Rabu, 31 Oktober 2012

Sepenggal Cerita dalam Rinai Hujan

 
Saat kereta api meninggalkan dengungannya, saat asap kendaraan menyatu dengan udara malam, saat rembulan mengalami hal sama yang dialami dua insan yang tengah berlalu di sepanjang jalan ini.

Sepanjang jalan meninggalkan jejak cerita yang ditinggalkan oleh dua insan yang tengah meradang hatinya. Ini menjadi cerita bagiku, cerita yang kau torehkan beberapa waktu lalu saat kita berlalu melewati jalanan malam dalam rinai hujan untuk mengantarkanku pulang. Sepanjang jalan yang kita lalui meninggalkan bekas licin karena rinai hujan yang begitu derasnya, di sepanjang jalan pula dingin terasa begitu menusuk tulang, jarum-jarum hujan membasahi kain yang kita kenakan, dinginya begitu menembus tulang. Tapi dingin itu sudah tak terasa bagiku.
Di sepanjang jalan pula kereta api berlalu meninggalkan dengungannya, membuat ocehan yang kutujukan padamu tersamarkan, saat asap kendaraan menyatu dengan udara malam membuat udara terasa sesak, saat rembulan mengalami hal sama yang dialami dua insan yang tengah berlalu di sepanjang jalan ini, meradang hingga tak berani menunjukkan sinarnya. Saat bintang juga tengah gundah hingga ikut tak memancarkan sinar kemilaunya. Yah, sepertinya suasana malam ini sama dengan perasaan yang tengah aku rasakan. Gundah. Awan hitam pekat tengah menyelimuti malam ini, dan mega mendung tengah menyelimuti perasaanku.
            Memang terkadang alam bersahabat dengan manusia. Buktinya bulan dan bintang tengah bersahabat dengan hatiku saat ini, guratan sinarnya tampak tak begitu jelas. Hanya remang-remang saja. Seperti tersenyum, tapi kecut senyumnya. Tak jelas apa maknanya. Kadang muncul, kadang hilang. Muncul saja hanya beberapa saat, tak lama lagi setelah itu menghilang lagi.
            Ingin rasanya mulutku berkata tetaplah disini bersamaku dan menjadi raja di singgasana hatiku. Biarkan dinginnya malam ini semakin menambah suasana tenang hatiku saat berada didekatmu. Walau terkadang tetes air mata ini jatuh bergulir membasahi pipiku lalu turun ke pundakmu dan membasahi t-shirt beludru yang kau kenakan. Tapi, apa kau merasakan itu? Rasa hangat atau dinginnya buliran air mataku. Air mata yang menginginkan jawaban dari sebuah penantian yang terasa amat membosankan. Sebab hati dan mata ini telah lelah karna kerap kali meneteskan buliran air mata dan menahan rasa sabar.
            Katamu aku seperti anak kecil, manja dan egois. Tapi memang itulah aku, aku masih perlu dirimu untuk membimbingku melewati masa yang penuh liku ini. Membiarkanmu berada didekatku selalu akan menghalau jatuhnya buliran air mata ini.
Setidaknya begitu!

Tidak ada komentar: