Minggu, 02 September 2012

Cerpen ke-1

BIANGLALA

Bukan jarak yang jadi masalah untuk bisa bersama.
Tapi rasa ego yang tidak bisa dikendalikan yang akan jadi masalah.
Dan ingat, kamu hanya boleh menangis jika apa yang kamu tangisi memang pantas untuk ditangisi.


Ketika hati berkata iya maka tidak mungkin mulut berkata tidak. Seperti katamu padaku “Hati itu tak bisa dibohongi, jangan menyakiti perasaanmu sendiri. Katakan apa yang ingin dikatakan hatimu. Hidup adalah pilihan dan kamu sudah pasti akan semakin tua. Tapi untuk menjadi dewasa adalah pilihan. Umurmu sudah 16 tahun La, dan tiga bulan lagi akan 17 tahun. Aku harap kamu bisa menerima keputusanku ini. Bukan maksudku untuk meninggalkanmu begini saja. Mengertilah dan terima keputusanku ini. Berfikir positif dan dewasa karna umurmu semakin bertambah tapi jika pikiranmu tidak bertambah dewasa ya sama saja. Menangislah jika kamu ingin menangis. Menangislah jika itu membuatmu tenang. Tapi ingat, kamu hanya boleh menangis jika apa yang kamu tangisi memang pantas untuk ditangisi. Paham kan?“
            Katamu pada suatu senja di sebuah tempat yang tak terlalu indah tapi bisa membuat kita betah berlama-lama duduk tempat itu. Menikmati semriwing angin sore dan suara aliran air sungai terpanjang di Pulau Jawa. Di bendungan yang sebenarnya tak terlalu nyaman untuk bisa dibuat bersantai karena terik matahari sangat menyengat kulit dan jalanannya yang berdebu.
            Sebenarnya aku sudah bosan dengan tempat ini. Kerap kali kamu mengajakku kesini untuk menikmati semilir angin sore yang menerpa wajah kita dan yang mengibaskan rambut panjangku. Matahari yang tengah emmancarkan kemilaunya dari langit sebelah barat membuatmu menyipitkan mata karea panasnya bukan main dan mengerutkan kening saat kamu bicara dan menatapku atau sekedar merenung. Namun suasana itu mampu membuat kita tenang. Buktinya kamu tak hanya sekali mengajakku kesini, tapi berkali-kali.
            Aku mengingat kebiasaanmu itu tiap kali kita kesini. Duduk melamun di pinggir bendungan dengan pandangan mata tertuju pada aliran air sungai Bengawan Solo yang terkadang ada para pencari ikan mencari ikan demi mendapatkan sesuap nasi.
Dan kali ini, kita kembali duduk melamun dan pikiran kita sama-sama jauh melayang tak menentu. Aku tak tau apa yang kamu pikirkan, yang jelas kamu hanya duduk bertopang dagu dan diam membisu terbius suasana senja sore. Tak berani aku mengusik ketenaganmu. Dan aku lebih memilih mengikutimu akhirnya, duduk diam membisu.
Hingga akhirnya kamu mengucapkan sesuatu padaku, kata-kata yang kamu ucapkan ditengah perdebatan batinku antara rela dan tidak rela akan kepergianmu ke Jogja. Kata-katamu itu menyelinap masuk dalam setiap memori otakku. Begitu hati-hati dan pelan kamu mengucapkannya padaku, tapi rasanya begitu cepat. Ingin rasanya aku memintamu untuk mengulangi perkataanmu tadi. Tapi apa daya, rasanya mulutku membisu tanpa sebab, mebuatku hanya bisa diam saja. Aku mendengar dan merasakan kata-kata yang tadi kamu ucapkan penuh rasa.
“Ray, kenapa harus pindah ke Jogja? Kan disini masih ada orang tuamu, dan ada aku juga.“ ucapku memecahkan keheningan. Ingin rasanya aku berteriak agar Raya tetap disini. Namun, berapa kali pun aku memohon tetap saja tidak akan merubah keputusan Raya untuk tidak pergi ke Jogja.
“Jogja itu kan dekat dan kamu bisa pergi ke Jogja kapan saja kamu mau. Nanti kalau kamu pergi ke Jogja aku akan menemanimu jalan-jalan, keliling cari buku di Shopping Center . Walaupun aku disana dan kamu disini, aku tetap akan menemani kamu di sela-sela aktivitasku nanti. Meski lewat pesan singkat atau telefon.“
Kata-kata Raya semakin membiusku dalam kegelisahan hingga aku bingung kan berkata apa lagi agar Raya tetap disini. Raya akan pergi, meningggalkan aku dan kota kecil ini dan tentunya kepergiannya meninggalkan banyak kenangan. Rasa sayang kini  akan terpisahkan oleh jarak beratus-ratus kilometer jauhnya.
“Tapi Ray, itu tidak akan bisa mengobati perasaanku saat aku rindu sama kamu. Kamu jangan pergi, disini saja!“ pintaku sedikit merayu pada Raya.
“Tidak ada dua tahun, kamu akan lulus SMA. Seperti yang sering kamu ceritakan padaku tentang mimpimu. Kamu masih ingin kuliah di Universitas Negeri Jogja kan? Kamu semangat, aku menantimu di Jogja nanti.“
“Ray, semuanya pasti akan berubah. Aku akan kesepian nanti. Gak ada lagi yang nemenin aku WIFIan di alun-alun, lama di toko buku cari buku yang asyik dibaca, jalan-jalan gak jelas kalau aku lagi suntuk di rumah. Sepi Ray nanti, sepi! Aku disini sendiri dan kamu disana. Aku gak tau kamu disana ngapain dan sama siapa. Aku benci keputusanmu Ray, BENCI!“ ucapku dengan nada berontak disertai buliran airmata yang jatuh membasahi pipiku. Aku tak peduli dengan puluhan pasang mata yang tengah memandangiku. Yang kurasakan sekarang hanyalah marah, kesal karna aku berada pada keadaan yang sangat tidak nyaman.
Aku berdiri dari dudukku, dan pergi melangkahkan kakiku meninggalkan pinggir bendungan itu menuju motor Honda 125 merah yang diparkir tak jauh dari tempatku duduk, motor yang selama ini setia menemaniku dan Raya menyusuri setiap sudut kota kecil ini.
Raya juga beranjak pergi meninggalkan pinggir bendungan itu dan berlari kecil untuk mengikuti langkahku. Tanpa banyak kata Raya segera mengemudikan motornya mengajakku pergi meninggalkan bendungan. Walaupun ada banyak pasang mata yang memandang kami dengan tatapan keheranan aku tetap tak peduli.
Aku hanya ingin segera pulang dan mengunci diriku dalam kamar. Membenamkan wajahku yang penuh airmata dengan bantal. Karna itu yang bisa membuatku tenang, setidaknya untuk saat ini. Pikirku.
“Antarkan aku pulang!“ kataku dalam perjalanan pulang.
Perjalanan yang kulalui terasa lebih lama dari biasanya. Langit berganti warna dan sebentar lagi matahari di timur cakrawala  semakin tenggelam dalam peraduannya.
“Temani aku dulu sebelum aku mengantarmu pulang.“ Jawab Raya
“Aku ingin cepat pulang. Pokok’e muleh yo muleh. Titik!“ Dan buliran airmata ini turun kian derasnya karena tak rela Raya pergi ke Jogja. Atau mungkin hatiku rela tapi masih belum siap. Karena ini terlalu mendadak. Sebenarnya ada apa dengan Raya. Berbagai perasaan dan pertanyaan berkecamuk dalam benakku.
Aku tahu jika Raya tidak akan meninggalkan aku sepenuhnya. Hati kita akan tetap dekat, walaupun raga kita akan jauh jaraknya. Tapi aku merasa tetap akan ada yang hilang dalam hidupku nantinya.
Senja sudah hilang, mulai muncul rembulan yang tengah purnama walau sinarnya masih terlihat samar-samar di balik awan.  Raya mengajakku berhenti di sebuah tempat. Tempat itu adalah wisata malam yang sedang digelar di halaman terminal lama kotaku. Raya berhenti dan memakirkan motornya di parkiran sendangkan aku menunggu dia di pintu masuk pasar malam. Selesai memarkir motornya dia menghampiriku lalu menggandeng tanganku masuk ke pasar malam.  Kita berjalan-jalan melewati penjaja pernak-pernik wanita, baju-baju, peralatan rumah tangga, permainan anak, bakul gorengan, dll.
“Kamu tunggu disini sebentar ya!“ ucap Raya dan melepas gandengan tangannya yang membuatku tersentak dari dunia lamunanku. Belum sempat aku menjawab tapi Raya sudah ngeloyor pergi begitu saja.
Kupandangi sekelilingku, indah sekali. Berjejer wahana bermain anak-anak, dengan disoroti bohlam lampu aneka warna yang akan membuat pengunjung tertarik untuk menaikinya. Gelak tawa dari gerombolan remaja putri yang kuprediksi masih usia SMP menggema dalam telingaku. Rengekan balita ketika memaksa ibunya agar bisa menaiki komedi putar membuatku tersenyum sendiri.
Anak kecil itu mengingatkanku pada tangisku tadi. Anak itu memang sama menangisnya sepertiku. Tapi dia menangis pada ibunya yang sudah pasti ibunya akan menuruti si anak untuk naik komedi putar. Tangis yang nyelengking suaranya itu akan berganti dengan tawa mengembang nantinya.
Ya, anak itu telah mengingatkan pada tangisku tadi, menyadarkan aku pada suatu hal. Tangis anak itu begitu polos, karena dia belum merasakan ketika perjalanan hidup dihadang dalam sebuah permasalahan. Dihadapkan dalam sebuah kenyataan dan pilihan. Tapi aku adalah gadis yang sudah tumbuh berkembang dalam masa remaja dan sebentar lagi umurku beranjak 17 tahun yang dimana umur itu menjadi sebuah peralihan dari kanak-kanak menjadi dewasa. Tapi apa aku sanggup? Apa aku siap?
Permasalahan asmara kerap kali mengguncang hatiku, memancing emosiku yang labil ini. Tapi menurutku itu hal yang wajar. Karena memang inilah karakter wanita, emosional. Jika banyak orang berkata bahwa laki-laki cederung menggunaan pikiran jika mengambil keputusan dan wanita menggunakan hati jika mengambil keputursan, aku membenarkan pernyataan tersebut.
Memang asmara lebih sering memberikan badai daripada pelangi. Tapi tak bisa dipungkiri jika aku belajar menjadi dewasa karna dunia asmara. Dan dari dunia itu aku belajar mengendalikan emosi dan perasaan. Terlebih saat aku bersama Raya. Renungku dalam hati.
“Maaf menunggu lama, ayo naik bianglala. Ini tiketnya.“ ucap Raya sembari menggandeng tanganku lagi.
Raya mengajakku menaiki wahana yang tinggi itu. Operator wahana bianglala membukakan pintu bianglala yang bernomer sembilan. Bianglala bernomor sembilan ini dicat warna merah, dengan pola garis-garis warna-warni. Walaupun ruang dalam keranjang bianglala hanya berukuran satu meter kali satu meter namun cukup membuat kami leluasa bergerak.
Aku dan Raya duduk berhadapan. Sampai di titik paling tinggi belum ada pembicaraan diantara kami. Karna aku dan Raya sibuk memandangi pasar malam ini dari bianglala yang tengah berputar pelan. Sinar lampu bohlam yang beraneka warna memberikan kesan eksotis dan romantis. Gaungan lagu yang diputar oleh pihak operator bianglala menambah ramai suasana. Ada juga teriakan penjaja perau ethek sekaligus suara perau ethek yang digerakkan yang makin jarang kutemui, suara mesin arum manis yang terus berputar. Suara wahana tongedan yang memacu adrenalin penonton dan suara rumah hantu yang memang dibuat-buat tapi tetap saja membuat orang yang mendengarnya merasa merinding, sengaja mendengar atau tidak akan sama saja. Serta tercium pula bau kemenyan yang dibakar dari rumah hantu itu.
Suasana ini membuatku tenang dan aku sedikit terhibur. Walaupun dinginnya angin malam mulai merasuk dalam tulangku.
“ Kok diam aja sih, oh ya, ini aku bawakan es cream. Dimakan ya! Tenang aja, tadi aku juga udah Rayar tiga kali harga tiket agar kita bisa lama-lama berputar menikmati malam ini dan melamun disini.“ kata Raya sambil membuka bungkus es cream cornetto lalu menyerahkannya padaku.
Yo, makasih!“ jawabku singkat. Karna aku memang sedang malas untuk berbicara dengannya saat ini.
Raya membiarkanku melumat habis es cream itu. Dan dia kembali pada posisi awal. Melamun. Memandangi wisata malam kotaku dengan pikiran yang jauh melayang dalam angan.
Usai es crem yang kulumat habis Raya kembali mengajakku berbicara “La, aku tetap akan berangkat ke Jogja. Jam sebelas malam aku akan berangkat, naik travel yang sudah kupesan tiga hari lalu. Dan itu berarti empat jam lagi. Ada waktu 3 jam buat kita untuk menghabiskan malam ini bersama. Kamu mau apa? Mau kemana? Akan kutemani.“
Aku tersentak dengan ucapan Raya, aku tak menyangka lagi jika Raya akan pergi sekarang, empat jam lagi dan malam ini. Ini telalu mendadak bagiku. Aku sungguh tak siap dengan keputusan Raya.
Kok meneng wae, ndang dijawab to!“
“Ray, aku gak tau harus ngomong apa lagi. Dan percuma saja aku menjelasakan panjang lebar lalu merengek rengek hingga akhirnya nangis. Karna tetap saja kamu akan pergi. Aku ingin cepat pulang dan membiarkan kamu pergi. Karna  jika aku masih terus bersamamu maka akan semakin banyak kenangan yang akan terkenang dalam memori otakku. Dan itu malah akan membuat hatiku semakin sakit.“ kataku
“Dari dulu kan aku sudah pernah cerita sama kamu, jika aku ingin pergi ke Jogja. Hidup mandiri disana. Aku ingin kuliah dan nyambi kerja disana. Dan sekarang waktunya. Sebelum aku mendaftar kuliah disana aku ingin cari kerja dulu. Kamu tau kan, biaya hidup di Jogja tidak murah. Dan kuliah pun perlu banyak dana untuk beli dan bayar semua tetek bengeknya.“ jelas Raya
“Aku gak ingin kamu pergi secepat ini. Satu setengah tahun lalu semenjak kamu janji bakal ada buat aku dan terus menjaga serta menyayangiku, hidupku terasa lebih indah. Kamu bukan hanya kekasih. Melainkan kakak, kawan dan sahabat. Aku menganggapmu lebih dari sekedar seorang kekasih Ray. Kamu baik sama aku, bahkan terlalu baik.“, kataku.
Sebuluir airmata mulai turun lagi membasahi pipiku. Otakku berputar kembali ke masa lalu. Masa saat aku dan Raya pertama bertemu, berkenalan, dan menghabiskan waktu. Umurku dan umur Raya terpaut tiga tahun empat bulan. Raya itu sosok yang mampu membuatku mengerti artinya perjalanan hidup yang sejatinya hanya numpang minum. Aku menyukai Raya dari segala hal. Tentang kecintaanya pada dunia olahraga, kecintaan dia pada Tuhan semesta alam, kecintaan dia pada orang tuanya, kecintaan dia pada dunia sekolahnya, dan cinta dia buat aku tentunya.
Karena seseorang yang spesial menurutku bukan hanya sebagai seorang kekasih, tapi kekasih bisa jadi penyemangat dan motivator bagiku ketika orang tua sibuk dengan urusannya.
            “Ingat La, bukan jarak yang jadi masalah untuk bisa bersama. Tapi rasa ego yang gak bisa dikendalikan yang akan jadi masalah.“ jawab Raya dengan pelan.
            Aku mengerti maksud Raya. Ego. Ya, karna aku termasuk seseorang yang belum bisa berpikir dewasa. Walaupun Raya sedikit banyak sudah membimbingku dalam setiap permasalahan yang aku hadapi tetap saja untuk jadi dewasa itu butuh proses. Dan aku ingin dewasa dalam arti sesungguhnya. Sikap, pikiran dan perkataan! Bukan dewasa kebanyakan remaja sekarang yang lebih terlihat dewasa dari segi penampilan berpakaian dan sikap yang menyimpang.
“Maaf Ray kalau aku cengeng dan gak bisa mengerti keadaan. Aku selalu menuntut kamu selalu ada buat aku. Padahal kamu punya masa depan yang harus kamu raih. “
            “Awalnya orang tuaku juga sepertimu, gak rela kalau aku pergi. Aku pengen jadi diri aku sendiri. Hidup mandiri dan tidak bergantung pada orang tua. Walaupun sebenarnya apa yang dimiliki orang tuaku lebih dari cukup untuk membiayai kuliahku. Aku ingin mencoba hal yang baru. Karena belum tentu apa yang dimiliki oleh orang tuaku bisa aku kelola dengan baik nanti.“
“Ya Ray, aku paham walau sebenarnya aku  masih tidak ikhlas kamu pergi nanti karna ini terlalu mendadak. Kamu disana jangan main mata ya! Bolehnya main otak! Biar pinter dan cepet pulang. Hehe “ godaku dalam kepilua hai ini.
“Aku janji bakal sungguh-sungguh disana. Jangan lupa buat kamu, bangun di dua pertiga malam. Selipkan doa untukku dalam sujudmu! Di Jogja nanti aku bakal belikan kamu buku-buku yang kamu cari, kalo di Bojonegoro gak ada di Jogja pasti ada. Lagian kan harga-harganya juga lebih mirig, hehehe… Ntar aku paketkan ke Bojonegoro, dan tiap malam minggu buku-buku itu yang jadi pengganti aku. Buku itu yang nemenin kamu selama aku gak bisa ngajak kamu jalan-jalan lagi seperti sebelumnya. Biar kamu juga gak kluyuran tapi di rumah belajar. Kamu yang sabar dan semangat sekolah pokoknya“ Ucapan Raya seperti angin sore yang membuatku nyaman untuk terus merasakannya. Semriwing. Seperti itulah Raya, perkatannya mampu membuatku jadi lebih baik lagi. Karna dia terus menasihatiku dengan caranya, dengan hati dan cinta.
“Iya aku janji, kalaupun aku tidak bangun pasti kamu ngobrak’i aku lewat telfon! Ya kan.“
“Ya sudah, kamu jangan sedih lagi ya, habis ini aku antar kamu pulang sekalian aku pamit sama orang tuamu.“
Pembicaraan dari hati itu terakhiri sudah tepat ketika operator bianglala membukakan pintu bianglala yang kami gunakan. Raya menggandengku keluar menuju parkiran motor. Dan sepanjang perjalanan pulang airmata ini sudah tergantikan dengan senyum yang sesekali mengembang dalam bibirku. Karna aku sudah bertekad dalam hati, akan  menjadi diri aku sendiri. Menjadi sesorang yang dapat dipercaya untuk bisa terus dicinta. Kepergianmu nanti akan menjadi penyemangat buatku untuk bisa menyusulmu di Jogja. Karna aku juga ingin merajut mimpiku untuk bisa belajar di Jogja.
Dan angin malam semakin menusuk kulitku ketika kami melewati hamparan sawah sepanjang jalan menuju rumah. Suasana yang sangat indah sekali. Rembulan yang bulat ini begitu pedenya menerangi malam ini. Diatas kami, bintang bertebaran seperti permaisuri. Permaisuri bulan tentunya. Dan dia, semakin pede juga menggenggam tanganku. Aku membiarkan Raya mengenggam tanganku karna aku pasti merindukan genggaman Raya yang akan terjadi entah kapan lagi …


Tidak ada komentar: