Merah Jambu di Lereng Pandan
Cinta yang benar-benar cinta, tak pernah memandang siapa dirinya dan darimana dia.
Sudah dua
tahun aku menjalani masa latihan kerja sebagai guru sementara di sebuah sekolah
yang teletak di lereng Gunung Pandan Tepatnya di SMPN 2 Gondang, yang akrab
disebut SMP Krondonan. Bukan Pegunungan yang dikelilingi oleh indahnya pohon
cemara ataupun pohon pinus. Melainkan pegunungan yang dikelilingi oleh tanaman
jagung dan pohon jati. Sungguh berat rasanya menjalani kehidupan di kaki gunung
yang tandus dengan warga yang tak banyak ini. Itupun jarak satu kampung dengan
kampung lainnya cukup jauh. Tak khayal jika murid-muridku harus berjalan kaki
selama satu jam untuk sampai di sekolah dengan menyebrangi sungai-sungai yang
melintasi kaki gunung ini. Ditambah lagi dengan jaringan komunikasi yang sulit.
Yang membuatku tak bisa leluasa untuk berkomunikasi dengan keluarga di kota.
Sungguh keadaan yang berbeda ketika aku masih SMA dulu yang bisa berpergian
kemana-mana dengan mengendarai motor atau kendaraan umum. Ya, di desa dan di
kota sangat jauh berbeda. Apalagi desa ini terletak di lereng pengunungan dan
berada di balik pengunungan-pengunungan yang lain. Atau biasa disebut dengan
Pegunungan Kendheng yang tingginya hanya 897 meter.
Ku lalui
semua ini sebagai ujian untuk meraih mimpiku. Mimpi untuk menjadi seorang guru.
Meskipun disini sepi, tapi masih ada Bu Heny yang setia menampungku untuk
ditinggal dirumahnya selama dua tahun ini. Dan dialah orang terdekatku disini,
orang yang sudah kuanggap sebagai ibuku sendiri. Bu Heny selalu menemaniku
ketika kerinduan akan keluarga dan teman-teman di kota menyelimuti hatiku. Bu
Heny juga yang menasehatiku ketika masalah asmara menderaku. Asmara yang
kurasakan bersama seorang lelaki asli Desa Krondonan ini.
Awal
pertemuan dengan lelaki yang membuatku jatuh cinta itu ketika aku baru beberapa
hari tinggal di Desa Krondonan ini dan ingin sekali pergi ke air terjun Kedung
Gupit yang letaknya tak jauh dari tempatku mengajar. Hari ini hari minggu dan
pagi ini aku memutuskan untuk pergi ke air terjun sendiri. Dengan berbekal
petunjuk dari Bu Heny agar aku menyusuri jalan setapak belakang sekolah dan
menyebrangi dua sungai agar sampai di air terjun itu. Dan tak lupa juga pesan
dari Bu Heny agar aku berhati-hati di jalan. Perjalanan tak terlalu jauh, butuh
waktu sekitar 20 menit agar bisa sampai di air terjun itu. Dan jalannya,
sungguh menantang sekali. Berkali kali naik turun batu yang cukup besar agar
bisa sampai di air terjun itu. Aku
langsung tersenyum bahagia ketika aku melihat air turun dari atas bebatuan
setinggi enam meter membasahi tubuh anak-anak kecil yang sedang bermain air.
Aku melihat hanya ada seorang pemuda yang menemani anak-anak kecil kecil itu
bermain. Namanya Pandu. dia tersenyum padaku, dan kubalas senyumnya dengan
sedikit ragu. Lalu dia menghampiriku dan mengajakku berkenalan ketika aku
sedang memfoto air terjun itu. Gaya bicaranya, khas logat orang desa. Dia
mengajakku mendekati air terjun itu.
“Baru ya
mbak disini. Kenalkan aku Pandu “
“ Sari “
“ Orang
mana mbak, sepertinya mbak bukan orang sini. Orang kota ya? Ada perlu apa ke
desa ini? “
“ SuraRaya
mas, saya jadi guru “
“ Pasti
ngajar di SMP Krondonan ya, wah muridnya pasti seneng punya guru dari kota yang
cantik kayak gini “
“ Bisa saja
mas, masnya ngapain disini “
“ Saya ya
setiap hari disini, kerja. Nanem brambang
sama jagung. Sawah saya ada di dekat sungai yang mbak lewati tadi “
“ Oh, orang
asli sini ya? “
“ Iya mbak,
saya lahir dan besar disini. Itu, anak yang sedang bermain air disana yang
paling kecil sendiri namanya Satriyo. Dia adik saya. “
Aku melihat
seseorang yang ditunjuk Pandu. Anak yang bertubuh kecil tubuhnya hitam mungkin
terlalu banyak terbakar matahari. Sama seperti Pandu. Tapi paras Pandu manis.
“ Boleh
panggil Sari saja kalau mau. Jangan panggil mbak “. Ucapku, dan dia mengiyakan.
Itulah awal
perkenalanku dengan Pandu. Lelaki yang tak terasa sudah dua tahun mengisi
hatiku. Dan hampir setiap hari aku mengabiskan waktu soreku bersamanya di bawah
temaram senja sore, di kaki Gunung Pandan. Selalu muncul kebahagiaan ketika aku
bersamanya. Dan tempat yang paling indah, diatas batu setinggi satu meter yang
berada di halaman tempatku mengajar. Duduk bersamanya, mendengar cerita-cerita
tentang dirinya dan tentangku yang kuceritakan padanya. Aku menyukai saat
seperti itu, apalagi ketika senja atau pagi hari. Memandang indah bentangan
Pengunungan Kendheng yang menarik hati. Bersama kicauan burung dan hembusan
angin yang membuat pepohonan bak penari yang begitu gemulai.
Aku dan
Pandu lahir di kehidupan yang berbeda, dia pemuda desa yang mampu membuatku
terbius akan indahnya dunia merah jambu. Ya, dunia cinta. Cinta yang
benar-benar cinta. Aku tak pernah memandang siapa dirinya dan darimana dia.
Sama halnya seperti perasaan dia terhadapku. Dia tak pernah mempermasalahkan
aku yang berasal dari kota yang terkadang sifat manjaku bisa muncul begitu
saja. Dia mampu memahamiku.
Aku
mengukir cerita indah bersamanya setiap minggu pagi. Kami bersama-sama pergi ke
air terjun untuk mengantarkan adiknya mandi dan bermain. Bahkan tak jarang pula
aku menemaninya di sawah ketika dia menanam bawang merah dan jagung. Kenangan
terindah yang mampu membuatku sadar akan pentingnya sebuah kesederhanaan ketika
tiga bulan setelah berteman dengannya aku yang biasa menemnaninya kini tak bisa
menemaninya untuk pergi ke ar terjun itu. Ada urusan sekolah yang mengharuskan
aku pergi ke kecamatan. Tapi aku berjanji pada diriku untuk menemuinya di sawah
setelah urusanku selesai. Aku tak mengabarinya, dia tak punya HP. Meskipun aku
terus memaksanya agar dia membeli HP. Tapi dia tetap bersikeras tak mau membeli
HP.
Siang itu,
saat semua urusanku sudah selesai aku bergegas untuk pulang dan ganti pakaian
lalu pergi menemuinya di sawah. Aku membawakan dua bungkus es dawet untuk
sekedar oleh-oleh buat dia dan adiknya. Karna ku tahu dia pasti sangat lelah
dan haus seharian terpanggang sinar matahari. Benar saja, ketika aku sampai di
sawahnya dia sedang makan dengan lahapnya dibawah pohon jati dengan bersandar
pada batu besar yang berada ditengah rimbunnya pohon jagung dan adiknya sedang
bermain ketapel tak jauh dari tempatnya istirahat.
“ Makan
apa? Sepertinya kamu sedang lapar sekali?”. Tanyaku, dan aku tau dia kaget
sekali karna tak menyadari kedatanganku. “ Maaf tadi tak sempet ke air terjun,
aku harus ke kecamatan “.
“ Ndak
apa-apa. Nasi jagung. Kamu mau?
Aneh. Nasi jagung? Makanan apa itu? Bu Heny saja tak
bernah bercerita padaku apa itu nasi jagung. Batinku dalam hati.
“ Siapa
yang masak? Kamu suka ya?
“ Aku
sendiri yang masak. Enak, kamu harus coba. Ini juga ada oseng-oseng kacang
panjang buatanku. Mantap sekali Sar. Pedas dan Gurih “
“ Memangnya
Ibu kamu dimana? “
“Ibuku sudah
tenang di pesarean“
“ Maksudmu, sudah meninggal ? “
“ Maksudmu, sudah meninggal ? “
“
Iya, tiga tahun yang lalu. Waktu itu aku dan adikku sedang bermain di air
terjun dan ibuku mencariku disana. Waktu itu habis hujan jadi jalannya licin
dan ibuku terpeleset sewaktu menaiki batu dan memanggilku “
“
Maaf, aku tak bermaksud menyinggung masa lalumu. Oh iya ini aku bawakan es
dawet buat kamu dan Satriyo katanya ini yang selalu kamu cari jika kamu pergi
kekecamatan? “
“
Makasih ya “. Lalu dia memanggil adiknya dan memberikannya satu bungkus es
dawet. Adiknya lalu pergi lagi, sibuk dengan urusannya. Mengetapel
burung-burung yang hinggap di pohon jati.
Dia
melanjutkan makannya, dan aku termangu. Membatin dalam benakku betapa sulit
lika-liku kehidupan yang pernah dia alami. Dia laki-laki yang begitu tegar
meskipun telah kehilangan orang yang telah melahirkannya. Dia tak pernah
membenci batu dekat air terjun yang secara tidak langsung telah merenggut nyawa
ibunya. Bahkan dia bersama adiknya hampir setiap hari mengunjungi temapt itu.
Sedangkan aku? Aku yang lebih memilih mengajar di tempat ini hanya karna ingin
melupakan masalah cintaku dengan pria yang mengisi hatiku sewaktu masih di SuraRaya
dulu. Betapa bodohnya aku! Kenapa aku tak bisa hidup mandiri dan berpikir
dewasa meskipun aku sudah berada disini. Jauh dari semua masa laluku di SuraRaya.
Kenapa aku masih terus mengingat pria yang telah mengecewakanku begitu dalam.
Bukankah aku disini sudah bersama pria yang telah membuat aku jatuh cinta. Aku
tau Pandu juga memncintaiku, meskipun dia tak pernah mengucapkan I love you atau yang lainnya padaku.
Tapi aku mampu membaca gerak-geriknya. Aku mampu melihat raut wajahnya setiap
kami bertemu. Juga setiap perkataanya padaku.
“
Kamu bisa masak? “ Tanya Pandu padaku yang seketika membuyarkan lamunanku .
“
Bisa, masak nasi putih. “
“
Cobalah masak nasi jagung. Lihatlah jagung-jagung disini banyak yang masih
nempel di pohonnya sampi menguning. Artinya tak banyak dimanfaatkan. Kamu bisa
membuatkan untuk murid-muridmu juga dan mengajaknya berkumpul bersama-sama
waktu hari minggu atau liburan sambil
makan masakanmu. “
“
Ide yang bagus. Bolehlah aku belajar di Bu Heny “
Pandu
banyak mengajarkan tentang kebahagiaan yang terlahir dari sebuh kesaderhanaan
padaku. Dari pertemuan itulah aku mulai belajar memasak pada Bu Heny. Bu Heny
dengan sabar mengajariku cara memasak walaupun lebih banyak masakanku yang
terbuang sia-sia karna rasanya yang hancur.
Dan terbukti, aku bahagia setiap hari minggu atau liburan. Karna tak
hanya Pandu saja yang menemaniku menghabiskan waktu liburanku. Tapi banyak
muridku yang ikut berkumpul di halaman sekolah sambil makan masakan yang
sebelumnya aku buat dengan susah payah.
Aku
benar-benar bahagia bersamanya. Dia mampu membuatku melupakan semua kenangan
pahit sebelum aku memilih mengajar disini. Aku merasakan setiap hari itu indah.
Lebih lagi jika sedang menghabiskan waktu bersamanya dan mendengar ceritanya.
Tapi hari
ini ada yang berbeda, aku berada di keadaan yang sulit ku lukiskan dengan
kata-kata. Di lereng Gunung Pandan, di halaman sekolah yang biasanya kugunakan
bersama pandu untuk bercerita ketika sore atau malam hari, kini berubah menjadi
saksi pilu akan kisahku bersama Pandu.
Hari-hari
yang sebelumnya indah kini jadi tak indah lagi semenjak seminggu lalu. Saat
Aryan menemuiku di halaman sekolah ketika aku, Pandu dan murid-muridku sedang
berkumpul bersama-sama. Aryan mengajakku untuk kembali ke SuraRaya. Tentunya
bukan hanya kembali saja. Tapi dia mengajakku untuk kembali menjadi pacarnya.
Dia mengajakku untuk menghabiskan liburan kenaikan kelas dan liburan lebaran di
SuraRaya. Padahal aku sudah berniat akan kembali ke SuraRaya dua hari sebelum
lebaran. Pandu mengetahui kejadian itu, aku tahu dia pasti kaget sekali. Aku
tak pernah menceritakan kepadanya masa laluku. Termasuk tentang Aryan. Bahkan
ketika Aryan mengajakku kembali ke SuraRaya bersamanya Aryan juga mengatakan
bahwa dia sudah mendapat izin dari orang tuaku untuk bertunangan denganku. Aku
tak pernah menyangka jika Aryan akan mengunjungiku lagi. Aku pikir semuanya
sudah selesesai ketika aku memutuskan untuk mengabdi di lereng gunung ini.
Kejadian
itu sudah berlangsung seminggu lalu tapi Pandu tak pernah berbicara padaku
walau sepatah katapun. Dan ketika aku berusaha menemuinya, dia seperti
menghindar dariku. Aku tak tahan dengan keadaan seperti ini. Aku memutuskan
akan membicarakan semuanya dengan Pandu. Lewat Satriyo aku menyuruh Pandu untuk
menemuiku di halaman sekolah nanti sore.
Sore itu,
menjadi sore terburuk yang pernah kulalui. Senja semakin tenggelam. Dan
sekarang garis-garis di langit tampak membongkar awan. Namun tak ada satupun
bintang yang bersinar. Dan rembulan hanya memancarkan sinar redupnya. Sama
redupnya dengan hati dua insan yang tengah memandang langit malam ini. Pandu
duduk disampingku, sorot mata Pandu begitu tajam, bukan padaku sorot matanya
ditujukan. Tapi aku mampu membaca sorot matanya. Tajam, dan bermakna kebencian.
Sore yang hening, tak terucap kata sedikitpun dari dirinya ataupun dariku. Aku
takut untuk memulai pembicaraan yang sebenarnya ku tak tau harus memulai dari
mana. Mulutku mengucapkan kata maaf saja tak kuasa. Seperti terkunci
rapat-rapat. Karna Pandu terlalu baik padaku. Kebaikan yang seharusnya kubalas
dengan kebaikan, bukannya dengan kekecewaan. Mata Pandu terlihat sayu dan aku
melihat setetes air mata turun dari balik gelapnya malam. Aku melihatnya.
Sangat jelas. Dia menangis. Tangisan pertama yang aku lihat saat bersamanya.
Jantungku berdegup semakin kencang. Sebuah penyesalan dan rasa takut
menyelimuti hatiku. Dan air mataku turun semakin derasnya. Rapuh jiwaku ketika
Pandu memutuskan untuk benar-benar meninggalkan dan membiarkanku bersama lelaki
lain.
Ya, Pandu
benar-benar meninggalkanku di malam ini. Dan semuanya berakhir sudah bersama
angin malam. Hatiku ingin memberontak, aku tak ingin ditinggalkanya. Aku ingin
terus bersamanya. Sekarang aku sendiri, hanya ditemani oleh angin malam yang
menjadi saksi bisu akan kandasnya dunia merah jambuku bersama Pandu. Bintang
dan bulan terlihat acuh hingga dia hanya memancarkan sedikit sinarnya.
Seolah-olah turut serta menhakimiku atas kebodohanku ini. Hatiku hancur, jiwaku
tak bertenaga. Namun aku tetap duduk di lapangan ini tak bersama Padu lagi.
Pandu sudah meninggalkanku! Aku membiarkan hujan membasahi tubuhku. Hingga
akhirnya aku tak kuasa lagi menopang tubuhku. Tubuhku terasa melayang, tubuhku
tak merasakan dingin lagi walaupun pakaianku basah terkena hujan.
Aku
merasakan seseorang membopongku pergi meninggalkan halaman itu. Ditempatkannya
aku ke dalam sebuah ruangan yang hangat. Dan ketika kusadari esok harinya itu
adalah kamarku di rumah Bu Heny. Pakaianku sudah tak basah lagi. Tapi aku
merasakan jika tubuhku masih lemah, kepalaku pusing, rambutku acak-acakan dan
mataku sembab. Saat kutanya pada Bu Heny siapa yang membawaku kemari Bu Heny
menjawab dengan tenangnya “ Seseorang yang sering kau ceritakan pada Ibu, Pandu nduk “ .
“ Dimana
dia sekarang? “
“ Wes to nduk, jajal dilalekne wae gus Pandu. Pandu pergi sama adiknya tadi
pagi ke Kalimantan ikut Bapaknya yang jadi buruh di tambang batu-bara. Oh ya,
tadi pagi juga orang tuamu telfon ibu untuk menjemputmu kalau liburan sudah
tiba “
Aku
tersentak dengan ucapan Bu Heny. Tubuhku semakin lemas dan otakku semakin
kosong. Terus memikirkan dunia merah jambuku di lereng Pandan ini.
3 komentar:
Keren dek crita ne
keren critane.....
gak rugi nek cah smada....hehehe
hehehe iya trimakasih yaa :):)
Posting Komentar