NB : baca sampai part 3, maka kau akan tahu alurnya lebih
jelas.
Tulisan part 1 merupakan tulisan yang menceritakan kesan
saya usai menyaksikan film Hasduk Berpola.
Semoga menarik perhatian kalian untuk melihat filmnya ya ..
HASDUK BERPOLA : Part 1
(review film)
Kesan Usai Menonton Film Hasduk Berpola
“ Hasduk Berpola, Menggetarkan Jiwa Nasionalisme Kita”
Oleh : Yeni Ayu Wulandari siswi SMAN
2 Bojonegoro
Tersentuh
dan menjadi sadar akan tanggung jawab sebagai warga negara Indonesia yang
berkewajiban untuk menjunjung semangat nasionalisme setelah melihat film Hasduk Berpola. Adegan yang diperankan oleh Bangkit
Prasetyo benar-benar bisa membuat hati saya tercengang. Bangkit Prasetyo yang
memerankan tokoh Budi dalam film Hasduk Berpola
benar-benar menghayati perannya. Walapun pada saat proses syuting dulu harus
mengulang berkali-kali. Tak bisa dipungkiri jika film Hasduk
Berpola bukanlah film yang berembel-embel MATOH. Melainkan benar-benar
MATOH.
Film
Hasduk Berpola banyak memberikan pesan moral
yang tersirat bagi yang menyaksikannya. Pesan moral tersebut sebenarnya
memiliki satu tujuan, yaitu membangkitkan lagi gairah semangat nasionalisme.
Banyak hal yang dapat dicontoh dari cerita di film Hasduk
Berpola, seperti kegigihan Budi dalam mengikuti kegiatan pramuka,
semangatnya mencari uang untuk membeli hasduk, pilihan yang dilakukan Budi
untuk menyaingi Kemal dengan pilihan yang baik yaitu bukan tindakan anarkis
melainkan mengikuti ekstra pramuka, dll.
Saya sampai
meneteskan air mata di ending film tersebut karena endingnya benar-benar
menggetarkan batin saya. Saya menjadi malu, karena saya sendiri juga merasakan
bahwa semangat nasionalisme yang ada dalam diri saya secara perlahan-lahan
mengalami kemunduran. Bisa dicontohkan ketika pada saat upacara bendera berlangsung
setiap hari senin, pembina upacara akan membacakan pancasila dan harus diikuti
semua peserta upacara, namun terkadang saya tak ikut membaca, malah berbicara
dengan teman atau diam.
Hal ini tentu saja tidak terjadi pada
diri saya saja, saya yakin pelajar di era modernisasi
sekarang ini juga banyak melakukan hal tersebut. Bahkan lagu Indonesia Raya
atau lagu-lagu nasionalisme lainnya saja kadang lupa liriknya.
Miris melihat kenyataan tersebut,
padahal saya sebagai generasi muda wajib memiliki rasa nasionalisme yang kuat,
wajib memiliki cinta kasih terhadap bangsa dan negara, wajib menghargai jerih
payah para pahlawan-pahlawan yang telah gugur di medan perang.
Oleh karena itu saya merekomendasikan
untuk semua kalangan khususnya pelajar agar menyaksikan film Hasduk Berpola 21 Maret mendatang di bioskop
kesayangan anda. Film Hasduk berpola tayang
selama 100 menit. Film Hasduk berpola tak hanya
diperankan oleh anak-anak Bojonegoro yang notabenenya baru memasuki dunia
perfilman, melainkan juga diperankan oleh beberapa bintang ternama seperti
Alisia Rininta, Meitha Thamrin, Petra Sihombing, Calvin Jeremy, Fay Nabila, Iga
Mawarni, Idris Sardi dan Ranti Purnamasari.
Menyaksikan film Hasduk Berpola berarti menyaksikan keindahan kota
Bojonegoro. Saya sangat bangga, karena di kota saya ini digunakan latar film
layar lebar nasional. Sekarang, ketika ada orang menanyakan dimana sih
Bojonegoro itu? Maka kami seluruh pelajar Bojonegoro akan bisa menjawab dengan
bangga. Lihatlah film Hasduk Berpola, maka kau
akan tahu keindahan kotaku tercinta.
Saya takjub dengan proses pengambilan
gambar film Hasduk Berpola. Karena siluet senja
dan kehidupan masyarakat di Waduk pacal bisa terbadikan dengan indah dalam
cerita Hasduk Berpola. Tak hanya itu, Harris
Nizam juga menggunakan Bumi perkemahan di Desa Klino (Lereng Gunung Pandan atau
Pegunungan Kendheng) yang jaraknya jauh dari kota dan untuk menuju tempat
tersebut jalannya cukup sempit dan berbahaya, ada pula Khayangan Apia tau api
abadi yang merupakan icon kota
Bojonegoro, Alun-alun kota Bojonegoro, kehidupan pekerja pengeboran minyak di
Wonocolo yang mengambil minyak mentah dari perut bumi dengan cara tradisional,
kehidupan masyarakat di pinggiran Bengawan Solo, dll.
Saya pernah pergi ke Klino, melewati
Bumi Perkemahan atau hutan yang digunakan untuk kegiatan persami dalam film Hasduk Berpola, orang Bojonegoro mengatakan bahwa tempat
tersebut adalah Atas Angin akrena di tempat etrsebu dapat melihat bentang alam
pegunungan Kendheng. Bahkan saya pernah mengalami kecelakaan disitu beberapa
minggu lalu. Sungguh, Harris Nizam merupakan sutradara yang ‘jos’ tenan, rela
menjelajah sampai pelosok terpencil demi mendapatakan film yang memikat.
Film Hasduk
Berpola bukan sekedar film nasionalisme yang menceritakan kehidupan
Masnun (kakek Budi) yang merupakan pensiunan veteran dan saksi bisu perobekan
bendera di Hotel Majapahit atau dulunya Hotel Yamato Surabaya. Bisa dikatakan
film Hasduk Berpola merupakan film yang
menceritakan budaya Bojonegoro. Jadi bagi kalian yang menyaksikan film Hasduk Berpola dan bukanlah masyarakat Bojonegoro,
kalian bisa mengetahui budaya Bojonegoro dari film tersebut. Budaya yang saya
maksud meliputi bahasa dan logat bicara tokoh, kehidupan masyarakat Bojonegoro
di pengeboran minyak, di pinggiran bengawan solo, di waduk pacal, dll.
Hasduk Berpola akan menggetrakan jiwa kalian untuk
lebih memiliki jiwa nasionalisme. Karena melihat film ini akan membuat diri
kita malu sendiri. Bagaimana tidak?
Seperti yang dilakukan oleh Budi yang
disekolah punya saingan berama Kemal, untuk menyaingi Kemal Budi mengikuti
pramuka agar mampu mengungguli Kemal. Hal ini merupakan sikap positif yang patut
ditiru, karena kebanyakan anak zaman sekarang lebih sering melakukan persaingan
dengan tindakan anarkis atau perbuatan tercela.
Selain itu betapa menggeloranya
semangat Budi untuk mengikuti Jambore di Surabaya dan mengibarkan bendera merah
putih di Hotel Majapahit demi memenuhi kewajiban kakeknya di dulu.
Menyaksikan film ini tidak akan
membuat kita bosan, karena banyak adegan lucu didalamya. Tak hanya adegan lucu
saja, adegan sedih disini kan benar-benar memikat siapa saja yang melihatnya
karena benar-benar terasa natural dan menyentuh perasaan.
¥¥¥¥¥¥¥¥¥¥¥¥
Tulisan saya yang part 2 berupa surat. Dalam surat ini saya
menuliskannya untuk Elang, sahabat saya yang tengah kuliah di Bandung. Elang
hanyalah perumpamaan saja. Sesungguhnya surat ini saya tujukan untuk seluruh
warga negara Indonesia. Khususnya masyarakat Bojonegoro. Dan utamanya untuk
masyarakat Bojonegro yang tengah berada di luar Bojonegoro entah untuk bekerja,
pindah atau menempuh pendidikan. Semoga dengan tulisan ini pembaca bisa lebih
mudah memaknai keinginan saya. Saya ingin semua kalangan, khususnya pelajar
menyaksikan film Hasduk Berpola. Karena menurut
saya, menulis dengan gaya surat akan udah dipahami.
HASDUK BERPOLA : Part 2 (semacam
surat)
Sepucuk Surat Untuk Elang
“Lang,
Lihatlah Film Hasduk Berpola. Maka Kau Akan Semakin
Cinta pada Pramuka, Bojonegoro, dan Terlebih Pada Indonesia.“
Untuk :
Seseorang yang tengah dirindukan oleh Senja.
Lang,
apa kau sudah mendengar gembar-gembor dibuatnya film Hasduk
berpola di kota minyak ini beberapa bulan lalu? Yang tak lain adalah
kota kita sendiri, kota tempatmu dilahirkan. Lang, kau yang ada di Bandung haruslah
melihat film ini di bioskop 21 Maret mendatang. Rugi jika kau tak melihatnya.
Melihat film Hasduk Berpola mungkin bisa
menuntaskan kerinduanmu pada Bojonegoro.
Lang, di film Hasduk Berpola 80% settingnya
di ambil di Bojonegoro. Jum’at 1 Maret 2013 aku bersama ratusan pelajar SMA di
Bojonegoro berkesempatan menyaksikan gala premiere film Hasduk Berpola di Gedung Angling Dharma Pendapa Malowopati. Aku
merasa sangat bahagia, bersyukur sekali karena setidaknya aku bersama
teman-teman bisa menyaksikan film Hasduk Berpola
secara eksklusif. Bagaimana tidak? Disana aku dapat bertemu dengan pemain
utama, sutradara dan penulis naskah Film Hasduk Berpola.
Bahkan aku, Alin, Olivia dan Elisma sempat mewawancarai sang sutradara dan sang
penulis naskah.
Lang, sutradara Film Hasduk Berpola namanya Harris Nizam. Pria yang
berpawakan tinggi itu sepertinya keturunan Arab. Kau bisa melihatnya sendiri,
carilah di Google dan ketik nama Harris Nizam yang juga merupakan sutradara
dari film Surat Kecil Untuk Tuhan.
Dan penulis naskah Film Hasduk Berpola tak lain adalah putra daerah sendiri.
Beliau bernama Bagas Dwi Bawono yang 40 tahun lalu lahir di Kelurahan
Kadipaten. Sekarang ini beliau menetap di Jakarta dan sehari-hari bekerja
sebagai arsitek atau kontraktor. Lang, dulu Pak Bagas bersekolah di SDN
Kadipaten 2 lalu di SMP 1 Bojonegoro selanjutnya belajar di SMAN 1 Bojonegoro.
Lang, Pak Bagas menyukai dunia sastra. Semasa SMA Pak Bagas menjadi Pimpinan
Redaksi (baca: pimred) majalah Ganesha.
Lang, Pak Bagas tak hanya menulis
naskah film Hasduk Berpola saja. Melainkan sudah
banyak karya beliau seperti cerpen dan puisi yang sudah ditulisnya. Dan sampai
saat ini beliau berujar bahwa sudah ada 1000 karyanya yang terdiri dari puisi
dan cerpen. Bahkan, tahun ini beliau tengah menyelesaikan dua naskah film lagi
yang bertemakan nasionalisme dan saspen.
Lang, niatan Pak Bagas menulis cerita
Film Hasduk Berpola bukanlah untuk komersil
semata. Melainkan untuk tujuan sosial. Hati beliau sungguh mulia, beliau sangat
mempedulikan nasib generasi masa depan. Kau tahu kan jika negara kita ini
adalah ladang korupsi. Tempat dimana para orang-orang yang kunamai para
koruptor tengah menjalankan aksinya
dengan leluasa, meraup uang negara untuk keuntungan pribadi. Mereka lah
penjahat yang patut kita benci, para penjahat yang bersliweran dengan
menggunakan mobil-mobil mewah, para penjahat yang dapat berplesiran
mengelilingi dunia, para penjahat yang mendiami rumah-rumah elite dan para penjahat yang setiap hari
mendapatkan asupan gizi dari restoran mewah. Bukan para penjahat yang tinggal
di rumah-rumah sempit yang melakukan kejahatan untuk menyambung hidup, untuk
menghidupi keluarga atau untuk membuat dapur si istri agar tetap bisa mengepul.
Bukan Lang, kau paham kan? Dimana-mana selalu tersiar kasus korupsi atau KKN,
baik di media massa, radio, dunia maya atau televisi.
Lang, sungguh miris kenyataan ini
kalau para koruptor dibiarkan berkeliaran di lingkungan tempat kita tumbuh.
Oleh karena itu dibuatnya film ini bertujuan untuk mengajak anak-anak Indonesia
mencintai bendera, negeri dan para pahlawannya. Karena anak-anak yang mencintai negeri tidak akan tega melakukan
korupsi.
Film Hasduk
berpola patut diacungi jempol. Seperti slogan kota kita, Bojonegoro
MATOH, film ini memang benar-benar MATOH. Masyarakat Bojonegoro sendiri
khususnya kalangan pelajar sangat apresiasif dengan film ini. Usai menyaksikan
film ini, beranda twitter dan facebookku penuh dengan twit dan update status
tentang film Hasduk Berpola. Bahkan Kang Yoto
pun turut memberikan apresiasi terhadap film tersebut. Hal ini kuketahui
setelah membaca Berita Utama Radar Bojonegoro Minggu Pagi. Kang Yoto secara
pribadi mengungkapkan kebanggaannya karena di Bojonegoro ada film sehebat ini
dan anak-anak Bojonegoro mampu menjadi bintang film yang luar biasa.
Memang ya Lang, sudah sepatutnya kita
sebagai masyarakat Bojonegoro juga harus turut mempromosikan film ini melalui
jejaring sosial. Aku harap, kau juga mau mempromosikannya lewat akun facebook
dan twittermu. Dan tentu saja di kalangan teman-temanmu kuliah, organisasi atau
cangkruk.
Lang, pemeran utama Film Hasduk Berpola adalah anak Bojonegoro juga. Sekarang
dia tengah bersekolah di SMPN 1 Bojonegoro, dulunya sekolah MIN Kepatihan.
Lang, akan kuceritakan sedikit saja cerita Film Hasduk
Berpola. Jangan marah ya, lebih baik kau lihat secara langsung di
bioskop agar lebih puas. Eh menurutku kau WAJIB melihatnya. Harus Lang, dan
anggap saja ketika sedang melihat film tersebut kau sedang berada di kota
sendiri.
Bagini ceritanya :
Budi (12 thn) adalah seorang anak
janda bernama Rahayu yang sehari-harinya bekerja sebagai penjual nasi rawon.
Budi memiliki adik bernama Bening (10 thn). Budi, Bening dan Ibunya tinggal
dirumah bersama Kakeknya yang bernama Masnun. Ayah Budi dan Bening sudah
meninggal, dan kakeknya adalah seorang pensiunan veteran yang juga seorang
pejuang yang menjadi saksi peristiwa perobekan bendera di Surabaya, tepatnya di
Hotel Majapahit yang dulunya bernama Hotel Yamato.
. Kehidupan keluarga Masnun bersama
anak dan cucunya sangat sederhana. Masnun tak mendapatkan pensiunan dari
jasanya sebagai pahlawan di era kemerdekaan dulu, hingga akhirnya bekerja
sebagai kuli angkat minyak di pengeboran minyak Wonocolo. Merasa tubuhnya sudah
mulai ringkih, Masnun memututskan berhenti bekerja di Wonocolo dan memilih
membuka usaha reparasi sepeda.
Budi yang masih SD mempunyai saingan
yang bernama Kemal. Untuk mengalahkan Kemal, Budi mengikuti ekstrakulikuler
Pramuka di sekolahnya. Dengan bekal niat untuk belajar Pramuka, Budi datang ke
sekolah dengan pakaian pramuka saja. Tanpa menggunakan hasduk, topi, emblem,
tali yang diikatkan di sabuk, dll.
Tentu saja untuk menjadi pramuka
sejati haruslah mengenakan pakaian pramuka dengan atribut yang lengkap. Budi yang
tak mempunyai uang untuk membeli atribut pramuka harus bersusah payah bekerja
untuk membeli atribut-atribut tersebut. Usaha Budi membuat Bening iba, hingga
akhirnya Bening membuatkan Budi hasduk dengan merobek sprei Barbie warna merah marun kesayangannya. Dan
dari gambar Barbie itulah disebut hasuk milik Budi disebut hasduk berpola.
Lang, begitulah ceritanya. Sedikit
saja ya. Jika kau ingin tahu endingnya kau harus melihatnya di bioskop 21 Maret
mendatang. Sinopsis yang kuceritakan tadi belum mencapai adegan klimaksnya.
Yang jelas kau harus melihatnya. Balaslah suratku ini setelah kau melihat film Hasduk Berpola.
Lang, film Hasduk
Berpola adalah film sederhana namun dibalik kesederhanaan film tersebut
terdapat banyak pesan moral yang yang harus kita tiru. Semangat budi tentang
cintanya terhadap pramuka dan cintanya terhadap Indonesia. Lang, semangat
nasionalisme Budi sangatlah menggelora, padahal usianya masih 12 tahun.
Otomatis kita yang sudah dewasa ini haruslah meniru semangat Budi, karena
terkadang kita saja masih ogah-ogahan aktif di dunia pramuka, bahkan sila
Pancasila dan Lagu Indonesia Raya saja kita lupa kalimatnya. Lang, miris jika
sebagai generasi bangsa tapi lupa pada Indonesia, lupa pada kewajiban kita yang
harus menjunjung tinggi semangat nasionalisme. Ya, kita sebagai generasi emas
masa depan harus meniru semangat Budi. Bukankah begitu? Setuju kan kamu?
Bojonegoro, 3 Maret 2013 (15.32)
Senja
¥¥¥¥¥¥¥¥¥
Tulisan Part 3 merupakan
berita yang saya tulis usai mewawancarai penulis naskah Film Hasduk Berpola.
Tulisan ini untuk menguatkan pembaca bahwa sang penulis melalui film ini sangat
mengharapkan semangat nasionalisme masyarakat semakin meningkat. Masyarakat
bisa meniru sisi baik atau semangat Budi sebagai pemeran utama.
HASDUK BERPOLA : Part 3
(semacam berita)
Ulasan Wawancara Dengan Penulis
Naskah
“ Hasduk Berpola, Berawal Dari Kelalaian Menyanyikan
Lagu Nasional di Sidang Paripurna 3 Tahun Silam”
Bertemu
dengan penulis naskah dan sutradara dari film Hasduk
Berpola merupakan kebanggan
tersendiri bagi saya. Namun masih ada kebanggan bagi kalian semua (baca: masyarakat
Bojonegoro) karena syuting film Hasduk berpola 80%
dilakukan di Bojonegoro dan 20% di Surabaya. Penulis merupakan putra asli
Bojonegoro yang berarti masih menjadi bagian dari Bojonegoro. Dan sang
sutradara yang tak lain adalah Harris Nizam dalam member sambutan usai
pemutaran film Hasduk Berpola Jum’at malam lalu juga telah menyatakan bahwa
sudah merasa menjadi bagian dari keluarga besar kota Bojonegoro. Tentu saja
kami sebagai masyarakat Bojonegoro menyambut baik pernyataan sang sutradara.
Dan masih ada lagi kebanggaan bagi kita semua, pemain-pemain cilik yang
memerankan tokoh Budi dkk adalah anak-anak Bojonegoro sendiri.
Bojonegoro
menjadi terangkat pamornya dengan adanya pembuatan film Hasduk Berpola di beberapa titik tempat di Bojonegoro. Sudah sepatutnya
kita mengucapkan terimakasih untuk sang penulis naskah, yaitu Bapak Bagas Dwi
Bawono. Berkat beliau kota kecil ini menjadi kota yang serasa hidup kembali,
kota kecil ini menjadi terkenal se-Nusantara karena film ini tentu saja akan
diputar serentak di bioskop-bioskop seluruh Indonesia pada 21 Maret mendatang.
Ketika saya
mewawancarai Pak Bagas D. Bawono di Gedung Angling Dharma usai menyaksikan
pemutaran film Hasduk Berpola, saya bertanya
mengenai proses kreatif penulisan naskah film ini, beliau bercerita bahwa
cerita dari film ini awalnya adalah sebuah cerita pendek atau cerpen. Cerpen
yang berjudul Hasduk Berpola ditulis oleh Bagas
D. Bawono 3 tahun silam, cerpen Hasduk Berpola
sendiri ditulis oleh beliau dikarenakan pada saat menghadiri sidang paripurna
DPR pada 14 Agustus 2009 ketua DPR RI yaitu Bapak Agung Laksono lupa
menyanyikan Lagu Indonesia Raya. Padahal sidang tersebut juga dihadiri oleh
Bapak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kejadian tersebut membuat Pak Bagas D.
Bawono geram. Oleh karena itu sebagai ungkapan kekesalannya ditulislah cerita
pendek berjudul Hasduk Berpola yang sekarang ini
berhasil diangkat menjadi film layar lebar. Pembuatan naskah atau scenario yang
awalnya adalah sebuah cerpen digarap Pak Bagas dengan seorang novelis bernama
Kirana Kejora. Pak Bagas D. Bawono juga berujar untuk menjadi naskah yang baik,
naskah film Hasduk Berpola mengalami revisi 14 kali.
Cerita Hasduk Berpola bisa sampai ke tangan sutradara Harris
Nizam karena melalui perantara yaitu Ibu Era Soekamto yang seorang designer.
Era Soekamto merupakan teman Bagas D.
Bawono dan Harris Nizam. Jadi, Era Soekamto lah yang menceritakan pada Harris
Nizam bahwa dia (Era) mempunyai teman yaitu Bagas D. Bawono yang memiliki naskah
film bertemakan nasional.
Didampingi
Bapak Kosnan Daka yang menjabat sebagai Asisten 1 DPRD Kabupaten Bojonegoro,
Bagas D. Bawono menceritakan keresahannya akan keadaan Negara Indonesia yang
semakin hari semakin suram. Suram disini maksudnya karena Indonesia
perlahan-lahan menjadi negara yang masyarakatnya mulai kehilangan sikap
nasionalismenya.
Ketika saya
bertanya mengapa Pak Bagas memilih Bojonegoro sebagai latar cerita, ada tiga
alasan yang dikemukakan oleh beliau. Yang pertama karena Pak Bagas memang asli
orang Bojonegoro dan menempuh pendidikan dari TK-SMA di Bojonegoro. Alasan yang
kedua, Bapak Suyoto selaku Bupati Bojonegoro bersedia memberi kemudahan dalam
mengurus perijinan tempat dan Pak Yoto memberi dukungan penuh selama proses
pembuatan film. Sedangkan alasan yang ketiga disebutkan oleh Pak Bagas bahwa
beliau ingin Bojonegoro dikenal di Indonesia sebagai kota yang indah dan penuh
semangat.
Pak Bagas
juga bercerita bahwa tujuan utama penulisan naskah film ini untuk mengajak
anak-anak Indonesia mencintai bendera, pahlawan dan negeri Indonesia tercinta.
Karena menurut Pak Bagas, anak-anak yang mencintai negeri tidak akan tega
melakukan korupsi.