Potret Kenangan Bersama Senja
Senja
tengah mematung di barat cakrawala. Arak-arakan awan mulai berganti warna, dari
biru laut menjadi oranye kemerahan. Sinar keemasan dari barat cakrawala
menyemburat ke seluruh arah mata angin. Serpihan kemilau emasnya menyilaukan
mata bagi siapapun yang tengah menikmatinya.
Senja
menjadi pertanda bahwa sang surya akan kembali ke peraduannya dan tak lama lagi
akan tergantikan oleh rembulan. Dan kemudian turunlah Batara Kala. Sebelum
batara kala turun, burung-burung berlalu lalang kembali ke sarangnya di
rerimbunan dahan-dahan pohon.
Jalan raya yang sejam lalu masih dilalui banyak
kendaraan karena jamnya pekerja pulang kini melenggang. Sepi. Rasanya
benar-benar senja yang indah. Karena suasana begitu memikat hati, menarik untuk
kutulis agar menjadi sebuah cerita. Sungguh beruntung aku dapat menikmati senja
bersama orang-orang yang kelak menjadi orang hebat, orang-orang yang kelak akan
terukir namanya dalam deretan nama sastrawan Indonesia.
Senja
kali ini membuatku tak ingin pulang. 18 bulan sudah aku belajar di salah satu
sekolah menegah atas di kota minyak ini, jarang merasakan momen alam yang
indah. Kecuali senja yang benar-benar memikat dan membuatku tergila-gila pada
senja-senja selanjutnya. Berawal dari cerpen Seno Gumira Aji Dharma yang
berjudul Sepotong Senja Untuk Pacarku, aku menjadi tergila-gila dengan senja. Di
depan kelasku, Galaksi XI IPS 1. Tepatnya di pinggir rumah Illahi, aku dan lima
teman seperjuanganku tengah berbagi cerita, berbagi rasa dan berbagi rencana.
Begitu
indahnya senja kali ini hingga aku menyebutnya senja yang sakral. Dalam
kesenjaan kali ini aku bermimpi. Ya, aku tengah bermimpi di kala senja. Kau
tahu apa itu? Aku ingin menjadi seorang guru dan penulis. Dan sore ini ada
orang yang berbaik hati akan bercerita padaku tentang seluk beluk profesi itu.
Tentu saja bukan padaku saja, melainkan pada kelima temanku juga. Tapi diantara
mereka akulah yang paling antusias menyimak cerita dari beliau.
Kuperkenalkan
pada kalian, beliau tak lain adalah seorang guru. Guru Bahasa Indonesia yang
amat mencintai dunai sastra. Sama sepertiku, aku ingin menjadi seperti beliau.
Entah kenapa, aku sangat tertarik dengan profesi itu. Menjadi guru dan seorang
penulis. Mungkin ambisi ini diturunkan dari buyut dan kakekku yang mencintai
dunia pendidikan sehingga menjadi kepala sekolah dan guru.
Kusebut
beliau sebagai inspirator. Tak lain karena beliau selalu memberikan inspirasi
untuk kami, mengajariku dan teman-teman mencari dan memanfaatkan kesempatan
dalam kesempitan.
Sungguh
bahagia tak terperi bagiku dan kelima temanku. Mungkin dari ratusan guru yang
kukenal semenjak duduk di bangku TK, beliau lah yang kelak akan paling berkesan
dalam benakku.
Bukan
aku berlebihan membanggakan beliau, tapi fakta memang begitu. Jika kalian tak
percaya, cobalah ikuti aku setiap hari jum’at sore. Berdendang kisah-kisah yang
sebenarnya biasa namun dapat tersaji dengan luar biasa. Karna terbingkai indah
dalam ruang keakrabaan, keharmonisan dan kekeluargaan.
Beruntungnya
aku dan kelima temanku bertemu dengan beliau. Kau pernah merasakan indahnya
belajar di kala senja, di sebuah tempat yang menurutmu nyaman untuk belajar?
Pasti
pernah bagi kalian yang notabenenya mengikuti lembaga bimbingan belajar swasta
di kota minyak ini. Ya, waktu les. Terkadang ketika aku tengah melintasi
berbagai titik-titik tempat bimbingan swasta di kotaku yang menyediakan
fasilitas membantu mencerdaskan pelajar dengan biaya yang tak sedikit pula,
tersaji pemandangan yang amat menyenangkan sesungguhnya. Bagaimana tidak,
banyak sepeda dan motor parkir berjejalan, pertanda disitu tengah berlangsung
proses belajar ‘tambahan’.
Setiap
kali melintas ada sedikit rasa iri terhadap mereka yang duduk di dalam ruangan
berpendingin sambil menyimak dengan antusias pelajaran yang belum mereka pahami
dengan jelas ketika di sekolah. Sedikit iri karena mereka tengah belajar dengan
nyaman dengan fasilitas nyaman di kala senja. Sedangkan aku dan teman-temanku
kerap kali melewatkan senja di teras musholla, di parkiran motor, di bawah rerindangan
pohon angsono sekolah, di lapangan basket. Dan di mana saja yang menurut kami
nyaman. Karena kami ingin merasakan sesuatu yang berbeda. Berbeda dengan metode
belajar tambahan yang akan terkenang.
Dan
kali ini aku dan kelima temanku seperti sehati, semacam ngerasani tentang keadaan tersebut. Ngerasani banyak hal dan saling terkait. Kau tau lah kami ini
berstatus pelajar, tentu saja kami berbagi cerita ya tentang dunia sekolah.
Kembali
lagi pada senja, aku dan kelima temanku yang memiliki cita-cita seluas
cakrawala atau setinggi langit yang tak terhitung berapa luas dan tingginya.
Kami memiliki mimpi hebat, setidaknya itu yang mampu memompa kami. Kami ingin
merasakan rasanya belajar yang benar-benar belajar. Belajar dalam kamus hidupku
adalah ketika aku mempelajari sesuatu, mencoba, dan menerapkannya dalam
kehidupan. Begitulah makna belajar, karna tiada hari tanpa belajar. Tentu
kalian tahu, sukses karna kita mau mencoba dan karna kita mau belajar.
Ketika
duduk di bangku SMA ini aku sering belajar di kala senja. Terlebih urusan
organisasi yang seabreg atau ekstra
jurnalistik yang kerap kali mengantarkanku kembali ke rumah usai senja berlalu.
Dan itu tandanya, aku masih belajar. Investasi masa depan dengan sebuah
pengalaman.
Belajar
di kala senja begitu berkesan dan sangat membahagiakan. Inspirator kami selalu
saja mampu mengubah senja yang biasa menjadi tak biasa. Yang mampu menghapuskan
penat yang bersarang di hati dengan berbagi cara dan cerita.
Rasanya
waktu dua jam tak cukup bagi kami untuk belajar dengan inspirator kami. Seperti
senja kali ini, waktu dua jam tak cukup bagiku untuk berbagi cerita dengan
beliau. Terlebih ketika beliau bercerita padaku tentang profesi yang ingin
kutekuni. Dan aku menyambutnya dengan senang hati, membuka lebar-lebar memori
otakku dan mempertajam pendengaranku. Kuserap semua informasi yang kudapatkan
dari beliau. Semakin memantapkan pilihanku saja untuk menjadi guru dan penulis.
Pernah
ketika temanku bertanya “Pak, apa untungnya menjadi satrawan?”
Dan
beliau menjawab “baca bukunya Pramoedya Ananta Toer, seperti yang pernah tak
ceritakan. Pram itu seorang sastrawan yang sangat kritis tulisannya.
Tulisan-tulisan Pram adalah cerita fiksi yang sebenarnya adalah kritikan untuk
pemerintah. Jadi sastrawan itu pengkritik yang bebas dan kreatif. Bisa
menyalurkan kritikannya dalam bentuk prosa yang memikat hati.”
Sering
kami disodorkan buku-buku berat karya Umar Kayam, Pramoedya Ananta Toer, Agus
Noor, Nh.Dini, Anne Frank, Susanna Tamaro, Ahmad Tohari, Y.W Mangunwijaya dan
penulis terkenal lainnya. Awalnya kami wegah
membaca buku-buku tersebut. Tapi lama kelamaan tak bisa dipungkiri jika
kami tertarik dengan buku-buku tersebut.
Setidaknya
ada yang bisa kami banggakan, seumuran kami sudah melalap habis buku-buku
tersebut. Disamping teenlit dan komik yang masih menjadi antrean bacaan untuk
dibaca.
Senja,
senja dan senja. Kelak ketika aku lulus SMA aku pasti akan merindukan senja
ini. Senja yang menjadi saksi bisu perjuanganku dan teman-teman untuk menjadi
kuli tinta atau penulis atau pengarang. Terserah kalian emnganggap kami apa,
yang jelas kami ingin sekali menggelti dunia literasi. Senja benar-benar
memberi inspirasi, senja yang menciptakan keharmonisan.
Senja
yang menjadi kenangan, walau senja kali ini tak terdokumentasikan dengan baik dalam
bidikan lensa kamera, tapi senja kali ini akan terdokumentasikan dengan baik
oleh ingatanku. Senja yang berbagi rasa, senja yang berbagi cerita, dan senja
yang menjadi cerita.