Kamis, 10 Januari 2013

Pria Perkasa yang Kupanggil Ayah



            Akan saya ceritakan pada kalian tentang sosok yang saya panggil Ayah. Sebelumnya perlu kalian ketahui bahwa semua identitas tentang beliau saya mendapatkannya dengan penuh pengorbanan. Bagaimana tidak? Demi mendapatkan informasi yang akurat tentang Ayah, saya harus mengacak-acak lemari Ibu untuk mencari dokumen mengenai beliau, termasuk ijasah sekolah, akta kelahiran, buku nikah, dll.
Mungkin ketika anda membaca paragraph pertama saya, anda berpikiran mengapa saya tidak bertanya langsung pada beliau. Terus terang saja, saya malu karena saya dan Ayah kurang dekat, bahkan kami sering cekcok. Ayah kerap memarahi saya tentang banyak kelalaian yang saya lakukan. Dan aneh saja ketika saya dengan tiba-tiba bertanya tentang identitas dan latar belakangnya, pasti Ayah akan memberondong saya dengan banyak pertanyaan dan saya pasti akan kebingungan menjawabnya, lagi pula saya malu jika harus bertanya-tanya. Namun kelak di suatu hari nanti, ketika saya sudah merasa mendapatkan momen yang pas untuk memberikan tulisan ini pada Ayah, pasti akan saya berikan. Hitung-hitung sebagai kejutan. Begitulah rencana saya.
Lalu, inilah data-data tentang Ayah yang saya dapatkan dari hasil mencuri-curi informasi dari dokumen yang ada di lemari Ibu.
43 Tahun lalu, disebuah rumah yang dikelilingi oleh rimbunnya pohon bamboo di Desa Kedaton Kecamatan Kapas Kabupaten Bojonegoro tepatnya pada 26 Januari 1969, nenek saya Almarhumah Erna Elisabeth melahirkan anak ketiganya yang diberi nama Joni Wuliyanto.
Ya, dialah Ayah saya. Sosok pria yang telah mepersunting Dwi Daryani yang saat ini bahkan sampai kapanpun tetap akan menjadi ibu saya, begitu juga dengan Ayah.  Pria yang saya panggil Ayah sejak kecil adalah sosok pria yang berpostur tubuh tinggi, agak gendut dengan kulit sawo matang dan rambutnnya sudah beruban.
Ayah selama 20 tahun hidup di Desa Kedaton bersama sanak keluarga dari kakek yang memang asli Kedaton, pada tahun 1989 kakek baru pindah ke Perumahan yang sekarang saya tinggali ini, tepatnya di Perumahan Griya Rajekwesi Indah Blok D-16 Desa Ngumpak Dalem Kecamatan Dander, orang-orang biasa menyebut perumahan ini dengan BTN. BTN dikenal sebagai tempat tinggal para pensiunan veteran dan kakek termasuk diantaranya.
Joni Wuliyanto tidak memiliki riwayat pendidikan khusus, tidak seperti kakek yang punya riwayat pendidikan khusus dan mempunyai kedudukan penting di Kepolisian Mojokerto. Joni berpendidikan biasa-biasa saja, yang jelas Joni menyelesaikan pendidikan terakhirnya di Sekolah Teknik Menangah, atau biasa disebut STM dengan jurusan instalasi listrik dan lulus pada tahun 1989.  Setelah lulus, Joni bekerja menjadi kuli bangunan. Joni pernah nguli di daerah Bogor dan Jakarta. Joni tak bekerja di luar kota sendiri, melainkan bersama kakaknya yang bernama Wito yang merupakan pakdhe saya.
Setelah merasa memiliki pengalaman yang cukup sebagai kuli di luar kota, Joni pulang ke Bojonegoro dan mengikuti kursus bidang pengelasan di Balai Latihan Kerja depan perumahan BTN. Setelah kursus selesai, Joni melamar pekerjaan di PT Telkom Indonesia wilayah Bojonegoro, Joni diterima bekerja sebagai operator perbaikan telfon umum dan kabel listrik.
Pada November 1999, Joni mengikuti pendidikan Satpam selama sebulan, setelah Joni dinyatakan lulus pendidikan satpam baru Joni resmi diterima bekerja sebagai satpam di Kantor Telkom Bojonegoro dengan sistem kontrak. Dan Joni pun sampai saat ini masih bekerja sebagai satpam Telkom yang setiap dua tahun sekali harus memperbarui kontrak kerjanya. Riwayat tempat bekerjanya adalah sebagai berikut, sewaktu saya masih sekolah TK dan SD beliau nyatpam di Pos Catel dan STO Telkom. Hingga akhirnya 7 tahun lalu sampai sekarang Joni memilih menetap bekerja di Telkom Rengel Kabupaten Tuban, sekitar 1 jam perjalanan dari rumah tempat kami tinggal.
Ayah menyukai sekali dunia intsalasi listrik. Sewaktu Ayah dirumah dan tidak ada shift jaga pasti ada saja yang dikerjakan. Entah memperbaiki setrika, radio, kipas angin atau perabotan lainnya milik sendiri atau milik tetangga yang minta diperbaiki Ayah. Di samping ruang tamu terdapat ruangan berukuran 1x2 meter, dan disitulah Joni bergelut menghabiskan waktunya dirumah.
Joni adalah ayah terhebat, pemilik cinta yang tak terlupakan. Sosok pekerja keras, bekerja banting tulang siang dan malam untuk menghidupi keluarganya, yaitu seorang istri dan empat buah hatinya. Apalagi empat buah hatinya tengah mengenyam pendidikan semua, tak heran jika Ayah saya rela kerja sambilan di luar rumah untuk mendapat tambahan pendapatan demi kelangsungan biaya sekolah saya dan ketiga adik saya.
Ayah adalah seorang brikers. Saya menyebut alat yang sering digunakan Ayah dengan nama Brik, dan kegiatan yang dilakukan Ayah dengan sebutan Ngebrik. Lebih tepatnya brik itu seperti Handie Talkie atau HT. Namun menggunakan antenna yang terpasang seperti antenna TV, ada juga brik yang tidak menggunakan antenna. “kalau menggunakan antenna akan mendapatkan sinyal yang bening dan jangkauan komunikasi lebih luas “, terang Ayah dulu saat saya bertanya ketika Ayah turun dari atap genteng usai memperbaiki antenna yang berubah arah karena angin.
Dengan HT tersebut Ayah dapat berkomunikasi dengan teman-teman sesama pengguna brik. Meskipun terpisahkan jarak berpuluh-puluh hingga beratus-ratus kilometer berkomunikasi dengan brik bisa berjalan dengan lancar, sama halnya pengguna handphone yang harus menggunakan nomer, pengguna brik memiliki kode khusus, jadi untuk berkomunikasi dengan pengguna brik tersebut harus mengatur kodenya terlebih dahulu. Oh iya, kata yang sering digunakan Ayah untuk memanggil rekannya agar menyaut panggilan Ayah adalah “ kontek..kontek..kontek.. “. Dan saya, sewaktu kecil hobi sekali menggunakan brik itu sekenanya, iseng-iseng berkomunikasi dengan teman-teman Ayah.
Ayahku Joni, juga mempunyai kebiasaan unik, sedari kecil Ayah tidak bisa makan dengan cara muluk, pasti menggunakan sendok. Ayah juga hobi masak, utamanya masak rica-rica bebek dan sambal. Ayah menyukai sambal cemeding, cemeding itu daun ketela yang digoreng lalu dimakan dengan sambal. Saya, mencoba mengingat apa yang menjadi kebiasaan dan apa yang Ayah gemari. Kelak, ketika Ayah tua tentu saja gantian saya yang akan ngemong Ayah. Bukankah begitu?
Bersama Ayah, banyak sekali hal yang bisa saya ceritakan. Tentu saja berhubungan dengan dunia kerjanya. Ayah pernah ditugaskan selama setahun untuk menjaga tower dan pos Telkom di beberapa titik pegunungan dan tanjung laut. Dan itu berlangsung sewaktu saya masih TK nol kecil. Ayah pernah jaga di tempat yang disebut Tanjung Awar-Awar, Pegunungan Lei, di Merakurak, serta masih banyak lagi karena saya lupa. Ayah jaga menggunakan sistem shift bersama dua temannya. Yaitu seminggu jaga lalu dua minggu libur.
Saya sangat senang ketika Ayah mengajak saya dan ibuk pergi ke tempatnya jaga. Saya belum mempunyai adik saat itu, tentu saja perhatian orang tua saya masih terpusat untuk saya, masa-masa ketika saya bisa merasakan rasanya dimanja, rasanya diperhatikan sepenuhnya, berbeda dengan sekarang yang memiliki tiga adik, dua perempuan dan satu laki-laki.  Dan ketiga-tiganya sekarang tengah belajar di bangku sekolah dasar, terpaut cukup jauh dengan usia saya yang sekarang duduk di bangku menengah atas.
Secara tidak langsung sewaktu kecil Ayah telah mengajari rasanya hidup susah yang jauh dari hingar bingar perkotaan, tinggal disebuah tempat yang bisa disebut pos jaga yang jauh dari pemukiman penduduk dan berada di pengunungan atau tanjung laut Kabupaten Tuban. Ada cerita sewaktu saya kecil dan saya masih ingat dengan jelas. Waktu itu, saya masih TK dan pada suatu hari saya rewel hingga akhirnya tidak mau masuk sekolah. Saya ingin ikut Ayah jaga di Gunung Lei. Ulah nakal saya sebagai aksi bahwa saya benar-benar kecewa karena tidak diajak Ayah jaga dengan saya mencegah keberangkatan Ayah pagi itu, saya menangis kosel-kosel di ruang tamu dan 10 butir telur mentah yang harusnya dibawa Ayah untuk dijadikan bekal makanan disana saya ambil dari tasnya dan saya pecahkan kearah tembok lalu saya bawa lari sambil menangis.
Meskipun saya sudah menangis dan bertingkah seperti itu, tetap saja Ayah tak mengajak. Tapi di lain hari Ayah tetap mengajakku. Gunung Lei dan Merakurak sebenarnya adalah pegunungan kapur utara yang membentang di Kabupaten Tuban, Gunung Lei terdapat di Kecamatan Rengel dan Merakurak terdapat di Kecamatan Montong. Saya menikmati perjalanan bersama Ayah dan Ibu ke tempat itu, melewati banyak hutan yang masih lebat, dengan jurang yang sebenarnya tak terlalu dalam tapi menurut saya cukup menakutkan, jalanan yang naik turun, licin, dan belum berasaspal mulus seperti sekarang ini.
Di Merakurak saya dapat mandi air belerang bersama Ayah dan berkenalan dengan banyak tentara disana,  ketika hasrat ingin jajan dan ngelot sewaktu masih kecil muncul, saya pasti nggeriseni Ayah untuk turun dari pos dan mencari warung terdekat. 
Saat jaga di Tanjung Awar-Awar saya kembali menikmati kebersamaan rasanya dimanja oleh seorang Ayah, rasanya bermain dengan air laut, bersepeda sore-sore beli ikan di Brondong, bertemu para nelayan dan melihat perahu-perahu. Ya, setidaknnya saya pernah merasakan rasanya jadi anak gunung dan anak pinggir laut walau sebentar.
Joni, memberikan banyak kenangan dalam hidupku, mewarnai masa-masa kecilku dengan banyak petualangan. Ah, saya merindukan momen itu. Pergi bersama Ayah menemaninya jaga dengan mengendarai sepeda motor yang tempat bensinnya di depan dan menikmati suasana perjalanan bersama Ayah dan ibu. Itu dulu, 11 tahun yang lalu.
Sungguh. Ayah, ingin kusampaikan padamu bahwa saya benar-benar merindukan momen-momen itu. Tak terasa linangan airmata ini turun saat saya tulis cerita ini. Ayah, kau pria perkasa yang selalu melindungi dan menjaga saya hingga saya dewasa kini. Yang selalu marah ketika melihat saya jatuh sakit namun kau juga orang tercepat yang mencarikan pertolongan untuk saya saat sakit asma yang saya derita sejak lahir ini kambuh.
Ayah, sampai sekarang memang saya belum bisa membuatmu tersenyum bahagia. Tapi saya janji entah kapan itu, saya pasti bisa membuat Ibu dan Ayah bahagia. Saat saya menyandang gelar sarjana kelak atau saat saya sudah mendapat pekerjaan dan membiayai adik-adik, entah kapan itu, tapi saya berjanji.
Meski nilai raport saya selalu diatas rata-rata dan berhasil mendapat peringkat kelas atau pararel yang cukup memuaskan sewaktu SMP dan SMA,  tapi tetap saja saya tak bisa membuat Ayah tersenyum lega, karena saya tau dari raut wajahmu Yah, apa yang tengah bergejolak dalam hati dan pikiran Ayah. Ayah memang melihat semangat saya begitu membara untuk bersekolah, tapi dalam benak Ayah, Ayah kasihan kan pada saya, bingung dengan masa depan saya. Takut mengecewakan saya jika Ayah tak mampu membiayai pendidikan lanjut saya kelak.
Penghasilan yang pas-pasan dan harus menghidupi empat buah hatinya agar bisa menikmati pendidikan yang layak. Saya tau Yah pengorbananmu, yang kerap kali menerima tawaran kerja sambilan untuk menambah biaya sekolah saya, Dini, Dian dan Dika. Entah itu masang antenna, perbaikan listrik atau telpon rumah, ngecat, memperbaiki atap rumah bahkan sampai jadi kuli bangunan.
Ketika saya kembali merevisi tulisan ini sebelum naik cetak, air mata ini menetes kembali, banyak yang ingin kusampaikan pada Ayah sebenarnya, tapi saya malu. Tak rela menganggu waktu istirahat Ayah. Ayah yang pulang jaga dari kantor harus ke tokonya Papah untuk membantu Papah mencuci LPG, membersihakan kost-kostan, kulak’an barang-barang toko, nyaldo token dll. Oh ya, Papah itu orang yang selama ini telah banyak membiayai sekolah saya dan adik-adik saya. Jadi sebagai balas budi Ayah pada Papah, Ayah membantu Papah menangani toko dan dan menjaga serta merawat rumah kost milik Papah.
Saat musim hujan seperti ini, menjadi berkah tersendiri untuk Ayah. Banyak orang meminta bantuan pada Ayah untuk memperbaiki genting, plafon atau saluran rumah yang bocor. Upah senilai dua puluh ribu diterima Ayah dengan senang hati, kata Ayah cukuplah untuk jajan dan sangu sekolah saya dan adik-adik saya sehari. Menjelang lebaran juga menjadi kebahagiaan Ayah, banyak orang meminta bantuan Ayah untuk mengecat ata membersihkan rumah. Upah senilai empat puluh ribu perhari cukup untuk belanja ibuk kata Ayah.
Kerap kali Ayah berkeluh dengan dirinya sendiri ketika tengah bersantai, padahal saya tahu sebenarnya maksudnya. Ayah butuh teman bicara tapi saya malu mendekati Ayah. Permasalahannya, adik saya yang nomor dua namaya Dini. Semenjak TK sampai SD kelas 5 tinggal bersama nenek dari Ibuk di Desa Bareng Kecamatan Sugihwaras. Ayah, merasa bersalah dan kasihan pada Dini, dengan berat harus harus merelakan Dini berpisah dengan ibu dan saudara lainnya. Yang sering Ayah katakan begini “ Ya Allah nduk, ngeneki mbakmu Dini nang omah Bareng dewek an, sangu sekolah cuman sewu, kowe kabeh (Dian, Dika) disanguni rong ewu ae jek kurang, nek nang omah jek jaluk jajan meneh, mabkmu Dini lo nek bengi gak enek seng marai sinau, nek awan ditinggal ayi nok sawah terus.
Ayah selalu berbicara seperti itu ketika Dian dan Dika pada malam hari belajar di ruang tamu dan nggeriseni Ayah untuk membantu mengerjakan pe-er mereka. Ayah teringat pada anak keduanya, yang selalu dijemputnya saat hari Sabtu untuk dipertemukan dengan aku, ibuk, Dian dan Dika.
Ayah, kerap kali saya ceritakan padamu tentang mimpi-mimpi saya, cita-cita kemana saya ingin melajutkan sekolah usai SMA ini. Melanjutkan ke salah satu perguruan tinggi di Malang, meraih gelar sarjana strata satu, bekerja sebagai seorang guru bahkan ingin melanjutkan strata dua untuk menjadi seorang dosen. Tapi Ayah hanya mendesah panjang mendengar semua curhatanku. Dan Ayah selalu bilang “Adikmu jek akeh, jek butuh sekolah. Mbah kung mu saiki wes gaiso diarep-arep neh. Seng penting saiki sinau disek seng pinter, kuliah urusan ngguri.
Begitulah kata Ayah, dan  saya sangat menyesali diri saya karena telah gagal mendapatkan beasisiwa SMA Sampoerna Bogor akibat ketidak seriusan saya menjalani serangkaian test, padahal saya sudah berhasil lolos sampai test terakhir, dan anggapan Ayah pasti saya diterima, namun nyatanya tidak, sedikit terpukul perasaan Ayah karena pernah Ayah menyinggung saya soal itu.
Lewat tulisan ini, ingin rasanya saya ucapkan rasa penyesalan itu, rasa bersalah karena tak bisa membuat Ayah tersenyum bahagia, rasa bersalah atas sikap saya yang selalu menuntut Ayah memenuhi apa mau saya. Tapi saya sangat bahagia, memiliki Ayah bernama Joni Wuliyanto, sosok yang memiliki tekad keras dalam hidupnya, sosok pekerja keras yang tak patah semangat demi membuat keluarga kecilnya bahagia. Meskipun Ayah tidak bisa memberi apa yang saya mau, meski Ayah selalu memarahiku, meski Ayah tidak seperti Ayah-Ayah lain yang lebih dari Ayah, tapi Ayah tetap Ayahku. Tidak akan pernah terganti dan saya akan mencintai Ayah sampai kapanpun itu. Karna mencintaimu adalah perbuatan yang tidak akan pernah kusesali Yah.

Tidak ada komentar: