BIANGLALA
Bukan jarak yang jadi masalah untuk
bisa bersama.
Tapi rasa ego yang tidak bisa
dikendalikan yang akan jadi masalah.
Dan ingat, kamu hanya boleh
menangis jika apa yang kamu tangisi memang pantas untuk ditangisi.
Ketika
hati berkata iya maka tidak mungkin mulut berkata tidak. Seperti katamu padaku
“Hati itu tak bisa dibohongi, jangan menyakiti perasaanmu sendiri. Katakan apa
yang ingin dikatakan hatimu. Hidup adalah pilihan dan kamu sudah pasti akan
semakin tua. Tapi untuk menjadi dewasa adalah pilihan. Umurmu sudah 16 tahun
La, dan tiga bulan lagi akan 17 tahun. Aku harap kamu bisa menerima keputusanku
ini. Bukan maksudku untuk meninggalkanmu begini saja. Mengertilah dan terima
keputusanku ini. Berfikir positif dan dewasa karna umurmu semakin bertambah
tapi jika pikiranmu tidak bertambah dewasa ya sama saja. Menangislah jika kamu
ingin menangis. Menangislah jika itu membuatmu tenang. Tapi ingat, kamu hanya
boleh menangis jika apa yang kamu tangisi memang pantas untuk ditangisi. Paham
kan?“
Katamu pada suatu senja di sebuah
tempat yang tak terlalu indah tapi bisa membuat kita betah berlama-lama duduk
tempat itu. Menikmati semriwing angin
sore dan suara aliran air sungai terpanjang di Pulau Jawa. Di bendungan yang
sebenarnya tak terlalu nyaman untuk bisa dibuat bersantai karena terik matahari
sangat menyengat kulit dan jalanannya yang berdebu.
Sebenarnya aku sudah bosan dengan
tempat ini. Kerap kali kamu mengajakku kesini untuk menikmati semilir angin
sore yang menerpa wajah kita dan yang mengibaskan rambut panjangku. Matahari
yang tengah emmancarkan kemilaunya dari langit sebelah barat membuatmu
menyipitkan mata karea panasnya bukan main dan mengerutkan kening saat kamu
bicara dan menatapku atau sekedar merenung. Namun suasana itu mampu membuat kita
tenang. Buktinya kamu tak hanya sekali mengajakku kesini, tapi berkali-kali.
Aku mengingat kebiasaanmu itu tiap
kali kita kesini. Duduk melamun di pinggir bendungan dengan pandangan mata
tertuju pada aliran air sungai Bengawan Solo yang terkadang ada para pencari
ikan mencari ikan demi mendapatkan sesuap nasi.
Dan
kali ini, kita kembali duduk melamun dan pikiran kita sama-sama jauh melayang
tak menentu. Aku tak tau apa yang kamu pikirkan, yang jelas kamu hanya duduk
bertopang dagu dan diam membisu terbius suasana senja sore. Tak berani aku
mengusik ketenaganmu. Dan aku lebih memilih mengikutimu akhirnya, duduk diam
membisu.
Hingga
akhirnya kamu mengucapkan sesuatu padaku, kata-kata yang kamu ucapkan ditengah
perdebatan batinku antara rela dan tidak rela akan kepergianmu ke Jogja.
Kata-katamu itu menyelinap masuk dalam setiap memori otakku. Begitu hati-hati
dan pelan kamu mengucapkannya padaku, tapi rasanya begitu cepat. Ingin rasanya
aku memintamu untuk mengulangi perkataanmu tadi. Tapi apa daya, rasanya mulutku
membisu tanpa sebab, mebuatku hanya bisa diam saja. Aku mendengar dan merasakan
kata-kata yang tadi kamu ucapkan penuh rasa.
“Ray,
kenapa harus pindah ke Jogja? Kan disini masih ada orang tuamu, dan ada aku
juga.“ ucapku memecahkan keheningan. Ingin rasanya aku berteriak agar Raya
tetap disini. Namun, berapa kali pun aku memohon tetap saja tidak akan merubah
keputusan Raya untuk tidak pergi ke Jogja.
“Jogja
itu kan dekat dan kamu bisa pergi ke Jogja kapan saja kamu mau. Nanti kalau
kamu pergi ke Jogja aku akan menemanimu jalan-jalan, keliling cari buku di
Shopping Center . Walaupun aku disana dan kamu disini, aku tetap akan menemani
kamu di sela-sela aktivitasku nanti. Meski lewat pesan singkat atau telefon.“
Kata-kata
Raya semakin membiusku dalam kegelisahan hingga aku bingung kan berkata apa
lagi agar Raya tetap disini. Raya akan pergi, meningggalkan aku dan kota kecil
ini dan tentunya kepergiannya meninggalkan banyak kenangan. Rasa sayang
kini akan terpisahkan oleh jarak
beratus-ratus kilometer jauhnya.
“Tapi
Ray, itu tidak akan bisa mengobati perasaanku saat aku rindu sama kamu. Kamu
jangan pergi, disini saja!“ pintaku sedikit merayu pada Raya.
“Tidak
ada dua tahun, kamu akan lulus SMA. Seperti yang sering kamu ceritakan padaku
tentang mimpimu. Kamu masih ingin kuliah di Universitas Negeri Jogja kan? Kamu
semangat, aku menantimu di Jogja nanti.“
“Ray,
semuanya pasti akan berubah. Aku akan kesepian nanti. Gak ada lagi yang nemenin
aku WIFIan di alun-alun, lama di toko buku cari buku yang asyik dibaca,
jalan-jalan gak jelas kalau aku lagi suntuk di rumah. Sepi Ray nanti, sepi! Aku
disini sendiri dan kamu disana. Aku gak tau kamu disana ngapain dan sama siapa.
Aku benci keputusanmu Ray, BENCI!“ ucapku dengan nada berontak disertai buliran
airmata yang jatuh membasahi pipiku. Aku tak peduli dengan puluhan pasang mata
yang tengah memandangiku. Yang kurasakan sekarang hanyalah marah, kesal karna
aku berada pada keadaan yang sangat tidak nyaman.
Aku
berdiri dari dudukku, dan pergi melangkahkan kakiku meninggalkan pinggir
bendungan itu menuju motor Honda 125 merah yang diparkir tak jauh dari tempatku
duduk, motor yang selama ini setia menemaniku dan Raya menyusuri setiap sudut
kota kecil ini.
Raya
juga beranjak pergi meninggalkan pinggir bendungan itu dan berlari kecil untuk
mengikuti langkahku. Tanpa banyak kata Raya segera mengemudikan motornya
mengajakku pergi meninggalkan bendungan. Walaupun ada banyak pasang mata yang
memandang kami dengan tatapan keheranan aku tetap tak peduli.
Aku
hanya ingin segera pulang dan mengunci diriku dalam kamar. Membenamkan wajahku
yang penuh airmata dengan bantal. Karna itu yang bisa membuatku tenang,
setidaknya untuk saat ini. Pikirku.
“Antarkan
aku pulang!“ kataku dalam perjalanan pulang.
Perjalanan
yang kulalui terasa lebih lama dari biasanya. Langit berganti warna dan
sebentar lagi matahari di timur cakrawala
semakin tenggelam dalam peraduannya.
“Temani
aku dulu sebelum aku mengantarmu pulang.“ Jawab Raya
“Aku
ingin cepat pulang. Pokok’e muleh yo
muleh. Titik!“ Dan buliran airmata ini turun kian derasnya karena tak rela
Raya pergi ke Jogja. Atau mungkin hatiku rela tapi masih belum siap. Karena ini
terlalu mendadak. Sebenarnya ada apa dengan Raya. Berbagai perasaan dan
pertanyaan berkecamuk dalam benakku.
Aku
tahu jika Raya tidak akan meninggalkan aku sepenuhnya. Hati kita akan tetap
dekat, walaupun raga kita akan jauh jaraknya. Tapi aku merasa tetap akan ada
yang hilang dalam hidupku nantinya.
Senja
sudah hilang, mulai muncul rembulan yang tengah purnama walau sinarnya masih
terlihat samar-samar di balik awan. Raya
mengajakku berhenti di sebuah tempat. Tempat itu adalah wisata malam yang
sedang digelar di halaman terminal lama kotaku. Raya berhenti dan memakirkan
motornya di parkiran sendangkan aku menunggu dia di pintu masuk pasar malam.
Selesai memarkir motornya dia menghampiriku lalu menggandeng tanganku masuk ke
pasar malam. Kita berjalan-jalan
melewati penjaja pernak-pernik wanita, baju-baju, peralatan rumah tangga,
permainan anak, bakul gorengan, dll.
“Kamu
tunggu disini sebentar ya!“ ucap Raya dan melepas gandengan tangannya yang
membuatku tersentak dari dunia lamunanku. Belum sempat aku menjawab tapi Raya
sudah ngeloyor pergi begitu saja.
Kupandangi
sekelilingku, indah sekali. Berjejer wahana bermain anak-anak, dengan disoroti
bohlam lampu aneka warna yang akan membuat pengunjung tertarik untuk
menaikinya. Gelak tawa dari gerombolan remaja putri yang kuprediksi masih usia
SMP menggema dalam telingaku. Rengekan balita ketika memaksa ibunya agar bisa
menaiki komedi putar membuatku tersenyum sendiri.
Anak
kecil itu mengingatkanku pada tangisku tadi. Anak itu memang sama menangisnya
sepertiku. Tapi dia menangis pada ibunya yang sudah pasti ibunya akan menuruti
si anak untuk naik komedi putar. Tangis yang nyelengking suaranya itu akan berganti dengan tawa mengembang
nantinya.
Ya,
anak itu telah mengingatkan pada tangisku tadi, menyadarkan aku pada suatu hal.
Tangis anak itu begitu polos, karena dia belum merasakan ketika perjalanan
hidup dihadang dalam sebuah permasalahan. Dihadapkan dalam sebuah kenyataan dan
pilihan. Tapi aku adalah gadis yang sudah tumbuh berkembang dalam masa remaja
dan sebentar lagi umurku beranjak 17 tahun yang dimana umur itu menjadi sebuah
peralihan dari kanak-kanak menjadi dewasa. Tapi apa aku sanggup? Apa aku siap?
Permasalahan
asmara kerap kali mengguncang hatiku, memancing emosiku yang labil ini. Tapi
menurutku itu hal yang wajar. Karena memang inilah karakter wanita, emosional.
Jika banyak orang berkata bahwa laki-laki cederung menggunaan pikiran jika
mengambil keputusan dan wanita menggunakan hati jika mengambil keputursan, aku
membenarkan pernyataan tersebut.
Memang
asmara lebih sering memberikan badai daripada pelangi. Tapi tak bisa dipungkiri
jika aku belajar menjadi dewasa karna dunia asmara. Dan dari dunia itu aku
belajar mengendalikan emosi dan perasaan. Terlebih saat aku bersama Raya.
Renungku dalam hati.
“Maaf
menunggu lama, ayo naik bianglala. Ini tiketnya.“ ucap Raya sembari menggandeng
tanganku lagi.
Raya
mengajakku menaiki wahana yang tinggi itu. Operator wahana bianglala membukakan
pintu bianglala yang bernomer sembilan. Bianglala bernomor sembilan ini dicat
warna merah, dengan pola garis-garis warna-warni. Walaupun ruang dalam
keranjang bianglala hanya berukuran satu meter kali satu meter namun cukup
membuat kami leluasa bergerak.
Aku
dan Raya duduk berhadapan. Sampai di titik paling tinggi belum ada pembicaraan
diantara kami. Karna aku dan Raya sibuk memandangi pasar malam ini dari
bianglala yang tengah berputar pelan. Sinar lampu bohlam yang beraneka warna
memberikan kesan eksotis dan romantis. Gaungan lagu yang diputar oleh pihak
operator bianglala menambah ramai suasana. Ada juga teriakan penjaja perau ethek sekaligus suara perau ethek yang digerakkan yang makin
jarang kutemui, suara mesin arum manis yang terus berputar. Suara wahana
tongedan yang memacu adrenalin penonton dan suara rumah hantu yang memang
dibuat-buat tapi tetap saja membuat orang yang mendengarnya merasa merinding,
sengaja mendengar atau tidak akan sama saja. Serta tercium pula bau kemenyan
yang dibakar dari rumah hantu itu.
Suasana
ini membuatku tenang dan aku sedikit terhibur. Walaupun dinginnya angin malam
mulai merasuk dalam tulangku.
“
Kok diam aja sih, oh ya, ini aku bawakan es cream. Dimakan ya! Tenang aja, tadi
aku juga udah Rayar tiga kali harga tiket agar kita bisa lama-lama berputar
menikmati malam ini dan melamun disini.“ kata Raya sambil membuka bungkus es
cream cornetto lalu menyerahkannya padaku.
“Yo, makasih!“ jawabku singkat. Karna aku
memang sedang malas untuk berbicara dengannya saat ini.
Raya
membiarkanku melumat habis es cream itu. Dan dia kembali pada posisi awal.
Melamun. Memandangi wisata malam kotaku dengan pikiran yang jauh melayang dalam
angan.
Usai
es crem yang kulumat habis Raya kembali mengajakku berbicara “La, aku tetap
akan berangkat ke Jogja. Jam sebelas malam aku akan berangkat, naik travel yang
sudah kupesan tiga hari lalu. Dan itu berarti empat jam lagi. Ada waktu 3 jam
buat kita untuk menghabiskan malam ini bersama. Kamu mau apa? Mau kemana? Akan
kutemani.“
Aku
tersentak dengan ucapan Raya, aku tak menyangka lagi jika Raya akan pergi
sekarang, empat jam lagi dan malam ini. Ini telalu mendadak bagiku. Aku sungguh
tak siap dengan keputusan Raya.
“Kok meneng wae, ndang dijawab to!“
“Ray,
aku gak tau harus ngomong apa lagi. Dan percuma saja aku menjelasakan panjang
lebar lalu merengek rengek hingga akhirnya nangis. Karna tetap saja kamu akan
pergi. Aku ingin cepat pulang dan membiarkan kamu pergi. Karna jika aku masih terus bersamamu maka akan
semakin banyak kenangan yang akan terkenang dalam memori otakku. Dan itu malah
akan membuat hatiku semakin sakit.“ kataku
“Dari
dulu kan aku sudah pernah cerita sama kamu, jika aku ingin pergi ke Jogja.
Hidup mandiri disana. Aku ingin kuliah dan nyambi
kerja disana. Dan sekarang waktunya. Sebelum aku mendaftar kuliah disana aku
ingin cari kerja dulu. Kamu tau kan, biaya hidup di Jogja tidak murah. Dan
kuliah pun perlu banyak dana untuk beli dan bayar semua tetek bengeknya.“ jelas Raya
“Aku
gak ingin kamu pergi secepat ini. Satu setengah tahun lalu semenjak kamu janji
bakal ada buat aku dan terus menjaga serta menyayangiku, hidupku terasa lebih
indah. Kamu bukan hanya kekasih. Melainkan kakak, kawan dan sahabat. Aku
menganggapmu lebih dari sekedar seorang kekasih Ray. Kamu baik sama aku, bahkan
terlalu baik.“, kataku.
Sebuluir
airmata mulai turun lagi membasahi pipiku. Otakku berputar kembali ke masa
lalu. Masa saat aku dan Raya pertama bertemu, berkenalan, dan menghabiskan
waktu. Umurku dan umur Raya terpaut tiga tahun empat bulan. Raya itu sosok yang
mampu membuatku mengerti artinya perjalanan hidup yang sejatinya hanya numpang
minum. Aku menyukai Raya dari segala hal. Tentang kecintaanya pada dunia
olahraga, kecintaan dia pada Tuhan semesta alam, kecintaan dia pada orang
tuanya, kecintaan dia pada dunia sekolahnya, dan cinta dia buat aku tentunya.
Karena
seseorang yang spesial menurutku bukan hanya sebagai seorang kekasih, tapi
kekasih bisa jadi penyemangat dan motivator bagiku ketika orang tua sibuk
dengan urusannya.
“Ingat La, bukan jarak yang jadi
masalah untuk bisa bersama. Tapi rasa ego yang gak bisa dikendalikan yang akan
jadi masalah.“ jawab Raya dengan pelan.
Aku mengerti maksud Raya. Ego. Ya,
karna aku termasuk seseorang yang belum bisa berpikir dewasa. Walaupun Raya
sedikit banyak sudah membimbingku dalam setiap permasalahan yang aku hadapi
tetap saja untuk jadi dewasa itu butuh proses. Dan aku ingin dewasa dalam arti
sesungguhnya. Sikap, pikiran dan perkataan! Bukan dewasa kebanyakan remaja
sekarang yang lebih terlihat dewasa dari segi penampilan berpakaian dan sikap
yang menyimpang.
“Maaf
Ray kalau aku cengeng dan gak bisa mengerti keadaan. Aku selalu menuntut kamu
selalu ada buat aku. Padahal kamu punya masa depan yang harus kamu raih. “
“Awalnya orang tuaku juga sepertimu,
gak rela kalau aku pergi. Aku pengen jadi diri aku sendiri. Hidup mandiri dan
tidak bergantung pada orang tua. Walaupun sebenarnya apa yang dimiliki orang
tuaku lebih dari cukup untuk membiayai kuliahku. Aku ingin mencoba hal yang
baru. Karena belum tentu apa yang dimiliki oleh orang tuaku bisa aku kelola
dengan baik nanti.“
“Ya
Ray, aku paham walau sebenarnya aku
masih tidak ikhlas kamu pergi nanti karna ini terlalu mendadak. Kamu
disana jangan main mata ya! Bolehnya main otak! Biar pinter dan cepet pulang.
Hehe “ godaku dalam kepilua hai ini.
“Aku
janji bakal sungguh-sungguh disana. Jangan lupa buat kamu, bangun di dua
pertiga malam. Selipkan doa untukku dalam sujudmu! Di Jogja nanti aku bakal
belikan kamu buku-buku yang kamu cari, kalo di Bojonegoro gak ada di Jogja
pasti ada. Lagian kan harga-harganya juga lebih mirig, hehehe… Ntar aku
paketkan ke Bojonegoro, dan tiap malam minggu buku-buku itu yang jadi pengganti
aku. Buku itu yang nemenin kamu selama aku gak bisa ngajak kamu jalan-jalan
lagi seperti sebelumnya. Biar kamu juga gak kluyuran
tapi di rumah belajar. Kamu yang sabar dan semangat sekolah pokoknya“ Ucapan
Raya seperti angin sore yang membuatku nyaman untuk terus merasakannya. Semriwing. Seperti itulah Raya,
perkatannya mampu membuatku jadi lebih baik lagi. Karna dia terus menasihatiku
dengan caranya, dengan hati dan cinta.
“Iya
aku janji, kalaupun aku tidak bangun pasti kamu ngobrak’i aku lewat telfon! Ya kan.“
“Ya
sudah, kamu jangan sedih lagi ya, habis ini aku antar kamu pulang sekalian aku
pamit sama orang tuamu.“
Pembicaraan
dari hati itu terakhiri sudah tepat ketika operator bianglala membukakan pintu
bianglala yang kami gunakan. Raya menggandengku keluar menuju parkiran motor.
Dan sepanjang perjalanan pulang airmata ini sudah tergantikan dengan senyum
yang sesekali mengembang dalam bibirku. Karna aku sudah bertekad dalam hati,
akan menjadi diri aku sendiri. Menjadi
sesorang yang dapat dipercaya untuk bisa terus dicinta. Kepergianmu nanti akan
menjadi penyemangat buatku untuk bisa menyusulmu di Jogja. Karna aku juga ingin
merajut mimpiku untuk bisa belajar di Jogja.
Dan
angin malam semakin menusuk kulitku ketika kami melewati hamparan sawah
sepanjang jalan menuju rumah. Suasana yang sangat indah sekali. Rembulan yang
bulat ini begitu pedenya menerangi malam ini. Diatas kami, bintang bertebaran
seperti permaisuri. Permaisuri bulan tentunya. Dan dia, semakin pede juga
menggenggam tanganku. Aku membiarkan Raya mengenggam tanganku karna aku pasti
merindukan genggaman Raya yang akan terjadi entah kapan lagi …
Tidak ada komentar:
Posting Komentar