Sabtu, 02 Maret 2013

Review Usai Menyaksikan Film Hasduk Berpola

 
NB : baca sampai part 3, maka kau akan tahu alurnya lebih jelas.
Tulisan part 1 merupakan tulisan yang menceritakan kesan saya usai menyaksikan film Hasduk Berpola. Semoga menarik perhatian kalian untuk melihat filmnya ya ..

HASDUK BERPOLA : Part 1 (review film)
 Kesan Usai Menonton Film Hasduk Berpola
Hasduk Berpola, Menggetarkan Jiwa Nasionalisme Kita”
Oleh : Yeni Ayu Wulandari siswi SMAN 2 Bojonegoro

                        Tersentuh dan menjadi sadar akan tanggung jawab sebagai warga negara Indonesia yang berkewajiban untuk menjunjung semangat nasionalisme setelah melihat film Hasduk Berpola. Adegan yang diperankan oleh Bangkit Prasetyo benar-benar bisa membuat hati saya tercengang. Bangkit Prasetyo yang memerankan tokoh Budi dalam film Hasduk Berpola benar-benar menghayati perannya. Walapun pada saat proses syuting dulu harus mengulang berkali-kali. Tak bisa dipungkiri jika film Hasduk Berpola bukanlah film yang berembel-embel MATOH. Melainkan benar-benar MATOH.          
                        Film Hasduk Berpola banyak memberikan pesan moral yang tersirat bagi yang menyaksikannya. Pesan moral tersebut sebenarnya memiliki satu tujuan, yaitu membangkitkan lagi gairah semangat nasionalisme. Banyak hal yang dapat dicontoh dari cerita di film Hasduk Berpola, seperti kegigihan Budi dalam mengikuti kegiatan pramuka, semangatnya mencari uang untuk membeli hasduk, pilihan yang dilakukan Budi untuk menyaingi Kemal dengan pilihan yang baik yaitu bukan tindakan anarkis melainkan mengikuti ekstra pramuka, dll.
            Saya sampai meneteskan air mata di ending film tersebut karena endingnya benar-benar menggetarkan batin saya. Saya menjadi malu, karena saya sendiri juga merasakan bahwa semangat nasionalisme yang ada dalam diri saya secara perlahan-lahan mengalami kemunduran. Bisa dicontohkan ketika pada saat upacara bendera berlangsung setiap hari senin, pembina upacara akan membacakan pancasila dan harus diikuti semua peserta upacara, namun terkadang saya tak ikut membaca, malah berbicara dengan teman atau diam.
Hal ini tentu saja tidak terjadi pada diri saya saja, saya yakin pelajar di era modernisasi sekarang ini juga banyak melakukan hal tersebut. Bahkan lagu Indonesia Raya atau lagu-lagu nasionalisme lainnya saja kadang lupa liriknya.
Miris melihat kenyataan tersebut, padahal saya sebagai generasi muda wajib memiliki rasa nasionalisme yang kuat, wajib memiliki cinta kasih terhadap bangsa dan negara, wajib menghargai jerih payah para pahlawan-pahlawan yang telah gugur di medan perang.
Oleh karena itu saya merekomendasikan untuk semua kalangan khususnya pelajar agar menyaksikan film Hasduk Berpola 21 Maret mendatang di bioskop kesayangan anda. Film Hasduk berpola tayang selama 100 menit. Film Hasduk berpola tak hanya diperankan oleh anak-anak Bojonegoro yang notabenenya baru memasuki dunia perfilman, melainkan juga diperankan oleh beberapa bintang ternama seperti Alisia Rininta, Meitha Thamrin, Petra Sihombing, Calvin Jeremy, Fay Nabila, Iga Mawarni, Idris Sardi dan Ranti Purnamasari.
Menyaksikan film Hasduk Berpola berarti menyaksikan keindahan kota Bojonegoro. Saya sangat bangga, karena di kota saya ini digunakan latar film layar lebar nasional. Sekarang, ketika ada orang menanyakan dimana sih Bojonegoro itu? Maka kami seluruh pelajar Bojonegoro akan bisa menjawab dengan bangga. Lihatlah film Hasduk Berpola, maka kau akan tahu keindahan kotaku tercinta.
Saya takjub dengan proses pengambilan gambar film Hasduk Berpola. Karena siluet senja dan kehidupan masyarakat di Waduk pacal bisa terbadikan dengan indah dalam cerita Hasduk Berpola. Tak hanya itu, Harris Nizam juga menggunakan Bumi perkemahan di Desa Klino (Lereng Gunung Pandan atau Pegunungan Kendheng) yang jaraknya jauh dari kota dan untuk menuju tempat tersebut jalannya cukup sempit dan berbahaya, ada pula Khayangan Apia tau api abadi yang merupakan icon kota Bojonegoro, Alun-alun kota Bojonegoro, kehidupan pekerja pengeboran minyak di Wonocolo yang mengambil minyak mentah dari perut bumi dengan cara tradisional, kehidupan masyarakat di pinggiran Bengawan Solo, dll.
Saya pernah pergi ke Klino, melewati Bumi Perkemahan atau hutan yang digunakan untuk kegiatan persami dalam film Hasduk Berpola, orang Bojonegoro mengatakan bahwa tempat tersebut adalah Atas Angin akrena di tempat etrsebu dapat melihat bentang alam pegunungan Kendheng. Bahkan saya pernah mengalami kecelakaan disitu beberapa minggu lalu. Sungguh, Harris Nizam merupakan sutradara yang ‘jos’ tenan, rela menjelajah sampai pelosok terpencil demi mendapatakan film yang memikat.
Film Hasduk Berpola bukan sekedar film nasionalisme yang menceritakan kehidupan Masnun (kakek Budi) yang merupakan pensiunan veteran dan saksi bisu perobekan bendera di Hotel Majapahit atau dulunya Hotel Yamato Surabaya. Bisa dikatakan film Hasduk Berpola merupakan film yang menceritakan budaya Bojonegoro. Jadi bagi kalian yang menyaksikan film Hasduk Berpola dan bukanlah masyarakat Bojonegoro, kalian bisa mengetahui budaya Bojonegoro dari film tersebut. Budaya yang saya maksud meliputi bahasa dan logat bicara tokoh, kehidupan masyarakat Bojonegoro di pengeboran minyak, di pinggiran bengawan solo, di waduk pacal, dll.
Hasduk Berpola akan menggetrakan jiwa kalian untuk lebih memiliki jiwa nasionalisme. Karena melihat film ini akan membuat diri kita malu sendiri. Bagaimana tidak?
Seperti yang dilakukan oleh Budi yang disekolah punya saingan berama Kemal, untuk menyaingi Kemal Budi mengikuti pramuka agar mampu mengungguli Kemal. Hal ini merupakan sikap positif yang patut ditiru, karena kebanyakan anak zaman sekarang lebih sering melakukan persaingan dengan tindakan anarkis atau perbuatan tercela.
Selain itu betapa menggeloranya semangat Budi untuk mengikuti Jambore di Surabaya dan mengibarkan bendera merah putih di Hotel Majapahit demi memenuhi kewajiban kakeknya di dulu.
Menyaksikan film ini tidak akan membuat kita bosan, karena banyak adegan lucu didalamya. Tak hanya adegan lucu saja, adegan sedih disini kan benar-benar memikat siapa saja yang melihatnya karena benar-benar terasa natural dan menyentuh perasaan.


¥¥¥¥¥¥¥¥¥¥¥¥


Tulisan saya yang part 2 berupa surat. Dalam surat ini saya menuliskannya untuk Elang, sahabat saya yang tengah kuliah di Bandung. Elang hanyalah perumpamaan saja. Sesungguhnya surat ini saya tujukan untuk seluruh warga negara Indonesia. Khususnya masyarakat Bojonegoro. Dan utamanya untuk masyarakat Bojonegro yang tengah berada di luar Bojonegoro entah untuk bekerja, pindah atau menempuh pendidikan. Semoga dengan tulisan ini pembaca bisa lebih mudah memaknai keinginan saya. Saya ingin semua kalangan, khususnya pelajar menyaksikan film Hasduk Berpola. Karena menurut saya, menulis dengan gaya surat akan udah dipahami.


HASDUK BERPOLA : Part 2 (semacam surat)
Sepucuk Surat Untuk Elang
“Lang, Lihatlah Film Hasduk Berpola. Maka Kau Akan Semakin Cinta pada Pramuka, Bojonegoro, dan Terlebih Pada Indonesia.“
            Untuk : Seseorang yang tengah dirindukan oleh Senja.
                        Lang, apa kau sudah mendengar gembar-gembor dibuatnya film Hasduk berpola di kota minyak ini beberapa bulan lalu? Yang tak lain adalah kota kita sendiri, kota tempatmu dilahirkan. Lang, kau yang ada di Bandung haruslah melihat film ini di bioskop 21 Maret mendatang. Rugi jika kau tak melihatnya. Melihat film Hasduk Berpola mungkin bisa menuntaskan kerinduanmu pada Bojonegoro.
Lang, di film Hasduk Berpola 80% settingnya di ambil di Bojonegoro. Jum’at 1 Maret 2013 aku bersama ratusan pelajar SMA di Bojonegoro berkesempatan menyaksikan gala premiere film Hasduk Berpola di Gedung Angling Dharma Pendapa Malowopati. Aku merasa sangat bahagia, bersyukur sekali karena setidaknya aku bersama teman-teman bisa menyaksikan film Hasduk Berpola secara eksklusif. Bagaimana tidak? Disana aku dapat bertemu dengan pemain utama, sutradara dan penulis naskah Film Hasduk Berpola. Bahkan aku, Alin, Olivia dan Elisma sempat mewawancarai sang sutradara dan sang penulis naskah.
Lang, sutradara Film Hasduk Berpola namanya Harris Nizam. Pria yang berpawakan tinggi itu sepertinya keturunan Arab. Kau bisa melihatnya sendiri, carilah di Google dan ketik nama Harris Nizam yang juga merupakan sutradara dari film Surat Kecil Untuk Tuhan.
Dan penulis naskah Film Hasduk Berpola tak lain adalah putra daerah sendiri. Beliau bernama Bagas Dwi Bawono yang 40 tahun lalu lahir di Kelurahan Kadipaten. Sekarang ini beliau menetap di Jakarta dan sehari-hari bekerja sebagai arsitek atau kontraktor. Lang, dulu Pak Bagas bersekolah di SDN Kadipaten 2 lalu di SMP 1 Bojonegoro selanjutnya belajar di SMAN 1 Bojonegoro. Lang, Pak Bagas menyukai dunia sastra. Semasa SMA Pak Bagas menjadi Pimpinan Redaksi (baca: pimred) majalah Ganesha.
Lang, Pak Bagas tak hanya menulis naskah film Hasduk Berpola saja. Melainkan sudah banyak karya beliau seperti cerpen dan puisi yang sudah ditulisnya. Dan sampai saat ini beliau berujar bahwa sudah ada 1000 karyanya yang terdiri dari puisi dan cerpen. Bahkan, tahun ini beliau tengah menyelesaikan dua naskah film lagi yang bertemakan nasionalisme dan saspen.
Lang, niatan Pak Bagas menulis cerita Film Hasduk Berpola bukanlah untuk komersil semata. Melainkan untuk tujuan sosial. Hati beliau sungguh mulia, beliau sangat mempedulikan nasib generasi masa depan. Kau tahu kan jika negara kita ini adalah ladang korupsi. Tempat dimana para orang-orang yang kunamai para koruptor tengah  menjalankan aksinya dengan leluasa, meraup uang negara untuk keuntungan pribadi. Mereka lah penjahat yang patut kita benci, para penjahat yang bersliweran dengan menggunakan mobil-mobil mewah, para penjahat yang dapat berplesiran mengelilingi dunia, para penjahat yang mendiami rumah-rumah elite dan para penjahat yang setiap hari mendapatkan asupan gizi dari restoran mewah. Bukan para penjahat yang tinggal di rumah-rumah sempit yang melakukan kejahatan untuk menyambung hidup, untuk menghidupi keluarga atau untuk membuat dapur si istri agar tetap bisa mengepul. Bukan Lang, kau paham kan? Dimana-mana selalu tersiar kasus korupsi atau KKN, baik di media massa, radio, dunia maya atau televisi.
Lang, sungguh miris kenyataan ini kalau para koruptor dibiarkan berkeliaran di lingkungan tempat kita tumbuh. Oleh karena itu dibuatnya film ini bertujuan untuk mengajak anak-anak Indonesia mencintai bendera, negeri dan para pahlawannya. Karena anak-anak yang mencintai negeri tidak akan tega melakukan korupsi.
Film Hasduk berpola patut diacungi jempol. Seperti slogan kota kita, Bojonegoro MATOH, film ini memang benar-benar MATOH. Masyarakat Bojonegoro sendiri khususnya kalangan pelajar sangat apresiasif dengan film ini. Usai menyaksikan film ini, beranda twitter dan facebookku penuh dengan twit dan update status tentang film Hasduk Berpola. Bahkan Kang Yoto pun turut memberikan apresiasi terhadap film tersebut. Hal ini kuketahui setelah membaca Berita Utama Radar Bojonegoro Minggu Pagi. Kang Yoto secara pribadi mengungkapkan kebanggaannya karena di Bojonegoro ada film sehebat ini dan anak-anak Bojonegoro mampu menjadi bintang film yang luar biasa.
Memang ya Lang, sudah sepatutnya kita sebagai masyarakat Bojonegoro juga harus turut mempromosikan film ini melalui jejaring sosial. Aku harap, kau juga mau mempromosikannya lewat akun facebook dan twittermu. Dan tentu saja di kalangan teman-temanmu kuliah, organisasi atau cangkruk.
Lang, pemeran utama Film Hasduk Berpola adalah anak Bojonegoro juga. Sekarang dia tengah bersekolah di SMPN 1 Bojonegoro, dulunya sekolah MIN Kepatihan. Lang, akan kuceritakan sedikit saja cerita Film Hasduk Berpola. Jangan marah ya, lebih baik kau lihat secara langsung di bioskop agar lebih puas. Eh menurutku kau WAJIB melihatnya. Harus Lang, dan anggap saja ketika sedang melihat film tersebut kau sedang berada di kota sendiri.
Bagini ceritanya :
Budi (12 thn) adalah seorang anak janda bernama Rahayu yang sehari-harinya bekerja sebagai penjual nasi rawon. Budi memiliki adik bernama Bening (10 thn). Budi, Bening dan Ibunya tinggal dirumah bersama Kakeknya yang bernama Masnun. Ayah Budi dan Bening sudah meninggal, dan kakeknya adalah seorang pensiunan veteran yang juga seorang pejuang yang menjadi saksi peristiwa perobekan bendera di Surabaya, tepatnya di Hotel Majapahit yang dulunya bernama Hotel Yamato.
. Kehidupan keluarga Masnun bersama anak dan cucunya sangat sederhana. Masnun tak mendapatkan pensiunan dari jasanya sebagai pahlawan di era kemerdekaan dulu, hingga akhirnya bekerja sebagai kuli angkat minyak di pengeboran minyak Wonocolo. Merasa tubuhnya sudah mulai ringkih, Masnun memututskan berhenti bekerja di Wonocolo dan memilih membuka usaha reparasi sepeda.
Budi yang masih SD mempunyai saingan yang bernama Kemal. Untuk mengalahkan Kemal, Budi mengikuti ekstrakulikuler Pramuka di sekolahnya. Dengan bekal niat untuk belajar Pramuka, Budi datang ke sekolah dengan pakaian pramuka saja. Tanpa menggunakan hasduk, topi, emblem, tali yang diikatkan di sabuk, dll.
Tentu saja untuk menjadi pramuka sejati haruslah mengenakan pakaian pramuka dengan atribut yang lengkap. Budi yang tak mempunyai uang untuk membeli atribut pramuka harus bersusah payah bekerja untuk membeli atribut-atribut tersebut. Usaha Budi membuat Bening iba, hingga akhirnya Bening membuatkan Budi hasduk dengan merobek sprei  Barbie warna merah marun kesayangannya. Dan dari gambar Barbie itulah disebut hasuk milik Budi disebut hasduk berpola.
Lang, begitulah ceritanya. Sedikit saja ya. Jika kau ingin tahu endingnya kau harus melihatnya di bioskop 21 Maret mendatang. Sinopsis yang kuceritakan tadi belum mencapai adegan klimaksnya. Yang jelas kau harus melihatnya. Balaslah suratku ini setelah kau melihat film Hasduk Berpola.
Lang, film Hasduk Berpola adalah film sederhana namun dibalik kesederhanaan film tersebut terdapat banyak pesan moral yang yang harus kita tiru. Semangat budi tentang cintanya terhadap pramuka dan cintanya terhadap Indonesia. Lang, semangat nasionalisme Budi sangatlah menggelora, padahal usianya masih 12 tahun. Otomatis kita yang sudah dewasa ini haruslah meniru semangat Budi, karena terkadang kita saja masih ogah-ogahan aktif di dunia pramuka, bahkan sila Pancasila dan Lagu Indonesia Raya saja kita lupa kalimatnya. Lang, miris jika sebagai generasi bangsa tapi lupa pada Indonesia, lupa pada kewajiban kita yang harus menjunjung tinggi semangat nasionalisme. Ya, kita sebagai generasi emas masa depan harus meniru semangat Budi. Bukankah begitu? Setuju kan kamu?
                                                                                                 
Bojonegoro, 3 Maret 2013 (15.32)                                                                                          
           Senja


¥¥¥¥¥¥¥¥¥


Tulisan Part 3 merupakan berita yang saya tulis usai mewawancarai penulis naskah Film Hasduk Berpola. Tulisan ini untuk menguatkan pembaca bahwa sang penulis melalui film ini sangat mengharapkan semangat nasionalisme masyarakat semakin meningkat. Masyarakat bisa meniru sisi baik atau semangat Budi sebagai pemeran utama.


HASDUK BERPOLA : Part 3 (semacam berita)
 Ulasan Wawancara Dengan Penulis Naskah
Hasduk Berpola, Berawal Dari Kelalaian Menyanyikan Lagu Nasional di Sidang Paripurna 3 Tahun Silam”

                        Bertemu dengan penulis naskah dan sutradara dari film Hasduk Berpola merupakan  kebanggan tersendiri bagi saya. Namun masih ada kebanggan bagi kalian semua (baca: masyarakat Bojonegoro) karena syuting film Hasduk berpola 80% dilakukan di Bojonegoro dan 20% di Surabaya. Penulis merupakan putra asli Bojonegoro yang berarti masih menjadi bagian dari Bojonegoro. Dan sang sutradara yang tak lain adalah Harris Nizam dalam member sambutan usai pemutaran film Hasduk Berpola Jum’at malam lalu juga telah menyatakan bahwa sudah merasa menjadi bagian dari keluarga besar kota Bojonegoro. Tentu saja kami sebagai masyarakat Bojonegoro menyambut baik pernyataan sang sutradara. Dan masih ada lagi kebanggaan bagi kita semua, pemain-pemain cilik yang memerankan tokoh Budi dkk adalah anak-anak Bojonegoro sendiri.
            Bojonegoro menjadi terangkat pamornya dengan adanya pembuatan film Hasduk Berpola di beberapa titik tempat di Bojonegoro. Sudah sepatutnya kita mengucapkan terimakasih untuk sang penulis naskah, yaitu Bapak Bagas Dwi Bawono. Berkat beliau kota kecil ini menjadi kota yang serasa hidup kembali, kota kecil ini menjadi terkenal se-Nusantara karena film ini tentu saja akan diputar serentak di bioskop-bioskop seluruh Indonesia pada 21 Maret mendatang.
            Ketika saya mewawancarai Pak Bagas D. Bawono di Gedung Angling Dharma usai menyaksikan pemutaran film Hasduk Berpola, saya bertanya mengenai proses kreatif penulisan naskah film ini, beliau bercerita bahwa cerita dari film ini awalnya adalah sebuah cerita pendek atau cerpen. Cerpen yang berjudul Hasduk Berpola ditulis oleh Bagas D. Bawono 3 tahun silam, cerpen Hasduk Berpola sendiri ditulis oleh beliau dikarenakan pada saat menghadiri sidang paripurna DPR pada 14 Agustus 2009 ketua DPR RI yaitu Bapak Agung Laksono lupa menyanyikan Lagu Indonesia Raya. Padahal sidang tersebut juga dihadiri oleh Bapak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kejadian tersebut membuat Pak Bagas D. Bawono geram. Oleh karena itu sebagai ungkapan kekesalannya ditulislah cerita pendek berjudul Hasduk Berpola yang sekarang ini berhasil diangkat menjadi film layar lebar. Pembuatan naskah atau scenario yang awalnya adalah sebuah cerpen digarap Pak Bagas dengan seorang novelis bernama Kirana Kejora. Pak Bagas D. Bawono juga berujar untuk menjadi naskah yang baik, naskah film Hasduk Berpola mengalami revisi  14 kali.
            Cerita Hasduk Berpola bisa sampai ke tangan sutradara Harris Nizam karena melalui perantara yaitu Ibu Era Soekamto yang seorang designer. Era Soekamto  merupakan teman Bagas D. Bawono dan Harris Nizam. Jadi, Era Soekamto lah yang menceritakan pada Harris Nizam bahwa dia (Era) mempunyai teman yaitu Bagas D. Bawono yang memiliki naskah film bertemakan nasional.
            Didampingi Bapak Kosnan Daka yang menjabat sebagai Asisten 1 DPRD Kabupaten Bojonegoro, Bagas D. Bawono menceritakan keresahannya akan keadaan Negara Indonesia yang semakin hari semakin suram. Suram disini maksudnya karena Indonesia perlahan-lahan menjadi negara yang masyarakatnya mulai kehilangan sikap nasionalismenya.
            Ketika saya bertanya mengapa Pak Bagas memilih Bojonegoro sebagai latar cerita, ada tiga alasan yang dikemukakan oleh beliau. Yang pertama karena Pak Bagas memang asli orang Bojonegoro dan menempuh pendidikan dari TK-SMA di Bojonegoro. Alasan yang kedua, Bapak Suyoto selaku Bupati Bojonegoro bersedia memberi kemudahan dalam mengurus perijinan tempat dan Pak Yoto memberi dukungan penuh selama proses pembuatan film. Sedangkan alasan yang ketiga disebutkan oleh Pak Bagas bahwa beliau ingin Bojonegoro dikenal di Indonesia sebagai kota yang indah dan penuh semangat.
            Pak Bagas juga bercerita bahwa tujuan utama penulisan naskah film ini untuk mengajak anak-anak Indonesia mencintai bendera, pahlawan dan negeri Indonesia tercinta. Karena menurut Pak Bagas, anak-anak yang mencintai negeri tidak akan tega melakukan korupsi.


2 komentar:

yogi suprayogo mengatakan...

Film hasduk berpola emang keren banget, aku yg asli tuban tp krg skolah di bjn ngerasa seneng banget, semangat nasionalisme nambah lg. Buat yg lain, wajib nonton dah pokoknya

Unknown mengatakan...

yaa,, makasiih ya :) yuk share ke yang lain :)