, orang tua Gola Gong hanya meyediakan sarana. Menurut orang tua Gola Gong, jika anak melakukan sesuatu atas keinginan orang tua itu tidak baik yang baik anak melakukan sesuatu atas keinginannya sendiri. Sarana-sarana tersebut bertujua untuk membentuk minat sosial Gola Gong.
Orang tua Gola Gong bekerjasama dengan baik untuk mendidik pribadi Gola Gong. Bapak berperan di wilayah psikis, Bapak yang menjadi guru olahraga dengan semangat mengajari Gola Gong untuk renang, badminton, dll sehingga Gola Gong tertarik pada dunia olahraga dan menjali atet badminton. Pernah suatu ketika Gol A Gng diajak pergi ke pasar senin dan Bapaknya membelikan berdusdus buku bacaan dan komik. Hal tersebut bertujuan untuk merangsang minat baca pada diri Gola Gong dan akhirnya Gola Gong mampu menjadi sastrawan dan penulis buku terkenal. Bapak juga mengajari Gola Gong untuk bermian kelereng dan permainan anak-anak lainnya. Pada waktu pulang dari rumah sakit, Bapak membelikan Gola Gong sekantong kelereng dan bilang bahwa di kampung sedang musim kelereng dan Gola Gong jangan sampai tidak bisa bermain kelereng. Bapak pun mengajari Gola Gong yang memiliki satu tangan untuk bermain kelereng dan hasilnya Gola Gong sering memenangkan permainan kelereng tersebut. Sedangkan Emak, berperan di wilayah psikis, Emak adalah sosok yang amat keibuan,. Sikapnya yang ramah dan lembut dan sering memberi wejangan-wejangan untuk anaknya. Sehingga Gola Gong menjadi sosok yang mampu meraih kesuksesan yang diharapkan oleh orang tua dan dirinya sendiri.
Perjuangan mencapai tujuan final yang dilakukan oleh Gola Gong  dipersepsi jelas olehnya. Kelemahan fisik yang dimiliki memunculkan perasaan inferior, sehingga ia merasa ada yang tidak lengkap. Kondisi tersebut memunculkan minat-minat sosial yang juga disebut proses mencapai kesuksesan. Adler menjelaskan bahwa manusia itu adalah sosok yang unik. Manusia memiliki gaya hidup yang berbeda-beda dan tidak mudah berubah. Gaya hidup dibentuk pada usia 4-5 tahun dan tidak hanya ditentukan oleh kemampuan instrinsik (hereditas) atau lingkungan sosial, melainkan dibentuk oleh anak melalui pengamatannya dan interpretai terhadap keduanya. Dari buku Aku, Anak Matahari yang ditulis oleh Gola Gong sendiri, ia menceritakan bahwa sedari kecil Bapak dan Emaknya telah meemberi rangsangan bagi Gola Gong untuk gemar membaca dan beraktivitas di luar rumah. Dan kondisi itu menjadi kebiasaan bagi Gola Gong yang sampai sekarang ini hobi membaca dan berkelana.
Dalam teori Adler, Gola Gong juga mampu menciptakan kekuatan kreatif diri atau creative power of the self. Kekuatan kreatif diri ialah kekuatan ketiga yang paling menentukan tingkah laku. Kekuatan kreatif diri memberi kebebasan bekehendak bagi manusia untuk menciptakan gaya hidup dan bertanggung jawab terhadap tujuan finalnya, dan menentukan cara mencapai tujuan itu serta melakukan pengembangan minat sosial. Gola Gong memiliki kekuatan kreatifitas diri yang baik sehingga ia memiliki minat sosial dan gaya hidup yang baik pula sehingga membentuk kepribadian yang baik bagi Gola Gong.
Jadi, hasil analisa saya terhadap Gola Gong berdasarkan teori psikologi individual Adler ialah, Gola Gong yang pada usia kanak-kanak hidup dalam keluarga yang memiliki pola asuh yang baik sehingga orang tuanya mampu membentuk minat-minat sosial dan gaya hidup yang ideal bagi masa depan anak-anaknya. Kedua orang tua Gola Gong berusaha dengan keras agar anaknya mampu meraih kesuksesan-kesuksesan yang menjadi idaman orang tua dan keinginan anaknya sendiri. Terlebih saat kondisi inferioritas organ  pada diri Gola Gong yang dialaminya pada usia 11 tahun. Pada usia tersebut anak belum mengerti banyak hal tentang apa yang terjadi pada dirinya dan harus bagaimana ia di masa depan. Beruntungnya, orang tua Gola Gong mampu memberikan perhatian dan pendidikan bagi Gola Gong yang memiliki keterbatasan fisik tersebut sehingga Gola Gong mampu mengatasi perasaan inferioritas dan mencapai superioritas.
Selain menganalisis kepribadian menurut psikologi individual Adler, saya juga akan menganalisis kepribadian Gola Gong menurut aliran kepribadian psikonalisis. Karena psikoanalisis merupakan aliran pertama dalam psikologi yang ditokohi oleh Sigmund Freud. Meskipun psikoanalisis banyak mendapat kritikan namun masih eksis digunakan untuk menganalisis kasus-kasus psikologis manusia. Psikoanalisis melihat kepribadian manusia melalui struktur kepribadian id, ego, superego. Psikoanalisis memandang kepribadian individu layaknya gunung es, dimana yang tersembunyi dibawah jauh lebih banyak dibanding yang muncul di permukaan.Sigmund Freud percaya bahwa perilaku yang ditampilkan seseorang adalah manifestasi dari apa yang ada dalam alam bawah sadar (unsconsciouness). Menurut psikoanalisis, id adalah sistem kepribadian yang dibawa sejak lahir yang sifatnya tidak berdasarkan kenyataan alias semu atau khayalan. Ego adalah cara untuk menangani kenyataan sehingga ego berupaya menunda keinginan id yang tidak nyata sampai ada obyek yang nyata untuk memuaskan kebutuhan. Sedangkan superego ialah kekuatan moral yang menjadi penegah antara id dan ego yang tujuannya untuk membedakan antara benar dan salah.
Berdasarkan teori psikoanalisis Sigmund Freud, bagaimanakah dinamika kepribadian dalam diri Gola Gong?
Menurut saya, Gola Gong sebagaimana manusia dengan id pada umumnya. Bedasarkan buku Aku, Anak Matahari yang menceritakan perjalanan hiudp Gola Gong, struktur kerpibadian superego yang terdapat dalam diri Gola Gong sangat kuat, terutama ajaran religius dan pendidikan serta pola asuh  yang diberikan oleh orang tuanya. Hal itulah yang membuat Gola Gong memiliki karakter yang baik. Hal ini dapat dilihat dari tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Gola Gong semasa ia muda hingga menjadi sosok ayah sekarang ini. Gola Gong memiliki prinsip yang kuat bahwa ia tidak ingin menggantungkan hidup dan keinginnanya pada orang lain. Contohnya, Gola Gong ingin mendirikan gelanggang kesenian (Rumah Dunia), ia tidak serta merta membentuk rumah dunia dengan mencari dana atau bantuan dengan mengajukan proposal. Ia mendirikan rumah dunia dengan kerja keras, ia mulai dari nol. Ia kenalkan dunia literasi dan kesenian pada keluarganya dan tetangga lingkungan rumahnya. Ia membangun rumah dunia tidak mudah namun secara bertahap. Gola Gong menyadari bahwa dengan mengajukan dana dengan proposal sama halnya dengan meminta-minta. Ia memiliki prinsip yang kuat bahwa hal tersebut bukanlah cara yang baik. Hingga akhirnya ia mencari cara lain yang dilakukannya dengan sabar namun hasilnya berbuah manis, hingga akhirnya rumah dunia menjadi komunitas dan gelanggang kesenian yang besar dan terkenal dan mimiliki banyak donatur atau sukarelawan yang rela menyisihkan sebagian uangnya untuk didonasikan ke kegiatan di rumah dunia.
Kehidupan masa kecil Gola Gong yang penuh pembelajaran dari Bapak dan Emaknya menjadikan ia pribadi yang berbeda. Tak bisa dipungkiri bahwa pola asuh orang tua dan kondisi lingkungan sosial dimana individu berada sangat mempengaruhi perkembanga sesorang, terutama pada masa kanak-kanak. Gola Gong yang berasal dari keluarga berpendidikan membuatnya mendapatkan pendidikan yang baik dan memiliki kepekaan sosial serta daya tangkap yang lebih baik dari teman sebayanya dalam belajar. Pada waktu itu tentu saja tidak banyak orang tua yang memiliki kesadaran untuk menumbuhkan minat abca pada anak, tidak banyak orang tua yang tahu cara merangsang kecerdasan anak dan bagaimana menangani anak yang memiliki keterbatasan fisik seperti Gola Gong. Id, pada diri Gola Gong sebagaimana layaknya id pada manusia lainnya yang berusaha untuk terpenuhi. Gola Gong tumbuh menjadi sosok pribadi yang dewasa, yang mampu memahami lingkungannya dengan baik dan tahu apa yang menajdi prioritas keinginannya. Sehingga ketika id pada diri Gola Gong tidak tersalurkan dengan baik maka ia melakukan berbagai mekanisme pertahan diri. Untuk menutupi perasan rendah dirinya yang cacat dan tidak ingin direndahkan ornag lain, daripada ia berdiam diri dan merenungi kondisinya, Gola Gong melakukan sublimasi dengan melakukan aktivitas-aktivitas yang positif seperti membaca buku, berolahraga, bermian, menonton film, dll.




SUMBER RUJUKAN :
1.      Alwisol. 2014. Psikologi Kepribadian. Malang : UMM Press
2.      Gong, Gola. 2008. Aku, Anak Matahari : Sebuah Memoar Keluarga yang Impresif. Bandung: Semesta Parenting


Sabtu, 05 Desember 2015

Program Mr.Jotas (Masyarakat Jonegoro Ramah terhadap Disabilitas)

Aku, sama halnya denganmu.
Diciptakan Tuhan dari segumpal darah
Kurang lebih sembilan bulan lamanya di rahim seorang Ibu
Dan dilahirkan dengan proses persalinan
Sama halnya denganmu bukan?
Kita sama, sama-sama manusia ciptaan Tuhan yang menapaki kehidupan
Namun aku tak bisa memungkiri jika aku dan kamu berbeda
Psikis dan fisikku yang lemah
Atau  fisikku yang tidak sempurna
Entah orang menganggapku apa,
Si lemah, si bodoh, si tak berdaya atau entah sebutan buruk lainnya
Tapi aku adalah manusia yang juga butuh perhatian
Aku butuh kehidupan yang layak dan mampu dimengerti semua orang
Bukan diabaikan atau disingkirkan
Aku punya cinta, aku punya cita-cita, dan aku punya kehidupan
Kita sama.
Sama-sama mahkluk Tuhan yang menapaki kehidupan
                                                                             

Manusia pada dasarnya diciptakan oleh Tuhan sama, berasal dari segumpal darah, menjadi janin, hingga lahir dan menjalani kehidupan dari bayi hingga lansia.  Dan Tuhan membekali manusia dengan akal budi dan hati nurani serta bentuk tubuh yang sempurna untuk menjalani kehidupan. Namun, bagaimana jika terdapat manusia ciptaan Tuhan yang sacara psikis dan fisik mengalami keterbatasan? Tentu saja sebagai manusia yang berhati nurani, tindakan yang dilakukan bukanlah memberikan label buruk atau bersikap acuh kepada mereka, manusa berkebutuhan khusus yang disbeut disabilitas. Hal yang perlu dilakukan adalah menumbuhkan jiwa sosial dengan memahami keterbatasan kaum disabilitas dengan berupaya memperlakukan sebaik mungkin, membantu apa yang diperlukan selagi bisa membantu dan bersama-sama dengan pemerintah berupaya memberikan fasilitas sebaik mungkin untuk semua golongan masyarakatnya.  
Kepedulian terhadap kaum penyandang disabilitas sangatlah diperlukan, kaum disabilitas membutuhkan perhatian khusus untuk menjalani kehidupan sehari-harinya dengan bantuan orang lain karena keterbatasan kondisi fisik yang dimiliki. Disabilitas menurut WHO berarti suatu ketidakmampuan melaksanakan suatu aktifitas atau kegiatan tertentu sebagaimana layaknya orang normal, yang disebabkan oleh kondisi kehilangan atau ketidakmampuan baik psikologis, fisiologis maupun kelainan struktur atau fungsi anatomis. Oleh karena itu tidak mengherankan jika kaum disabilitas berhak mendapat perhatian khusus oleh lingkungan sosialnya agar bisa menjalani kehidupan selayaknya orang normal.
International Labour Organization (ILO) mengungkapkan bahwa fakta global mengenai penyandang disabilitas saat ini adalah sekitar 82% dari penyandang disabilitas berada di negara-negara berkembang dan hidup di bawah garis kemiskinan dan kerap kali menghadapi keterbatasan akses atas kesehatan, pendidikan, pelatihan dan pekerjaan yang layak; para penyandang disabilitas kerap kali terkucil dari pendidikan, pelatihan kejuruan dan peluang kerja; lebih dari 90% anak-anak disabilitas di negara-negara berkembang tidak bersekolah (UNESCO) sementara hanya 1% perempuan disabilitas yang bisa membaca (UNDP).
Salah satu bentuk kepedulian dan perhatian terhadap kaum disabilitas yang dilakukan oleh Kabupaten Bojonegoro adalah dengan diprogramkannya pendidikan inklusif. Kurang lebih hampir dua tahun yang lalu tepatnya pada 14 Desember 2013, kabupaten Bojonegoro mendeklarasikan diri sebagai salah satu kabupaten pelopor pendidikan inklusif di Indonesia. Dengan antusias, Bapak Bupati Suyoto saat upacara deklarasi di alun-alun pada waktu itu mengatakan bahwa pendidikan tidak harus diskriminasi dan harus mampu mengakomodir pluralitas baik  masalah sosial maupun fisik, sekolah menjadi tempat untuk mendapatkan pengetahuan dimanapun berada tanpa memandang bentuk fisik, oleh karena itu kita harus bisa menerima keberadaan dan kehadiran mereka yang memiliki kebutuhan khusus dengan baik, karena ini merupakan bentuk kebhinekaan.
Berdasarkan informasi dari Humas dan Protokol kabupaten Bojonegoro yang dilansir suarabanyuurip.com 14 Desember 2013, dari jumlah penduduk di Bojonegoro terdapat 430.313 anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah inklusif dan Sekolah Luar Biasa (SLB). Sementara untuk jenjang SD sebanyak 244 anak yang terbagi 6 penderita. Yakni tuna netra, 5 penderita tuna rungu dan tuna wicara, 82 penderita tuna grahita, masing-masing 5 anak penderita tuna daksa dan tuna laras, 2 anak memiliki bakat istimewa dan 134 anak cerdas istimewa. Berdasarkan data tersebut, masyarakat harus sadar bahwa jumlah kaum disabilitas di Bojonegoro jumlahnya cukup banyak dengan berbagai macam jenis ketidakmampuan yang berbeda-beda. Dan tentu saja jumlahnya di tahun 2015 kemungkinan bisa saja meningkat seiring dengan angka kelahiran bayi atau angka kecelakaan yang mengakibatkan cacat fisik yang terjadi dalam kurun waktu dua tahun terakhir ini.
Pendidikan inklusif bertujuan untuk mempermudah kaum disabilitas dalam menempuh pendidikan di sekolah umum agar bisa mendapatkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang memadai untuk masuk dalam dunia pekerjaan. Bentuk kepedulian terhadap kaum disabilitas harapannya tak hanya pada aspek pendidikan saja, namun juga pada aspek kehidupan bermasyarakat yang artinya lingkungan sosial. Banyak teori-teori psikologi yang menyebutkan bahwa lingkungan memegang peranan penting dalam perkembangan hidup manusia. Selain faktor genetik, faktor lingkungan akan mempengaruhi perkembangan fisik, kognitif, emosi dan sosial. Kaum disabilitas sama halnya dengan manusia normal lainnya yang harus menjalani kehidupan, menempuh pendidikan, melakukan interaksi sosial, keinginan untuk berkeluarga dan memiliki keturunan, keinginan untuk bekerja, keinginan untuk menikmati fasilitas-fasilitas umum yang disediakan untuk mayarakat, dan keinginan lainnya yang sama dengan orang normal. Namun bagi kaum disabilitas keinginan-keinginan tersebut bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilakukan kerena kaum disabilitas memiliki keterbatasan dan kurangnya rasa percaya diri.
Pemerintah Bojonegoro sudah berupaya memberikan akses semaksimal mungkin agar masyarakatnya yang berkebutuhan khusus mendapatkan hak yang sama dengan memberikan pendampingan bagi kaum disabilitas, memberikan pelatihan guru untuk menangani peserta didik yang berkebutuhan khusus, memberikan pelatihan keterampilan, dll. Selain pemerintah, masyarakat Bojonegoro berkewajiban untuk turut serta berperan memperjuangkan hak-hak kaum disabilitas agar kaum disabilitas mendapatkan haknya. Masyarakat Bojonegoro harus memiliki jiwa sosial dan peka terhadap kondisi di masyarakat agar mau ringan tangan untuk memberikan pelayanan bagi kaum disabilitas. Hal tersebut perlu dilakukan agar di kabupaten Bojonegoro tercipta suatu kondisi dimana masyarakat Bojonegoro ramah dan peduli terhadap kaum disabilitas. Pada Pemilu legislatif tahun 2014 lalu, diberitakan di blokBojonegoro.com bahwa pemilih disabilitas dalam Pileg kurang mendapat perlakuan khusus dari KPU Bojonegoro dalam proses pemilihan suara. Pemilih disabilitas kurang bisa berperan dalam pencoblosan karena fasilitas yang kurang memadai. Dalam kasus tersebut KPU menjelaskan bahwa memang tidak ada Tempat Pemungutan Suara (TPS) khusus dan suarat suara khusus karena tidak diatur dalam undang-undang.
Oleh karena itu, untuk meminimalisir munculnya kasus-kasus lain yang bisa mendiskriminatifkan kaum disabilitas atau tidak terpenuhinya hak-hak kaum disabilitas. Maka harapannya pemerintah dan masyarakat harus bersatu menciptakan suatu kondisi yang ramah dan peduli terhadap kaum disabilitas karena kaum disabilitas adalah bagian dari sumberdaya manusia yang dimiliki Bojonegoro yang juga harus diberdayakan agar memiliki kualitas hidup yang baik.
Lalu bagaimana caranya menciptakan masyarakat yang ramah terhadap disabilitas?
Program Mr. Jotas (Mayarakat Bojonegoro Ramah terhadap Disabilitas) merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk menciptakan suatu kondisi masyarakat yang ramah terhadap disabilitas. Program Mr. Jotas bertujuan untuk menumbuhkan semangat masyarakat untuk peduli terhadap kaum disabilitas. Dengan masyarakat yang peduli dan ramah terhadap kaum disabilitas, maka dampaknya adalah tercapainya tujuan pemerintah yaitu kabupaten dengan pendidikan inklusif, selain itu dengan masyarakat yang ramah dan memahami keterbatasan kaum disabilitas, maka kaum disabilitas memiliki kepercayaan diri untuk dapat berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Program-program Mr. Jotas adalah berikut :
Pertama, untuk meningkatkan sikap ramah terhadap kaum disabilitas adalah dengan mengkampanyekan sikap NO LABELING terhadap kaum disabilitas. Fenomena di sekitar ketika ada anak di sekolah yang susah diatur dan hiperaktif, orang langsung memberi label anak tersebut dengan anak autis. Padahal bisa jadi anak tersebut bukanlah anak autis tapi anak tersebut memiliki gaya belajar yang berbeda yaitu gaya belajar kinsetetik sehingga sulit untuk duduk diam mendengarkan. Selain itu ketika ada anak yang secara fisik memiliki keterbatasan jangan memberikan sikap kasar atau mengejek. Misalnya dengan menyebut orang tuna rungu sebagai wong budeg, atau sikap memberikan label yang lain. Dalam ilmu psikologi, tindakan pemberian label tersebut sangat tidak diperbolehkan karena akan mempengaruhi konsep diri dan interaksi sosial anak disbailitas. Mengkampanyekan sikap NO LABELING bisa dilakukan dengan atribut seperti tulisan di baner, spanduk, baliho dll di tempat-tempat umum yang bisa dibaca oleh masyarakat atau mensosialisasikan lewat siaran radio, siaran tv lokal, koran atau media massa yang lain. Bahkan kalau perlu ada sosialisasi oleh pihak-pihak terkait yang langsung berhadapan dengan masyarakat untuk memberikan pemahaman.
Kedua, dibentuknya komunitas relawan peduli disabilitas. Relawan-relawan ini nantinya akan menyelenggarakan serangkaian kegiatan yang bertujuan untuk menunjukkan kepedulian masyarakat Bojoengoro terhadap kaum disabilitas. Relawan ini mampu menjadi akomodir atas potensi-potensi yang dimilik kaum disabilitas agar kaum disabilitas memiliki kepercayaan diri yang kuat, bisa turut serta andil dalam serangkaian kegiatan yang diadakan pemkab seperti agustusan, peringatan HUT Bojonegoro, dll. Harapanya saat peringatan acara tersebut, kaum disabilitas yang memiliki potensi di bidang seni aau yang lainnya dapat diikutsertakan dan tentu saja dengan didampingi oleh relawan-relawan ini. Acara-acara yang bisa dilakukan untuk menunjukkan kepedulian terhadap kaum disabilitas banyak. Misalnya, mengadakan acara check kesehatan gratis secara berkala untuk memberikan fasilitas kesehatan bagi kaum disabilitas; Bekerjasama dengan Kelas Inspirasi Bojonegoro untuk memberikan motivasi dan pendidikan bagi SLB-SLB: Bekerjasama dengan RTIK untuk mendampingi kaum disabilitas dalam memahami teknologi karena sekarang ini banyak teknlogi-teknologi yang diperuntukkan untuk kaum disabilitas misalnya, aplikasi JAWS untuk tuna netra, dll: Mengadakan acara jelajah Bojonegoro bagi kaum disabilitas dengan acara mengajak kaum disabilitas untuk mengunjungi potensi alam di Bojonegoro karena kaum disabilitas tentu saja ingin menikmati kekeyaan alam Bojonegoro tapi sulit untuk melakukan eksplorasi karena keterbatasan yang dimiliki; Membentuk Disability Service Centre yaitu posko yang dapat dijadikan wadah bagi kaum disabilitas untuk sharing. Relawan-relawan ini akan dibekali dengan pemahaman mengenai bagaimana menangani kaum disabilitas. Misalnya kemampuan untuk memahami isyarat SIBI bagi tuna wicara, kemampuan untuk memberikan pendampingan bagi tuna netra dengan berlatih huruf braile dan sistem aplikasi JAWS dan kemampuan lainnya yang mana pelatihan ini diselenggarakan oleh pemerintah untuk mayarakat awam yang tertarik untuk menjadi ralawan dan pendamping bagi kaum disabilitas.
Ketiga, membentuk ruang publik ramah disabilitas. Harapannya pemerintah dapat menyediakan fasilitas, rambu-rambu untuk mempermudah kaum disabilitas untuk menikmati fasilitas umum. Sebagai contoh, alun-alun Bojonegoro menjadi tempat favorit bagi masyarakat untuk refreshing, olahraga, menikmati akses wifi, dll. Alangkah lebih baik jika di alun-alun dipasang rambu-rambu untuk memudahkan kaum disabilitas agar bisa menikmati fasilitas umum. Hal ini ini jarang ditemukan di daerah lain. Ide lain, bekas terminal di daerah Jetak yang sedang dalam proses pembangunan untuk dijadikan taman, lebih baik jika dalam taman tersebut pemerintah menambahkan bangunan infrastruktur dan rambu-rambu bagi kaum disabilitas sehingga kaum disabilitas bisa bermain dan menikmati taman tersebut. Ruang publik ramah disabilitas lainnya misalnya di masjid-masjid besar, swalayan besar, kantor-kantor pemerintahan, dll disediakan kursi roda bagi cacat fisik dan lansia, pemasangan huruf braile, rambu-rambu penolong, dll.
Keempat, pemerintah bekerjasama dengan dinas sosial memberikan pelatihan keterampilan bagi kaum disabilitas agar kaum disabilitas memiliki softskill dan mendapatkan lapangan pekerjaan. Kalau perlu pemerintah juga memberikan jaminan penempatan kerja bagi kaum disabilitas yang mengikuti pelatihan tersebut. Perusahaan atau lembaga di Bojonegoro harapannya dapat menerima kayawan yang memiliki kebutuhan khusus. International Labour Organization (ILO) mengungkakan bahwa mengucilkan penyandang disabilitas dari angkatan kerja mengakibatkan kehilangan PDB sebesar 3 hingga 7 persen. Dengan memberikan keterampilan dan penempatan kerja bagi kaum disabilitas diharapkan mampu mengentas kemiskinan yang dialami oleh sebagian besar penyandang disabilitas. Masyarakat harus mengubah mindset terhadap penyandang disabilitas yang dianggap sebagai manusia tak berdaya dan tak bisa berbuat apa-apa.
Tak hanya keempat ide dalam program Mr. Jotas yang dijelaskan diatas, masih banyak cara yang bisa dilakukan untuk menciptakan kepedulian masyarakat yang ramah terhadap kaum disabilitas. Yang terpenting dan menjadi langkah utama yang harus dilakukan adalah dnegan mengkampanyekan pada masyarakat sikap ramah dan peduli disabilitas. Jika kegiatan yang dikemas dalam program Mr. Jotas terwujud, berarti masyarakat Bojonegoro bisa dikatakan mampu menjadi masyarakat dunia yang berperan aktif dalam pelaksanaan Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas yang tertuang dalam UU No. 19 tahun 2011. Bojonegoro dapat menjadi kabupaten pelopor ruang publik ramah disabilitas dan masyarakatnya yang ramah terhadap kaum disabilitas, hal ini dapat memperkuat citra diri Bojonegoro yang mendeklarasikan diri sebagai kabupaten pendidikan inklusif.



Ingat, sebaik-baik manusia ialah manusia yang bermanfaat bagi orang lain.


Late post,
Terimakasih Panitia BYS, Kabupaten Bojonegoro, akhirnya tulisan ini lolos 50 besar tulisan di Bojonegoro Youth Summith 2015, yang dilaksanakan pada hari Minggu,  1 November 2015 pukul 07.30 WIB – 14.00 WIB, di Gedung Angling Dharma, Pendopo Kab. Bojonegoro. BYS 2015 adalah sebuah program interaktif dan inspiratif yang mempertemukan para Pemuda TERPILIH Bojonegoro dan Perwakilan dari Pemerintah untuk berkumpul (Gather), berbagi ide / gagasan inovatif (Share), merencanakan program (Plan), dan diharapkan mampu merealisasikan program melalui sebuah Social Project (Action).