Kamis, 10 Januari 2013

Cerpen ke-2



Potret Kenangan Bersama Senja

Senja tengah mematung di barat cakrawala. Arak-arakan awan mulai berganti warna, dari biru laut menjadi oranye kemerahan. Sinar keemasan dari barat cakrawala menyemburat ke seluruh arah mata angin. Serpihan kemilau emasnya menyilaukan mata bagi siapapun yang tengah menikmatinya.
Senja menjadi pertanda bahwa sang surya akan kembali ke peraduannya dan tak lama lagi akan tergantikan oleh rembulan. Dan kemudian turunlah Batara Kala. Sebelum batara kala turun, burung-burung berlalu lalang kembali ke sarangnya di rerimbunan dahan-dahan pohon.
 Jalan raya yang sejam lalu masih dilalui banyak kendaraan karena jamnya pekerja pulang kini melenggang. Sepi. Rasanya benar-benar senja yang indah. Karena suasana begitu memikat hati, menarik untuk kutulis agar menjadi sebuah cerita. Sungguh beruntung aku dapat menikmati senja bersama orang-orang yang kelak menjadi orang hebat, orang-orang yang kelak akan terukir namanya dalam deretan nama sastrawan Indonesia.
Senja kali ini membuatku tak ingin pulang. 18 bulan sudah aku belajar di salah satu sekolah menegah atas di kota minyak ini, jarang merasakan momen alam yang indah. Kecuali senja yang benar-benar memikat dan membuatku tergila-gila pada senja-senja selanjutnya. Berawal dari cerpen Seno Gumira Aji Dharma yang berjudul Sepotong Senja Untuk Pacarku, aku menjadi tergila-gila dengan senja. Di depan kelasku, Galaksi XI IPS 1. Tepatnya di pinggir rumah Illahi, aku dan lima teman seperjuanganku tengah berbagi cerita, berbagi rasa dan berbagi rencana.
Begitu indahnya senja kali ini hingga aku menyebutnya senja yang sakral. Dalam kesenjaan kali ini aku bermimpi. Ya, aku tengah bermimpi di kala senja. Kau tahu apa itu? Aku ingin menjadi seorang guru dan penulis. Dan sore ini ada orang yang berbaik hati akan bercerita padaku tentang seluk beluk profesi itu. Tentu saja bukan padaku saja, melainkan pada kelima temanku juga. Tapi diantara mereka akulah yang paling antusias menyimak cerita dari beliau.
Kuperkenalkan pada kalian, beliau tak lain adalah seorang guru. Guru Bahasa Indonesia yang amat mencintai dunai sastra. Sama sepertiku, aku ingin menjadi seperti beliau. Entah kenapa, aku sangat tertarik dengan profesi itu. Menjadi guru dan seorang penulis. Mungkin ambisi ini diturunkan dari buyut dan kakekku yang mencintai dunia pendidikan sehingga menjadi kepala sekolah dan guru.
Kusebut beliau sebagai inspirator. Tak lain karena beliau selalu memberikan inspirasi untuk kami, mengajariku dan teman-teman mencari dan memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan.
Sungguh bahagia tak terperi bagiku dan kelima temanku. Mungkin dari ratusan guru yang kukenal semenjak duduk di bangku TK, beliau lah yang kelak akan paling berkesan dalam benakku.
Bukan aku berlebihan membanggakan beliau, tapi fakta memang begitu. Jika kalian tak percaya, cobalah ikuti aku setiap hari jum’at sore. Berdendang kisah-kisah yang sebenarnya biasa namun dapat tersaji dengan luar biasa. Karna terbingkai indah dalam ruang keakrabaan, keharmonisan dan kekeluargaan.
Beruntungnya aku dan kelima temanku bertemu dengan beliau. Kau pernah merasakan indahnya belajar di kala senja, di sebuah tempat yang menurutmu nyaman untuk belajar?
Pasti pernah bagi kalian yang notabenenya mengikuti lembaga bimbingan belajar swasta di kota minyak ini. Ya, waktu les. Terkadang ketika aku tengah melintasi berbagai titik-titik tempat bimbingan swasta di kotaku yang menyediakan fasilitas membantu mencerdaskan pelajar dengan biaya yang tak sedikit pula, tersaji pemandangan yang amat menyenangkan sesungguhnya. Bagaimana tidak, banyak sepeda dan motor parkir berjejalan, pertanda disitu tengah berlangsung proses belajar ‘tambahan’.
Setiap kali melintas ada sedikit rasa iri terhadap mereka yang duduk di dalam ruangan berpendingin sambil menyimak dengan antusias pelajaran yang belum mereka pahami dengan jelas ketika di sekolah. Sedikit iri karena mereka tengah belajar dengan nyaman dengan fasilitas nyaman di kala senja. Sedangkan aku dan teman-temanku kerap kali melewatkan senja di teras musholla, di parkiran motor, di bawah rerindangan pohon angsono sekolah, di lapangan basket. Dan di mana saja yang menurut kami nyaman. Karena kami ingin merasakan sesuatu yang berbeda. Berbeda dengan metode belajar tambahan yang akan terkenang.
Dan kali ini aku dan kelima temanku seperti sehati, semacam ngerasani tentang keadaan tersebut. Ngerasani banyak hal dan saling terkait. Kau tau lah kami ini berstatus pelajar, tentu saja kami berbagi cerita ya tentang dunia sekolah.
Kembali lagi pada senja, aku dan kelima temanku yang memiliki cita-cita seluas cakrawala atau setinggi langit yang tak terhitung berapa luas dan tingginya. Kami memiliki mimpi hebat, setidaknya itu yang mampu memompa kami. Kami ingin merasakan rasanya belajar yang benar-benar belajar. Belajar dalam kamus hidupku adalah ketika aku mempelajari sesuatu, mencoba, dan menerapkannya dalam kehidupan. Begitulah makna belajar, karna tiada hari tanpa belajar. Tentu kalian tahu, sukses karna kita mau mencoba dan karna kita mau belajar.
Ketika duduk di bangku SMA ini aku sering belajar di kala senja. Terlebih urusan organisasi yang seabreg atau ekstra jurnalistik yang kerap kali mengantarkanku kembali ke rumah usai senja berlalu. Dan itu tandanya, aku masih belajar. Investasi masa depan dengan sebuah pengalaman.
Belajar di kala senja begitu berkesan dan sangat membahagiakan. Inspirator kami selalu saja mampu mengubah senja yang biasa menjadi tak biasa. Yang mampu menghapuskan penat yang bersarang di hati dengan berbagi cara dan cerita.
Rasanya waktu dua jam tak cukup bagi kami untuk belajar dengan inspirator kami. Seperti senja kali ini, waktu dua jam tak cukup bagiku untuk berbagi cerita dengan beliau. Terlebih ketika beliau bercerita padaku tentang profesi yang ingin kutekuni. Dan aku menyambutnya dengan senang hati, membuka lebar-lebar memori otakku dan mempertajam pendengaranku. Kuserap semua informasi yang kudapatkan dari beliau. Semakin memantapkan pilihanku saja untuk menjadi guru dan penulis.
Pernah ketika temanku bertanya “Pak, apa untungnya menjadi satrawan?”
Dan beliau menjawab “baca bukunya Pramoedya Ananta Toer, seperti yang pernah tak ceritakan. Pram itu seorang sastrawan yang sangat kritis tulisannya. Tulisan-tulisan Pram adalah cerita fiksi yang sebenarnya adalah kritikan untuk pemerintah. Jadi sastrawan itu pengkritik yang bebas dan kreatif. Bisa menyalurkan kritikannya dalam bentuk prosa yang memikat hati.”
Sering kami disodorkan buku-buku berat karya Umar Kayam, Pramoedya Ananta Toer, Agus Noor, Nh.Dini, Anne Frank, Susanna Tamaro, Ahmad Tohari, Y.W Mangunwijaya dan penulis terkenal lainnya. Awalnya kami wegah membaca buku-buku tersebut. Tapi lama kelamaan tak bisa dipungkiri jika kami tertarik dengan buku-buku tersebut.
Setidaknya ada yang bisa kami banggakan, seumuran kami sudah melalap habis buku-buku tersebut. Disamping teenlit dan komik yang masih menjadi antrean bacaan untuk dibaca.
Senja, senja dan senja. Kelak ketika aku lulus SMA aku pasti akan merindukan senja ini. Senja yang menjadi saksi bisu perjuanganku dan teman-teman untuk menjadi kuli tinta atau penulis atau pengarang. Terserah kalian emnganggap kami apa, yang jelas kami ingin sekali menggelti dunia literasi. Senja benar-benar memberi inspirasi, senja yang menciptakan keharmonisan.
Senja yang menjadi kenangan, walau senja kali ini tak terdokumentasikan dengan baik dalam bidikan lensa kamera, tapi senja kali ini akan terdokumentasikan dengan baik oleh ingatanku. Senja yang berbagi rasa, senja yang berbagi cerita, dan senja yang menjadi cerita.



Pria Perkasa yang Kupanggil Ayah



            Akan saya ceritakan pada kalian tentang sosok yang saya panggil Ayah. Sebelumnya perlu kalian ketahui bahwa semua identitas tentang beliau saya mendapatkannya dengan penuh pengorbanan. Bagaimana tidak? Demi mendapatkan informasi yang akurat tentang Ayah, saya harus mengacak-acak lemari Ibu untuk mencari dokumen mengenai beliau, termasuk ijasah sekolah, akta kelahiran, buku nikah, dll.
Mungkin ketika anda membaca paragraph pertama saya, anda berpikiran mengapa saya tidak bertanya langsung pada beliau. Terus terang saja, saya malu karena saya dan Ayah kurang dekat, bahkan kami sering cekcok. Ayah kerap memarahi saya tentang banyak kelalaian yang saya lakukan. Dan aneh saja ketika saya dengan tiba-tiba bertanya tentang identitas dan latar belakangnya, pasti Ayah akan memberondong saya dengan banyak pertanyaan dan saya pasti akan kebingungan menjawabnya, lagi pula saya malu jika harus bertanya-tanya. Namun kelak di suatu hari nanti, ketika saya sudah merasa mendapatkan momen yang pas untuk memberikan tulisan ini pada Ayah, pasti akan saya berikan. Hitung-hitung sebagai kejutan. Begitulah rencana saya.
Lalu, inilah data-data tentang Ayah yang saya dapatkan dari hasil mencuri-curi informasi dari dokumen yang ada di lemari Ibu.
43 Tahun lalu, disebuah rumah yang dikelilingi oleh rimbunnya pohon bamboo di Desa Kedaton Kecamatan Kapas Kabupaten Bojonegoro tepatnya pada 26 Januari 1969, nenek saya Almarhumah Erna Elisabeth melahirkan anak ketiganya yang diberi nama Joni Wuliyanto.
Ya, dialah Ayah saya. Sosok pria yang telah mepersunting Dwi Daryani yang saat ini bahkan sampai kapanpun tetap akan menjadi ibu saya, begitu juga dengan Ayah.  Pria yang saya panggil Ayah sejak kecil adalah sosok pria yang berpostur tubuh tinggi, agak gendut dengan kulit sawo matang dan rambutnnya sudah beruban.
Ayah selama 20 tahun hidup di Desa Kedaton bersama sanak keluarga dari kakek yang memang asli Kedaton, pada tahun 1989 kakek baru pindah ke Perumahan yang sekarang saya tinggali ini, tepatnya di Perumahan Griya Rajekwesi Indah Blok D-16 Desa Ngumpak Dalem Kecamatan Dander, orang-orang biasa menyebut perumahan ini dengan BTN. BTN dikenal sebagai tempat tinggal para pensiunan veteran dan kakek termasuk diantaranya.
Joni Wuliyanto tidak memiliki riwayat pendidikan khusus, tidak seperti kakek yang punya riwayat pendidikan khusus dan mempunyai kedudukan penting di Kepolisian Mojokerto. Joni berpendidikan biasa-biasa saja, yang jelas Joni menyelesaikan pendidikan terakhirnya di Sekolah Teknik Menangah, atau biasa disebut STM dengan jurusan instalasi listrik dan lulus pada tahun 1989.  Setelah lulus, Joni bekerja menjadi kuli bangunan. Joni pernah nguli di daerah Bogor dan Jakarta. Joni tak bekerja di luar kota sendiri, melainkan bersama kakaknya yang bernama Wito yang merupakan pakdhe saya.
Setelah merasa memiliki pengalaman yang cukup sebagai kuli di luar kota, Joni pulang ke Bojonegoro dan mengikuti kursus bidang pengelasan di Balai Latihan Kerja depan perumahan BTN. Setelah kursus selesai, Joni melamar pekerjaan di PT Telkom Indonesia wilayah Bojonegoro, Joni diterima bekerja sebagai operator perbaikan telfon umum dan kabel listrik.
Pada November 1999, Joni mengikuti pendidikan Satpam selama sebulan, setelah Joni dinyatakan lulus pendidikan satpam baru Joni resmi diterima bekerja sebagai satpam di Kantor Telkom Bojonegoro dengan sistem kontrak. Dan Joni pun sampai saat ini masih bekerja sebagai satpam Telkom yang setiap dua tahun sekali harus memperbarui kontrak kerjanya. Riwayat tempat bekerjanya adalah sebagai berikut, sewaktu saya masih sekolah TK dan SD beliau nyatpam di Pos Catel dan STO Telkom. Hingga akhirnya 7 tahun lalu sampai sekarang Joni memilih menetap bekerja di Telkom Rengel Kabupaten Tuban, sekitar 1 jam perjalanan dari rumah tempat kami tinggal.
Ayah menyukai sekali dunia intsalasi listrik. Sewaktu Ayah dirumah dan tidak ada shift jaga pasti ada saja yang dikerjakan. Entah memperbaiki setrika, radio, kipas angin atau perabotan lainnya milik sendiri atau milik tetangga yang minta diperbaiki Ayah. Di samping ruang tamu terdapat ruangan berukuran 1x2 meter, dan disitulah Joni bergelut menghabiskan waktunya dirumah.
Joni adalah ayah terhebat, pemilik cinta yang tak terlupakan. Sosok pekerja keras, bekerja banting tulang siang dan malam untuk menghidupi keluarganya, yaitu seorang istri dan empat buah hatinya. Apalagi empat buah hatinya tengah mengenyam pendidikan semua, tak heran jika Ayah saya rela kerja sambilan di luar rumah untuk mendapat tambahan pendapatan demi kelangsungan biaya sekolah saya dan ketiga adik saya.
Ayah adalah seorang brikers. Saya menyebut alat yang sering digunakan Ayah dengan nama Brik, dan kegiatan yang dilakukan Ayah dengan sebutan Ngebrik. Lebih tepatnya brik itu seperti Handie Talkie atau HT. Namun menggunakan antenna yang terpasang seperti antenna TV, ada juga brik yang tidak menggunakan antenna. “kalau menggunakan antenna akan mendapatkan sinyal yang bening dan jangkauan komunikasi lebih luas “, terang Ayah dulu saat saya bertanya ketika Ayah turun dari atap genteng usai memperbaiki antenna yang berubah arah karena angin.
Dengan HT tersebut Ayah dapat berkomunikasi dengan teman-teman sesama pengguna brik. Meskipun terpisahkan jarak berpuluh-puluh hingga beratus-ratus kilometer berkomunikasi dengan brik bisa berjalan dengan lancar, sama halnya pengguna handphone yang harus menggunakan nomer, pengguna brik memiliki kode khusus, jadi untuk berkomunikasi dengan pengguna brik tersebut harus mengatur kodenya terlebih dahulu. Oh iya, kata yang sering digunakan Ayah untuk memanggil rekannya agar menyaut panggilan Ayah adalah “ kontek..kontek..kontek.. “. Dan saya, sewaktu kecil hobi sekali menggunakan brik itu sekenanya, iseng-iseng berkomunikasi dengan teman-teman Ayah.
Ayahku Joni, juga mempunyai kebiasaan unik, sedari kecil Ayah tidak bisa makan dengan cara muluk, pasti menggunakan sendok. Ayah juga hobi masak, utamanya masak rica-rica bebek dan sambal. Ayah menyukai sambal cemeding, cemeding itu daun ketela yang digoreng lalu dimakan dengan sambal. Saya, mencoba mengingat apa yang menjadi kebiasaan dan apa yang Ayah gemari. Kelak, ketika Ayah tua tentu saja gantian saya yang akan ngemong Ayah. Bukankah begitu?
Bersama Ayah, banyak sekali hal yang bisa saya ceritakan. Tentu saja berhubungan dengan dunia kerjanya. Ayah pernah ditugaskan selama setahun untuk menjaga tower dan pos Telkom di beberapa titik pegunungan dan tanjung laut. Dan itu berlangsung sewaktu saya masih TK nol kecil. Ayah pernah jaga di tempat yang disebut Tanjung Awar-Awar, Pegunungan Lei, di Merakurak, serta masih banyak lagi karena saya lupa. Ayah jaga menggunakan sistem shift bersama dua temannya. Yaitu seminggu jaga lalu dua minggu libur.
Saya sangat senang ketika Ayah mengajak saya dan ibuk pergi ke tempatnya jaga. Saya belum mempunyai adik saat itu, tentu saja perhatian orang tua saya masih terpusat untuk saya, masa-masa ketika saya bisa merasakan rasanya dimanja, rasanya diperhatikan sepenuhnya, berbeda dengan sekarang yang memiliki tiga adik, dua perempuan dan satu laki-laki.  Dan ketiga-tiganya sekarang tengah belajar di bangku sekolah dasar, terpaut cukup jauh dengan usia saya yang sekarang duduk di bangku menengah atas.
Secara tidak langsung sewaktu kecil Ayah telah mengajari rasanya hidup susah yang jauh dari hingar bingar perkotaan, tinggal disebuah tempat yang bisa disebut pos jaga yang jauh dari pemukiman penduduk dan berada di pengunungan atau tanjung laut Kabupaten Tuban. Ada cerita sewaktu saya kecil dan saya masih ingat dengan jelas. Waktu itu, saya masih TK dan pada suatu hari saya rewel hingga akhirnya tidak mau masuk sekolah. Saya ingin ikut Ayah jaga di Gunung Lei. Ulah nakal saya sebagai aksi bahwa saya benar-benar kecewa karena tidak diajak Ayah jaga dengan saya mencegah keberangkatan Ayah pagi itu, saya menangis kosel-kosel di ruang tamu dan 10 butir telur mentah yang harusnya dibawa Ayah untuk dijadikan bekal makanan disana saya ambil dari tasnya dan saya pecahkan kearah tembok lalu saya bawa lari sambil menangis.
Meskipun saya sudah menangis dan bertingkah seperti itu, tetap saja Ayah tak mengajak. Tapi di lain hari Ayah tetap mengajakku. Gunung Lei dan Merakurak sebenarnya adalah pegunungan kapur utara yang membentang di Kabupaten Tuban, Gunung Lei terdapat di Kecamatan Rengel dan Merakurak terdapat di Kecamatan Montong. Saya menikmati perjalanan bersama Ayah dan Ibu ke tempat itu, melewati banyak hutan yang masih lebat, dengan jurang yang sebenarnya tak terlalu dalam tapi menurut saya cukup menakutkan, jalanan yang naik turun, licin, dan belum berasaspal mulus seperti sekarang ini.
Di Merakurak saya dapat mandi air belerang bersama Ayah dan berkenalan dengan banyak tentara disana,  ketika hasrat ingin jajan dan ngelot sewaktu masih kecil muncul, saya pasti nggeriseni Ayah untuk turun dari pos dan mencari warung terdekat. 
Saat jaga di Tanjung Awar-Awar saya kembali menikmati kebersamaan rasanya dimanja oleh seorang Ayah, rasanya bermain dengan air laut, bersepeda sore-sore beli ikan di Brondong, bertemu para nelayan dan melihat perahu-perahu. Ya, setidaknnya saya pernah merasakan rasanya jadi anak gunung dan anak pinggir laut walau sebentar.
Joni, memberikan banyak kenangan dalam hidupku, mewarnai masa-masa kecilku dengan banyak petualangan. Ah, saya merindukan momen itu. Pergi bersama Ayah menemaninya jaga dengan mengendarai sepeda motor yang tempat bensinnya di depan dan menikmati suasana perjalanan bersama Ayah dan ibu. Itu dulu, 11 tahun yang lalu.
Sungguh. Ayah, ingin kusampaikan padamu bahwa saya benar-benar merindukan momen-momen itu. Tak terasa linangan airmata ini turun saat saya tulis cerita ini. Ayah, kau pria perkasa yang selalu melindungi dan menjaga saya hingga saya dewasa kini. Yang selalu marah ketika melihat saya jatuh sakit namun kau juga orang tercepat yang mencarikan pertolongan untuk saya saat sakit asma yang saya derita sejak lahir ini kambuh.
Ayah, sampai sekarang memang saya belum bisa membuatmu tersenyum bahagia. Tapi saya janji entah kapan itu, saya pasti bisa membuat Ibu dan Ayah bahagia. Saat saya menyandang gelar sarjana kelak atau saat saya sudah mendapat pekerjaan dan membiayai adik-adik, entah kapan itu, tapi saya berjanji.
Meski nilai raport saya selalu diatas rata-rata dan berhasil mendapat peringkat kelas atau pararel yang cukup memuaskan sewaktu SMP dan SMA,  tapi tetap saja saya tak bisa membuat Ayah tersenyum lega, karena saya tau dari raut wajahmu Yah, apa yang tengah bergejolak dalam hati dan pikiran Ayah. Ayah memang melihat semangat saya begitu membara untuk bersekolah, tapi dalam benak Ayah, Ayah kasihan kan pada saya, bingung dengan masa depan saya. Takut mengecewakan saya jika Ayah tak mampu membiayai pendidikan lanjut saya kelak.
Penghasilan yang pas-pasan dan harus menghidupi empat buah hatinya agar bisa menikmati pendidikan yang layak. Saya tau Yah pengorbananmu, yang kerap kali menerima tawaran kerja sambilan untuk menambah biaya sekolah saya, Dini, Dian dan Dika. Entah itu masang antenna, perbaikan listrik atau telpon rumah, ngecat, memperbaiki atap rumah bahkan sampai jadi kuli bangunan.
Ketika saya kembali merevisi tulisan ini sebelum naik cetak, air mata ini menetes kembali, banyak yang ingin kusampaikan pada Ayah sebenarnya, tapi saya malu. Tak rela menganggu waktu istirahat Ayah. Ayah yang pulang jaga dari kantor harus ke tokonya Papah untuk membantu Papah mencuci LPG, membersihakan kost-kostan, kulak’an barang-barang toko, nyaldo token dll. Oh ya, Papah itu orang yang selama ini telah banyak membiayai sekolah saya dan adik-adik saya. Jadi sebagai balas budi Ayah pada Papah, Ayah membantu Papah menangani toko dan dan menjaga serta merawat rumah kost milik Papah.
Saat musim hujan seperti ini, menjadi berkah tersendiri untuk Ayah. Banyak orang meminta bantuan pada Ayah untuk memperbaiki genting, plafon atau saluran rumah yang bocor. Upah senilai dua puluh ribu diterima Ayah dengan senang hati, kata Ayah cukuplah untuk jajan dan sangu sekolah saya dan adik-adik saya sehari. Menjelang lebaran juga menjadi kebahagiaan Ayah, banyak orang meminta bantuan Ayah untuk mengecat ata membersihkan rumah. Upah senilai empat puluh ribu perhari cukup untuk belanja ibuk kata Ayah.
Kerap kali Ayah berkeluh dengan dirinya sendiri ketika tengah bersantai, padahal saya tahu sebenarnya maksudnya. Ayah butuh teman bicara tapi saya malu mendekati Ayah. Permasalahannya, adik saya yang nomor dua namaya Dini. Semenjak TK sampai SD kelas 5 tinggal bersama nenek dari Ibuk di Desa Bareng Kecamatan Sugihwaras. Ayah, merasa bersalah dan kasihan pada Dini, dengan berat harus harus merelakan Dini berpisah dengan ibu dan saudara lainnya. Yang sering Ayah katakan begini “ Ya Allah nduk, ngeneki mbakmu Dini nang omah Bareng dewek an, sangu sekolah cuman sewu, kowe kabeh (Dian, Dika) disanguni rong ewu ae jek kurang, nek nang omah jek jaluk jajan meneh, mabkmu Dini lo nek bengi gak enek seng marai sinau, nek awan ditinggal ayi nok sawah terus.
Ayah selalu berbicara seperti itu ketika Dian dan Dika pada malam hari belajar di ruang tamu dan nggeriseni Ayah untuk membantu mengerjakan pe-er mereka. Ayah teringat pada anak keduanya, yang selalu dijemputnya saat hari Sabtu untuk dipertemukan dengan aku, ibuk, Dian dan Dika.
Ayah, kerap kali saya ceritakan padamu tentang mimpi-mimpi saya, cita-cita kemana saya ingin melajutkan sekolah usai SMA ini. Melanjutkan ke salah satu perguruan tinggi di Malang, meraih gelar sarjana strata satu, bekerja sebagai seorang guru bahkan ingin melanjutkan strata dua untuk menjadi seorang dosen. Tapi Ayah hanya mendesah panjang mendengar semua curhatanku. Dan Ayah selalu bilang “Adikmu jek akeh, jek butuh sekolah. Mbah kung mu saiki wes gaiso diarep-arep neh. Seng penting saiki sinau disek seng pinter, kuliah urusan ngguri.
Begitulah kata Ayah, dan  saya sangat menyesali diri saya karena telah gagal mendapatkan beasisiwa SMA Sampoerna Bogor akibat ketidak seriusan saya menjalani serangkaian test, padahal saya sudah berhasil lolos sampai test terakhir, dan anggapan Ayah pasti saya diterima, namun nyatanya tidak, sedikit terpukul perasaan Ayah karena pernah Ayah menyinggung saya soal itu.
Lewat tulisan ini, ingin rasanya saya ucapkan rasa penyesalan itu, rasa bersalah karena tak bisa membuat Ayah tersenyum bahagia, rasa bersalah atas sikap saya yang selalu menuntut Ayah memenuhi apa mau saya. Tapi saya sangat bahagia, memiliki Ayah bernama Joni Wuliyanto, sosok yang memiliki tekad keras dalam hidupnya, sosok pekerja keras yang tak patah semangat demi membuat keluarga kecilnya bahagia. Meskipun Ayah tidak bisa memberi apa yang saya mau, meski Ayah selalu memarahiku, meski Ayah tidak seperti Ayah-Ayah lain yang lebih dari Ayah, tapi Ayah tetap Ayahku. Tidak akan pernah terganti dan saya akan mencintai Ayah sampai kapanpun itu. Karna mencintaimu adalah perbuatan yang tidak akan pernah kusesali Yah.