Benarkah pernyataan tersebut? Dan apa buktinya?
Jawabannya adalah benar. Dan itu adalah cara yang dilakukan Negara Jepang 52 tahun lalu setalah mengalami kegagalan dalam Perang Dunia II yang memporak-porandakan Jepang akibat bom atom Amerika Serikat. Jepang membangun kembali negaranya dengan gerakan membaca. Setiap tahunnya Jepang memasukkan buku-buku asing lalu menerjemahkannya kedalam Bahasa Jepang hingga 21.000 buku tiap tahunnya. Lalu menganjurkan masyarakatnya untuk terus dan terus membaca. Dan terbukti hasil kerja keras pemerintah Jepang dalam menerbitkan dan menerjemahkan buku pengetahuan dan tehnologi di negaranya tak sia-sia. 25 tahun setelah gerakan membaca dilakukan, Jepang mendapatkan apresiasi dari masyarakat internasional yaitu Jepang sebagai Bintang Ekonomi. Tak bisa disangkal lagi kan kebenaran akan produktivitas masyarakat Jepang yang terkenal kaya akan luasnya pengetahuan di semua bidang baik pendidikan, ekonomi, sastranya, dll.
Lalu tahukah anda dengan buku Totto-Chan: Gadis Cilik di Jendela? Buku yang ditulis oleh Tetsuko Kuroyanogi. Buku itu diterbitkan pertama kali pada tahun 1981 dan menceritakan tentang kehidupan gadis cilik yang bersekolah di SD Tomo Gakuen yang bukan berdiri kokoh dengan pondasi beton, melainkan sekolah gerbong kereta yang didirikan oleh Sosaku Kobayashi selama Perang Dunia II. Buku Totto-Chan sangat terkenal dan menjadi best seller serta banyak diterjemahkan ke berbagai bahasa dan salah satunya Indonesia. Sedikit cuplikan dari buku itu, ketika Totochan dan teman-teman lainnya rela bangun pukul 3 pagi dan dengan antusias menunggu datangnya gerbong kereta untuk dijadikan sebuah perpustakaan. Dan hal tersebut membuktikan bahwa orang-orang Jepang sedari kecil mulai dididik untuk menyukai membaca dan belajar.
Itu adalah salah satu contoh dari sekian banyak orang Jepang yang menuai kesuksesan dalam menghasilkan karya yang bisa mengguncang dunia. Masih banyak cerita dari buku-buku lainya yang membuat para penulis di Jepang terkenal. Sebut saja Fujiko F. Fujio, penulis dan penggambar cerita komik Doraemon yang menceritakan tentang kehidupan anak SD yang pemalas bernama Nobita yang bersahabat dengan Doraemon yang awalnya adalah robot kucing yang datang dari abad 22. Komik ini diterbitkan ada tahun 1969 dan masih ada sampai sekarang dengan edisi-edisi yang semakin menarik untuk dibaca. Selain itu seorang penulis terkenal lagi bernama Gooshoo Aoyama yang menceritakan tentang seorang detetektif ternama, Sinichi Kudo. Komik yang diberi judul Detektif Conan ini menceritakan mengenai pengungkapan sebuah misteri dibalik tindakan-tindakan kriminal yang terjadi di Jepang. Fujiko F. Fujio dan Gooshoo Aoyama adalah penulis Jepang yang mampu mengguncang dunia perbukuan dan pertelevisian karena karyanya. Sama halnya dengan Tetsuko Kuroyanogi yang karyanya diterjemahkan ke berbagai bahasa dan diterbitkan di berbagai media cetak ataupun elektronik.
Mereka itulah orang yang awalnya tidak bisa menjadi bisa, mereka mempelajari banyak hal. Mempelajari untuk memperkuat informasi yang sudah mereka ketahui dan mempelajari apa yang belum mereka ketahui. Dan itu adalah hasil dari budaya membaca tentunya. Ya, pemerintah Jepang terus menggiatkan masyarakat Jepang untuk terus membaca. Hingga bisa melahirkan para penulis ataupun sastrawan Jepang yang menjadi maestro dunia. Dan tak khayal lagi jika Bahasa Jepang sekarang ini semakin mendunia dan menjajahi pelajaran anak SMA. Bahkan sekarang ini banyak berdiri fakultas jurusan sastra Jepang di Indonesia dan hal itu banyak diminati oleh masyarakat Indonesia.
Lalu bagaimana dengan Indonesia sendiri?
Penelitian di Unesco membuktikan bahwa “Mahasiswa di negara industri maju ternyata memiliki rata-rata membaca selama delapan jam per hari, sedangkan di negara berkembang, termasuk Indonesia, hanya dua jam setiap hari. Kurangnya minat baca dibuktikan dengan indeks membaca masyarakat Indonesia saat ini yang baru sekitar 0,001, artinya dari seribu penduduk, hanya ada satu orang yang masih memiliki minat baca tinggi. Angka ini masih sangat jauh dibandingkan dengan angka minat baca di Singapura. Indeks membaca di negara itu mencapai 0,45. Selain itu berdasarkan survei UNESCO, budaya baca masyarakat Indonesia berada di urutan ke-38 dari 39 negara dan merupakan yang paling rendah di kawasan ASEAN. “
Dari pernyataan Unesco tersebut bisa disimpulkan bahwa minat membaca untuk mengubah kehidupan sangat minim sekali gerakannya di Indonesia. Disadari atau tidak, hal tersebut bisa menghambat pembangunan negara karena produktivitas penduduknya rendah. Padahal mempelajari hal yang sama dipelajari oleh orang lain mengakibatkan tidak adanya penambahan pengetahuan dan perubahan informasi. Oleh karena itu belajarlah dengan mempelajari hal yang tidak sama dengan yang lainnya dan itu berarti kita satu tingkat lebih maju dari orang lain karena mendapatkan pengetahuan yang baru.
Berbicara mengenai membaca, bagaimana dengan gerakan membaca di Bojonegoro?
Gerakan membaca atau minat di Bojonegoro juga sangat minim pelaksanaanya. Entah karena fasilitasnya yang kurang memadai atau memang masyarakatnya yang malas. Tapi kecenderungan rasa malas lebih tinggi daripada fasilitas. Sekarang ini di Bojonegoro sudah berdiri banyak taman bacaan atau perpustakaan yang memberikan fasilitas gratis bagi setiap pengunjungnya. Lihat saja perpustakaan umum daerah kita yang terletak di Jalan Panglima Polim. Perpusda telah menyediakan fasilitas WIFI gratis, 8 unit computer yang bisa digunakan untuk googling informasi, dilengkapi pengamanan dengan cctv, serta disediakannya 6 unit proyektor. Seharusnya dengan fasilitas itu bisa memotivasi diri kita untuk mengunjungi perpustakaan dan gemar membaca. Ada juga perpustakaan di desa Sidobandung Kecamatan Balen yang baru saja meraih peringkat terbaik pertama dalam ajang lomba perpustakaan desa/kelurahan se-Jawa Timur setahun lalu. Selain perpustakaan umum, masih banyak taman bacaan yang meminjamkan buku gratis. Sebut saja Sanggar Guna yang terletak di samping pom bensin kalianyar tepatnya di dalam area Pabrik Penimbunan tembakau Gudang Garam yang sekarang ini sudah memiliki hampir 9500 buku dengan jumlah anggota hampir 1600 orang. Sekarang ini pemerintah tengah gencar-gencarnya meningkatkan pembangunan infrastruktur perpustakaan di tiap sekolah. Prestasi yang cukup membanggakan untuk meningkatkan fasilitas membaca di Bojonegoro tersebut setidaknya sudah membantu dalam meningkatakan gerakan membaca di Bojonegoro.
Mencoba pemikiran lain, yaitu mengenai membaca yang dapat meningkatkan fungsi otak kiri manusia. Jika di bandingkan antara minat masyarakat Bojonegoro untuk membaca dan menonton Televisi pasti lebih banyak menonton Televisi. Apa sih salahnya membaca? Membaca itu indah. Dengan membaca bisa meningkatkan ketajaman otak kiri dalam mengingat dan mencerna suatu informasi karena otak terus dipaksa untuk memahami kata-kata dalam sebuah tulisan. Membaca berarti mengajak kita untuk berimajinasi menggambarkan tulisan yang kita baca. Bahkan banyak orang yang menyebutkan bahwa kreatifitas akan imajinasi seorang pembaca bisa melebihi imajinasinya seorang sutradara. Apa benar? Ya mungkin saja, karena Anas AG (Redaktur Radar Bojonegoro) pernah berkata hal seperti itu padaku, dan itu berhasil membuatku termotivasi untuk terus membaca.
Ya, membaca memang menyenangkan dan menggairahkan. Kita seperti berasa di dunia lain. Dunia yang sejenak mampu memberikan ketenangan yang luar bisaa indahnya. Membaca mampu menjadikan kita untuk hidup sehat, sehat dalam arti menghilangkan stress menurut banyak orang. Kebanyakan orang membaca sebuah novel, komik atau bacaan ringan lainnya ketika pikiran sedang penat-penatnya. Benar bukan?
Membaca juga bisa mengubah dari gaya hidup yang boros menjadi hemat. Begini pemikirannya, jika melihat gaya mencari informasi atau hiburan atau pengetahuan dengan menonton televisi pasti butuh biaya yang mahal. Mahal seperti apa sih? Televisi itu barang elektronik kan, dan harganya tidak bisa dibilang murah untuk kalangan menegah ke bawah, dan televisi itu butuh listrik. Sedangkan jika dilihat dari tingkatan produktivitas masyarakatnya, kalangan menengah kebawah harus lebih banyak mendapatkan asupan informasi dan pengetahuan. Termasuk saudara-saudara kita yang berada di daerah terpencil yang masih minim listrik dan televisi. Oleh karena itu pemborosan listrik disertai biaya yang semakin mahal menjadikan hidup boros kerap terjadi. Karena itu memanfaatkan televisi setiap hari perlu dipikirkan matang-matang agar tidak menimbulkan pemborosan. Kan butuh butuh biaya yang tidak sedikit untuk membeli barangnya, membayar listriknya, bahkan tak jarang orang menonton televisi bisa mengganggu orang lain karena suara televisinya kekerasan.
Lalu bagaimana dengan gaya mencari informasi dengan membaca? Membaca itu murah bahkan gratis. Membaca bisa dilakukan dimana saja atau kapan saja. Misalkan saja, dengan membaca koran pagi hari di kantor anda setiap hari, sekarang banyak instansi baik pemerintahan atau swasta yang berlangganan koran. Bahkan warung-warung makan sekalipun berlangganan koran. Jadi anda tak perlu mengeluarkan biaya lebih kan. Anda hanya butuh meluangkan waktu sebentar sebelum memulai aktivitas bekerja untuk duduk dan membaca koran tersebut. Dan itu berarti anda telah mendapatkan satu informasi baru di pagi hari. Berbeda dengan televisi yang cara penyajiannya begitu cepat dan hanya sekali saja, sehingga mau tidak mau memaksa otak untuk mencernanya dengan cepat padahal belum benar-benar mengerti apa sih isi berita atau info atau ceritanya. Dengan membaca anda bisa benar-benar memahami berita tersebut jika belum paham bisa dibaca berulang kali.
Contoh lain, ketika anda pergi ke bioskop untuk menikmati sebuah film yang ceritanya diangkat dari sebuah novel, untuk apa membuang uang yang berkisar antara 20.000 sampai 40.000 untuk menonton film di bioskop dan pergi ke Surabaya yang hanya bisa memanjakan diri selama 2 jam. Buang-buang uang saja, dan itu tidak bisa dinikmati oleh banyak orang bahkan kalangan menengah ke atas yang cenderung bisa menikmatinya. Salah satu solusinya adalah dengan membaca. Membaca novel asli pengarangnya yang entah meminjam dari taman bacaan tertentu atau membelinya. Membeli dalam arti kita bisa patungan dengan keluarga atau teman dan membacanya secara bergantian. Setelah itu mendiskusikannya bersama-sama ketika berkumpul bersama. Dan bayangkan, jika setiap keluarga atau kelompok sosial menerapkan sistem seperti itu, berapa banyak buku-buku yang bisa dikoleksi dan dan berapa banyak taman bacaan yang bisa didirikan? Hal tersebut mendorong kita untuk besodakoh, guru agamaku sering mengatakan jika buku itu memang bernilai kecil tapi punya manfaat besar. Wakaf dengan buku bisa dilakukan ketika kita tak mempunyai banyak harta untuk disodakohkan. Karena buku banyak dibaca dan dipelajari banyak orang, dan dari situlah amal pemiliknya mengalir hingga tiada batas waktunya. Selama ilmu dari buku itu digunakan sebagaimana mestinya. Keren kan.
Marrian Wright Edelmen, seorang aktivis HAM anak-anak pernah mengatakan bahwa kita sering berpikir bahwa kita harus membuat perubahan besar. Mari kita buat dulu perubahan kecil-kecilan yang dilakukan secara strategis. Pengaruh dari perubahan kecil itu akan membawa pengaruh besar nantinya.
Dibutuhkan sebuah pergerakan yang benar-benar mengena dalam hati masyarakat agar mereka menyadari nikmatnya membaca. Pergerakan kecil tapi jika dilaksanakan dengan penuh kesadaran dan perjuangan bisa melahirkan seseorang menjadi penulis handal seperti Andrea Hirata yang novel tentraloginya menjadi best seller, bahkan sampai difilmkan dan banyak diterjemahkan dalam berbagai bahasa pula.
Apa yang dapat disimpulkan dari pembahasan saya tadi?
Dengan membaca, kitabisa mengenggam dunia. Kita mendapatkan informasi yang kita cari.kita mengetahui apa yang tidak kita ketahui. Kita akan mempelajari banyak hal dari pengalaman para maestro negeri ataupun dunia. Tak pernah ada pertemuan karena para maestro itu hidup jauh sebelum revolusi mengubah kehidupan dunia ini. Mereka meningalkan sebuah cerita yang indah yang terbingkai dalam sebuah kertas yang bercampur menjadi satu. Buku.
Robert F. Kennedy pernah mengatakan bahwa kemajuan merupakan kata yang merdu. Tetapi perubahanlah penggeraknya dan perubahan mempunyai banyak musuh. Dan musuh itu adalah rasa pesimis dan rasa malas. Pesimis karena melihat responsive dari apa yang telah kita usahakan sedikit, pesimis karena kurangnya fasilitas, dan pesimis karena kurangnya materi. Itu bukanlah tantangan kawan. Tengoklah orang-orang terdahulu, mereka mampu berkarya dengan begitu hebatnya. Karya yang terkenang sampai sekarang. Meskipun mereka tumbuh dan berjuang dalam keadaan susah karena keterbatasan fasilitas.
Salam Membaca !!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar